Site icon KaltengPos

Proyek Lumbung Pangan di Kalteng Dibayangi Kegagalan

Tanaman padi di lahan food estate Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulpis. Foto: dok kalteng pos

PALANGKA RAYA-Proyek food estate alias lumbung pangan yang dibangun di Kalteng mendapat sorotan. Proyek strategis nasional ini sedang dalam bayang-bayang kegagalan. Banyak kritikan tajam dari para pegiat lingkungan dan wakil rakyat yang mesti menjadi bahan evaluasi pemerintah, sehingga megaproyek pangan ini bisa digarap maksimal dan mampu memberi efek positif untuk kesejahteraan masyarakat.

Sorotan datang dari Ketua Komisi II DPRD Kalteng Achmad Rasyid. Dikatakan Achmad Rasyid, beberapa waktu lalu ia beserta jajaran telah melakukan peninjauan lapangan ke lokasi proyek food estate di sekitar daerah Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas. Hasil tinjauan itu menunjukkan bahwa jalannya proyek itu mengalami beberapa kendala yang harus segera dicari solusinya.

Saat melakukan peninjauan ke lokasi food estate singkong Badan Cadangan Logistik Strategis (BCLS) Gunung Mas, Rasyid menyebut, lahan yang sudah dilakukan land clearing atau pembukaan sudah seluas 676 hektare (ha). Ada bangunan berupa kantor dan alat-alat berat. Namun saat berada di lokasi, tidak terlihat adanya aktivitas.

“Di sana kami juga menemukan tumpukan pupuk dan bibit yang sudah rusak. Hanya ada sedikit tanaman singkong. Ada 3.000 hektare lahan masyarakat dari total luas 30.000 hektare, tapi belum disentuh oleh proyek,” beber Rasyid kepada Kalteng Pos via pesan WhatsApp, Rabu (15/2/2023).

Sementara untuk food estate di wilayah Kapuas dan Pulang Pisau, masyarakat sudah menikmati hasil panen. “Kalau yang di Kapuas 65.000 hektare dan yang di Pulang Pisau masih dalam proses, sudah land clearing, tinggal pencetakan sawah dan pembuatan saluran irigasi, sekitar 3.000 hektare,” bebernya.

Rasyid menyebut, saat ini penggarapan lahan food estate di daerah Pulang Pisau dan Kapuas dihentikan sementara karena persoalan dana.

“Masalah dana tidak keluar karena payung hukum mungkin berupa perpresnya belum rampung, sehingga pekerjaan dihentikan sementara, menunggu dana ngucur lagi. Untuk diketahui, land clearing yang sudah dilaksanakan itu dari Kementerian PUPR,” tandasnya.

Terkait progres proyek lumbung pangan di Kalteng, akademisi pertanian dari Universitas Palangka Raya (UPR) Dr Ir Eka Nor Taufik MP angkat bicara. Selaku pihak yang pernah dilibatkan secara intens dalam tim kelompok kerja (pokja) food estate di bawah arahan pemerintah provinsi (pemprov) melalui dinas tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan (DTPHP), dalam pokja itu ia berperan sebagai penasihat pemerintah dalam bidang sosial ekonomi (sosek) pertanian.

Melihat kondisi umum food estate di Kalteng saat ini, Taufik mengatakan, proyek food estate mempunyai sisi positif dan negatif. Meskipun terdapat banyak kendala dalam pelaksanaannya, tapi masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki, sehingga proyek tersebut bisa benar-benar berdampak positif bagi masyarakat.

Taufik menjelaskan, proyek food estate ini memberikan banyak dampak positif bagi masyarakat. Ada peningkatan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi food estate Pulang Pisau dan Kapuas. Pria yang menyelesaikan studi S-3 di Universitas Gadjah Mada Jurusan Komunikasi Pertanian itu mengatakan, masyarakat setempat telah merasakan dampak positif dari perbaikan infrastruktur, seperti jalan, saluran irigasi, jembatan, dan sarpras (sarana dan prasarana) produksi.

“Saya secara pribadi mengatakan proyek ini banyak memberi dampak positif, yaitu peningkatan ekonomi baik langsung maupun tidak langsung. Seperti perbaikan infrastruktur di dua wilayah itu,” tutur dosen jurusan Agribisnis UPR itu kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (15/2).

Menanggapi isu yang berkembang di masyarakat tentang adanya potensi kegagalan terhadap megaproyek ini, menurut Taufik, masyarakat sebaiknya jangan terlebih dahulu mencap proyek ini gagal, karena masih ada satu tahun jangka waktu proyek ini. Pria yang menamatkan studi sarjana jurusan sosial ekonomi pertanian di Universitas Jember itu menjelaskan, proyek lumbung pangan di Kalteng ini akan berakhir tahun 2024 mendatang sesuai target pemerintah pusat.

“Jangan dulu lah di-judge ini gagal, kecuali pada 2024 nanti waktu proyek ini sudah berakhir, okelah kita beri penilaian, saat ini masih berjalan, yang kurang bisa diperbaiki, ini kan masih di tengah jalan proyek, jangan dulu dicap gagal,” tuturnya.

Meski demikian, Taufik mengakui memang ada sisi negatif dari proyek ini. Mulai dari lambatnya sarana produksi, pemberian alat-alat yang tidak tepat, hingga dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Taufik juga menyoroti minimnya sumber daya manusia (SDM) petani lokal untuk merespons kebijakan perluasan (ekstensifikasi) food estate. Menurutnya, SDM petani lokal sedikit dibandingkan luas lahan yang sudah dibuka. “Kan ada lahan ekstensifikasi dan intensifikasi, untuk lahan ekstensifikasi ini SDM-nya mencukupi enggak? Itu yang perlu jadi perhatian pemerintah,” tambahnya.

