PALANGKA RAYA-Saat ini Pemprov Kalteng masih memperjuangkan usulan pemekaran wilayah dengan membentuk Provinsi Kotawaringin, Provinsi Barito Raya, dan Kabupaten Kapuas Ngaju.
Akademisi Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum (FH) Universitas Palangka Raya (UPR) Heria Mariaty mengatakan, perihal pemekaran daerah sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Dikatakan Heria, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 disebutkan bahwa pembentukan daerah otonomi baru berupa pemekaran provinsi dan penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
“Ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat administratif, teknis, dan syarat fisik,” katanya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (5/1).
Syarat administratif berkenaan dengan dukungan dari masyarakat, pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi, serta dukungan dari bupati atau gubernur termasuk DPRD tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Selanjutnya syarat teknis berkenaan dengan kemampuan ekonomi, kondisi sosial budaya, sosial politik, potensi daerah, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan, kemampuan keuangan daerah, tingkat kesejahteraan masyarakat, serta rentang kendali dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Untuk syarat fisiknya mencakup tiga hal, yakni cakupan wilayah, lokasi calon ibu kota, dan sarana prasarana pemerintah,” sebutnya.
Berekenaan syarat fisik ini, yang paling utama yakni terkait cakupan wilayah yang akan menjadi bagian dari provinsi baru. Minimal untuk provinsi mencakup lima kabupaten atau kota.
“Berkenaan ketersediaan sarpas, ini juga menjadi penting, karena nanti perlu tersedia bangunan dan lahan untuk kantor kepala daerah, kantor DPRD, hingga kantor perangkat daerah,” tuturnya.
Salah satu tujuan pemekaran wilayah adalah mendekatkan dan mempermudah pelayanan pemerintah kepada masyarakat “Paling tidak kalau mau pemekaran itu, tujuan utamanya untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Disinggung adanya potensi pemekaran wilayah Barito sebagai penyangga ibu kota negara (IKN), ia menyebut secara regulasi tetap mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2007. Namun tidak tertutup kemungkinan ada pertimbangan-pertimbagan politis dari pemerintah.
“Kamis tidak bisa menyimpulkan itu, karena kami melihatnya dari sisi hukum, yakni mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2007,” pungkasnya.
Sementara dari kacamata ekonomi, pemekaran wilayah punya prospek cerah. Apalagi jika kebijakan pemekaran diambil dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah serta potensi ekonomi yang dimiliki masing-masing daerah.
Dr Fitria Husnatarina SE MSi selaku pengamat ekonomi mengatakan, kebijakan pemekaran punya dampak baik dari segi ekonomi. Pemekaran wilayah sah-sah saja dilakukan, mengingat Kalteng merupakan wilayah yang cukup luas. Namun perlu juga memikirkan apa saja leading sector potensial yang ada di wilayah yang dimekarkan. “Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana episentrum industri dan kelengkapan kewilayahan pada Kotawaringin maupun Barito Raya, juga Kalteng itu sendiri, agar tidak ada turbulensi ekonomi pada bidang-bidang yang krusial,” kata Fitria kepada Kalteng Pos, kemarin.
Dosen Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Palangka Raya (UPR) itu menyebut, pemekaran wilayah tidak hanya mempertimbangan luas wilayah daerah yang jadi target pemekaran, tapi juga mempertimbangkan potensi daerah, sesuai dengan kapasitas penduduk, sesuai keberadaan SDM, serta kapasitas lainnya untuk meningkatkan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Dikatakan Fitria, wilayah Kotawaringin maupun Barito Raya memang layak dimekarkan jika mengacu pada kesesuaian-kesesuaian itu. Menurutnya, pemekaran akan sukses jika kebijakan yang diambil sesuai karakteristik serta berbagai potensi yang tersimpan di wilayah pemekaran itu.
“Kalau dilihat dari sisi ekonomi juga baik, tapi lebih bagus jika kebijakan yang diambil disesuaikan dengan leading sector potensial di wilayah pemekaran serta potensi-potensi lainnya yang menjadi dasar pengambilan kebijakan, termasuk karakteristik wilayah,” jelasnya.
Ada cukup banyak dampak positif kebijakan pemekaran wilayah. Utamanya akses masyarakat terhadap infastruktur akan lebih mudah dijangkau lewat kebijakan-kebijakan yang diambil jika memang mempertimbangkan keseusaian dengan daerah pemekaran.
“Dilihat dari sisi ekonomi, akan ada peningkatan-peningkatan aktivitas ekonomi karena jangkauan dan lingkup wilayah yang lebih kecil sehingga mudah dilakukan pemerataan, kemudahan dilakukannya pemerataan dapat membuka potensi-potensi yang ada,” jelasnya.
Kebijakan pemekaran wilayah juga dapat menciptakan banyak lapangan kerja baru. Utamanya di sektor informal, karena memang sejak awal wilayah itu diharapkan mampu mendongkrak perekonomian sehingga dapat terlihat kemandirian.
Jangan sampai kebijakan pemekaran wilayah hanya memikirkan bahwa akan ada formasi besar-besaran dari pekerja sektor formal seperti ASN. Pemekaran wilayah ditujukan untuk menciptakan kemandirian wilayah dan mengungkit segala potensi, utamanya di sektor manufaktur.
“Jadi justru lebih kepada bagaimana sektor manufaktur itu dikembangkan untuk mendongkrak perekonomian,” ujarnya.
Banyaknya dampak positif juga tidak lepas dengan adanya dampak negatif. Menurut Fitria, jika wilayah yang dimekarkan punya potensi SDA yang terbatas, maka akan menjadi dilema bagi pemangku kebijakan dalam menggali potensi lain selain SDA.
“Sementara untuk wilayah yang kaya akan SDA, akan berisiko jika infrastruktur dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan SDA belum tersedia secara memadai,” tambahnya.
Karena itu, menurutnya pemekaran wilayah tidak hanya memikirkan soal luas tidaknya suatu wilayah tapi juga perlu memikirkan infrastruktur, SDA, SDM, dan lainnya yang menjadi pendukung semua aktivitas ekonomi daerah yang akan dimekarkan.
Kebijakan pemekaran harus diambil dari konteks sebelum wilayah itu dimekarkan, bukan setelah wilayah dimekarkan. Artinya, pemangku kebijakan telah mengetahui secara pasti dan punya pertimbangan yang matang sebelum memutuskan pemekaran wilayah.
“Jadi kunci utama adalah bagaimana kita dapat memberikan kesejahteraan dan memperbaiki hajat hidup orang banyak pada frekuensi atau kebutuhan yang tepat,” tandasnya. (irj/abw/dan/ce/ala)