PALANGKA RAYA-Angkutan kota (angkot) pernah berjaya pada masanya. Dahulu masyarakat Kota Cantik –julukan Kota Palangka Raya mengandalkan angkot sebagai moda transportasi untuk berangkat ke pasar, kantor, maupun sekolah. Sayangnya, masa kejayaan angkot kian tergerus. Kini Angkot tak lagi dilirik. Sepi peminat. Bertambahnya jumlah kendaraan pribadi dan pesatnya perkembangan transportasi online membuat angkot kian meredup karena kalah bersaing.
Sepinya peminat angkot dirasakan oleh sang sopir yang rata-rata sudah lanjut usia (lansia). Penghasilan sebagai sopir kian hari kian menurun. Hal itu diungkapkan salah satu sopir bernama Hari. Ia mengakui transportasi konvensional seperti angkot sangat memprihatinkan. Perlu sinergi semua pihak untuk meningkatkan eksistensinya.
“Saya hanya berpesan kepada Organda untuk menangani masalah angkutan umum ini, karena kian hari kian menurun (sepi peminat), sekarang kondisi angkot sangat memprihatinkan,” ucap Hari (8/5).
Sepinya peminat angkot juga dirasakan sopir lainnya, Nasrullah. Bapak empat anak tersebut merasakan betul dampak perkembangan transportasi online. Kondisi itu membuat angkot ditinggalkan pelanggan. “Istilahnya hidup segan mati pun tak mau,” ujar pria berusia 49 tahun itu.
Nasrullah mengaku telah menjadi sopir angkot sejak 1997 atau hampir 27 tahun. Ia merasakan dampak dari perubahan era dan kemajuan teknologi yang sangat mempengaruhi penghasilan sebagai sopir angkot. Dikatakannya, pengguna angkot saat ini hanyalah orang-orang tua. Nasrullah juga mengungkapkan alasannya tetap bertahan dengan profesi sebagai sopir angkot. Yakni faktor usia serta masih adanya kepedulian untuk mempertahankan eksistensi angkot.
“Justru kalau bukan kita-kita yang bawa angkotnya, bakal punah sendiri secara perlahan,” tuturnya.
Menurutnya, ada banyak faktor yang memengaruhi para sopir angkot beralih profesi. Penghasilan yang didapatkan hanya sekitar Rp100 ribu rupiah per hari. Ia pun berharap pemerintah bisa turun tangan agar angkot bisa bergairah lagi.
Sejauh ini, sejumlah pelajar di Kota Cantik masih menggunakan jasa angkot. Alasannya karena biaya yang murah. Hal itu dirasakan oleh Sujuliyanti Zahra, pelajar kelas VIII MTsN 2 Palangka Raya. Gadis yang akrab disapa Suju ini mengaku biasa menggunakan angkot saat pulang dari sekolah.
“Aku pake angkot hanya saat pulang dari sekolah, kalau berangkat diantar. Aku naik angkot karena tidak ada yang jemput ketika pulang, jadi naik angkot saja,” ucapnya.
Baginya, dengan jarak tempuh yang lumayan jauh, angkot menjadi alat transportasi yang efisien, karena sewanya yang sesuai dengan kantong anak sekolah.
“Selama aku naik angkot, ada angkot tuh yang berasap, jadi saran saya diservis lah mobilnya, kan enggak nyaman juga kalau ada asapnya, bahkan bikin mata perih,” tuturnya.
Pelajar lainnya, Adelia Safwana Bilgi merasakan hal yang serupa terkait penggunaan angkot. Menurutnya, angkot dapat dibutuhkan sewaktu-waktu saat pulang sekolah. Ia sering memilih menggunakan jasa angkot saat pulang sekolah karena tarifnya hanya Rp5 ribu.
“Menurutku angkot harus tetap ada, karena tidak semua orang punya smartphone atau bisa menggunakan transportasi online,” ungkapnya.
Sementara itu, tiap hari angkot yang beroperasi di Palangka Raya wajib membayar retribusi. Pembayaran itu dilakukan ketika mereka masuk ke Terminal Angkot di Jalan Darmosugondo, belakang Puskesmas Pahandut.
Ganda Edo Untung atau yang akrab disapa Ganda mengatakan, ia bersama rekannya yang bernama Wawan sudah hampir 20 tahun mengurus retribusi angkot di Palangka Raya.
“Aturannya tiap angkot yang masuk terminal wajib bayar retribusi Rp1.000, tapi sekarang karena angkot sudah jarang yang masuk ke terminal, jadi mereka bayar Rp5.000 untuk sehari,” ucap Ganda.
Ganda sendiri merupakan koordinator para sopir angkot. Sudah 24 tahun lamanya. Tugasnya tiap hari adalah mengurusi retribusi dari para sopir angkot. Ganda mengaku usaha angkot memasuki masa sangat menyedihkan. Dikatakannya, dahulu pernah ada 430 unit kendaraan taksi kuning tersebut di Kota Palangka Raya. Namun kini jumlah angkot bahkan tidak lebih dari 50 unit.
“Waktu di masa jayanya, paling tidak satu hari itu ada 300 unit yang beroperasi, terus kalau sebelum masa (pandemi) Covid kemarin, mungkin tiap hari masih bisa 200-an unit yang beroperasi, tetapi sekarang cuman 50 unit, bahkan enggak sampai,” katanya.
Ganda mengakui minat masyarakat menggunakan jasa angkot sangat jauh menurun.
“Dulu kita punya 6 rute (trayek), tiap hari semua taksi kuning digilir, tapi sekarang enggak pakai jalur lagi karena sepi, jalurnya bebas,” katanya.
Ganda menjelaskan, penurunan bisnis angkot di Palangka Raya sudah mulai terasa sejak tahun 2018, seiring menjamurnya transportasi online seperti Gojek dan Grab.
“Tapi waktu itu layanan online itu cuma menurunkan (tingkat) penumpang taksi umum sekitar 15 persen,” ujarnya.
Pukulan paling telak bagi para pengusaha dan sopir angkot terjadi pada masa pandemi Covid-19. Kala itu ada aturan pembatasan aktivitas masyarakat. Dampaknya, para sopir maupun pengusaha angkot hampir tidak memperoleh penghasilan sama sekali.
“Orang tidak boleh keluar rumah, tidak bisa ke pasar, anak-anak pun dilarang jalan-jalan, tidak ada penumpang, praktis sepi, enggak ada penghasilan masuk,” katanya.
Akibat adanya pandemi Covid-19 yang terjadi hampir 3 tahun, mengubah tatanan lingkungan dan kebiasaan masyarakat kota.
Ganda mencontohkan, sebelum pandemi terjadi, warga kota umumnya selalu mendatangi kompleks Pasar Besar untuk berbelanja berbagai kebutuhan. Peran Pasar Besar sebagai pusat kegiatan ekonomi di Palangka Raya sangat berpengaruh terhadap jumlah penumpang angkot.
“Dulu semua orang pasti datang ke pasar besar sini untuk berbelanja atau mencari keperluan, banyak yang datang ke pasar pakai angkot,” katanya.
Namun semenjak adanya pandemi, makin sedikit yang datang berbelanja di Pasar Besar. Warga lebih memilih berbelanja di pasar atau pertokoan yang lokasinya dekat dengan rumah masing masing.
Di sisi lain, penurunan jumlah penumpang angkot juga dipengaruhi makin banyaknya warga yang memiliki kendaraan pribadi terutama kendaraan roda dua.
“Karena gampang orang mengajukan kredit kendaraan, pengaruhnya itu sekitar 20 persen,” ujarnya.
Ganda mengatakan menurunnya jumlah peminat angkot menyebabkan penurunan penghasilan bagi para pengusaha angkot maupun para sopir. Jika dahulunya para pengusaha angkot bisa memperoleh setoran dengan rata-rata Rp75 ribu-Rp100 ribu per hari, kini justru hanya setengah dari itu.
“Sekarang untuk setoran berkisar Rp30-35 ribu, paling tinggi Rp 40 ribu per hari, itu pun jarang,” ungkapnya sembari menyebut sebelum pandemi, sopir angkot masih bisa mendapat Rp150 ribu-Rp250 ribu per hari.
Terlebih lagi bila mendapat trayek yang ramai penumpang. Sang sopir bisa memperoleh penghasilan yang jauh lebih besar. Sekitar Rp350 ribu per hari.
“Dulu itu ada enam jalur, jalur A itu jalur ke Tjilik Riwut, jalur B ke Rajawali, jalur C ke Unpar, jalur D ke Bukit Hindu, jalur E ke wilayah Kereng Bengkirai, jalur F ke wilayah G Obos, jalur G ke Bereng Bengkel, dan jalur I ke wilayah Jalan Cempaka, Adonis Samad, sampai ke Jalan Kecipir,” beber Ganda.
Karena penumpang yang sepi, semangat para sopir angkot pun menurun. Kebanyakan mereka beralih profesi. “Ada yang menjadi sopir travel, sopir truk, dan pekerjaan lain,” ucapnya.
Menyikapi kondisi yang dialami para sopir angkot, lanjut Ganda, pihaknya pernah mencoba menemui pemerintah untuk mengadukan nasib mereka. “Kami sudah pernah menemui wali kota tapi tidak ada hasil, itu sekitar dua tahun yang lalu dan tahun kemarin,” jelasnya.
Ganda berharap segera ada perhatian dari pemerintah, anggota dewan, dan stakeholder terkait menyikapi permasalahan angkot.
Terpisah, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Palangka Raya Alman P Pakpahan mengatakan, jumlah angkot saat ini makin menurun.
“Masa kejayaan angkot itu tahun 2000 ke bawah, kurang lebih kita memiliki sekitar 430 unit yang beroperasi. Kita selalu mengimbau agar angkot itu tetap melakukan uji KIR, apalagi sekarang sudah digratiskan. Memang tidak tertuang dalam perda mengenai batas maksimal usia angkot. Secara aturan dan norma memang tidak tertulis secara konkret, tetapi secara logikanya angkot yang sudah berusia 15 tahun perlu diremajakan,” katanya, Jumat (26/4).
Alman menyebut, Dishub Kota Palangka Raya sudah membuat desain dan perencanaan mengenai angkutan umum ke depannya. Utamanya untuk mendorong ketersediaan transportasi massal yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Seperti bus kota gratis yang saat sekarang sudah tersedia dengan rute tertentu.
Dishub terus menggiatkan program transportasi aman dan nyaman bagi masyarakat. Ke depannya diharapkan di tiap kompleks perumahan tersedia angkot. Perihal itu akan dibahas lebih lanjut oleh pihaknya.
“Tetap kami upayakan untuk mempertahankan angkot melalui pengelola maupun investor, tetapi terlebih dahulu kita harus mempersipkan segala sarana dan prasarana. Pastinya angkot-angkot itu perlu kita dorong untuk tumbuh kembang, supaya para pelaku usaha yang bergerak di bidang transportasi menaruh minat dengan menyesuaikan target pasar,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Palangka Raya, Hadi Suwandoyo menyebut sampai saat ini angkot masih menjadi bagian dari Organda Kota. Pihaknya terus berupaya agar angkot tetap eksis, karena merupakan angkutan perintis. Bahkan sebelum adanya transportasi online, angkot menjadi transportasi favorit masyarakat.
“Maraknya transportasi online membuat angkot kalah saing, itu terjadi seiring dengan kemajuan teknologi dewasa ini, tidak bisa kita hindari. Bahkan kondisi angkot pun sudah memprihatinkan. Kalau diuji KIR, mungkin hanya beberapa yang layak jalan. Dalam artian, mereka mau mengganti unit baru, tetapi penumpangnya tidak memadai,” ucapnya, Jumat (26/4).
Terlebih dengan adanya Peraturan Menteri Perhubungan, bahwa untuk mengurus izin trayek baru tidak bisa lagi menggunakan izin trayek perorangan, melainkan harus menggunakan badan hukum. Oleh sebab itulah Organda Kota sedang berupaya agar angkot dapat dipayungi badan hukum, entah koperasi ataupun badan hukum lain yang bisa membuat angkot eksis kembali.
“Saat ini yang kita lihat angkot hanya berputar dalam kota, itu pun lebih banyak di daerah pasar untuk mengantar pedagang sayur. Beberapa anak sekolah juga masih menggunakan angkot, karena tarifnya yang terjangkau, mereka bisa lebih menghemat uang, sekaligus menurunkan tingkat kecelakaan atau pelanggaran lalu lintas, dibandingkan mereka menggunakan sepeda motor sendiri,” lanjutnya.
Pihaknya berharap adanya regulasi pemerintah dapat terus mempertahankan keberadaan angkot, karena angkot adalah angkutan perintis dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Masih banyak warga yang menggantungkan hidup dari itu. Dengan kemajuan teknologi, tentu angkot tidak bisa dipaksa untuk bersaing dengan transportasi online. Namun bagaimana caranya agar mereka bisa difasilitasi sehingga tetap eksis. Apalagi tidak semua angkot dalam kondisi layak operasi. Fenomena ini tak hanya terjadi di Kota Cantik, tetapi juga di daerah lain. Keberadaan angkot mulai tergerus oleh hadirnya angkutan online.
“Kita berharap dan berupaya agar angkutan di Palangka Raya bisa lebih baik dan jaringan transportasi bisa lebih bagus, sehingga menunjang ekonomi kerakyatan,” tutupnya. (cho/sja/ovi/ce/ala)