Pada 2020 lalu ia bersama tim pokja telah membahas sembilan isu strategis mengenai pengembangan food estate di Kalteng. Dari sembilan isu itu, yang paling banyak dibahas adalah soal pemenuhan SDM lokal. Apakah memenuhi secara kuantitas maupun kualitas untuk menggarap sektor pertanian dalam program lumbung pangan ini.

“Kami membahas, SDM kita cukup enggak, SDM kita punya kapasitas enggak, terutama SDM yang akan menggarap lahan ekstensifikasi. Kalau untuk lahan intensifikasi sih oke saja, karena sudah mencukupi secara kapasitas SDM-nya,” tuturnya.

Sejak 2021 lalu pihaknya sudah tidak begitu banyak terlibat dalam pembahasan terkait proyek lumbung pangan itu. “Keterlibatan kami masih ada, kami masih termasuk dalam anggota pokja, tetapi keterlibatan kami itu sifatnya insidentil saja. Mungkin karena proyek ini sudah berjalan reguler, sehingga kami tidak banyak terlibat, jika pihak pemprov meminta kami untuk terlibat, kami akan turun,” tandasnya.

Semenjak hadirnya food estate, masyarakat mulai bertani dengan cara bersawah. Sebagian pihak menilai realisasi proyek food estate mengakibatkan tergesernya cara bertani yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat. Menanggapi itu, Taufik menjelaskan bahwa konsep berladang biasanya diterapkan oleh para petani dengan karakteristik lahan kering.

“Berladang itu kegiatan menanam padi yang biasanya dilakukan di lahan-lahan kering, manugal, seperti di daerah-daerah Katingan dan ke atasnya, kalau di lahan rawa bukan namanya berladang, tapi biasanya sawah,” jelas Taufik kepada Kalteng Pos, kemarin.

Taufik berpendapat, mungkin saja pengertian mencerabut budaya lokal itu muncul karena adanya keinginan pemerintah agar masyarakat yang bertani di sekitar lahan food estate menanam padi varietas unggul, sementara masyarakat Kalteng umumnya bertani dengan menanam padi varietas lokal. Padi varietas unggul merupakan padi yang dicanangkan pemerintah untuk ditanam di lahan food estate Kalteng.

“Masyarakat kita biasanya menggunakan padi varietas lokal, sementara pemerintah menginginkan untuk ditanami padi varietas unggul. Mungkin pengertian mencerabut itu karena ada keinginan pemerintah agar masyarakat juga bisa mengelola padi varietas unggul,” jelasnya.

Akan tetapi, lanjutnya, masyarakat butuh kesiapan untuk mengembangkan pertanian menggunakan padi varietas unggul. Mesti disesuaikan dengan kemampuan para petani dan karakteristik lahan tempat padi ditanam. Berbeda dengan menanam padi varietas lokal yang sudah dijalankan masyarakat sejak dahulu kala.

“Pengertian mencerabut budaya kan lahir dari adanya anggapan bahwa pemerintah ingin mengganti padi varietas lokal dengan varietas unggul. Ada salah persepsi menurut saya. Kalau dibilang mencerabut kearifan lokal, berarti masyarakat yang biasanya bertani dengan menanam padi varietas lokal tidak diperbolehkan lagi menanam itu,” tuturnya.

Padahal, lanjut Taufik, pemerintah berkeinginan agar masyarakat tetap menanam padi varietas unggul sembari menanam padi varietas lokal. “Kalau menurut pengertian saya mencerabut itu kan menggantikan, mereka (petani, red) diminta untuk jangan menanam yang lokal lagi, pemahaman saya tidak seperti itu,” tambahnya.

Karena itu, keputusan untuk menanam padi varietas lokal atau varietas unggul selebihnya berada di tangan petani. Taufik menyebut, kebanyakan petani menginginkan panen dua kali dalam setahun atau indeks pertanaman (IP) = 200.

“Tergantung orang, kalau petani berpikir menanam varietas unggul lebih menguntungkan dibanding menanam padi lokal, maka bisa jadi untuk selanjutnya para petani Kalteng akan terus menanam padi varietas yang mereka nilai lebih menguntungkan itu,” tuturnya.

Taufik menjelaskan, petani tentu akan berpikir ekonomis. Misalnya, ketika petani merasa dua kali menanam padi varietas unggul lebih untungnya dibanding dua kali menanam padi varietas lokal, lama kelamaan petani pasti akan beralih ke padi varietas unggul.

“Namanya orang usaha kan urusannya untung apa enggak. Apalagi para petani, juga tidak lepas dari untung rugi. Misalnya, dari hitung-hitungan usaha tani jika ternyata dalam waktu singkat bisa dapat hasil produksi tinggi, yang pasti pendapatannya bagus, jika sekali tanam varietas unggul hasil untungnya lebih besar dari sekali tanam yang lokal, apalagi kalau dua kali tanam,” ucapnya.

Dijelaskannya, pergeseran budaya menanam dalam konteks masyarakat Dayak yang mengelola food estate, erat kaitannya dengan nilai-nilai ekonomis, bukan nilai-nilai budaya. Hal ini lahir dari pemikiran pragmatis untuk meningkatkan produksi, dibanding mempertahankan cara bertani lokal.

“Para petani akan berpikir, kalau menggunakan varietas unggul lebih banyak untung dibanding varietas lokal, kalau kita analogikan misal, jika menanam varietas unggul petani dapat 100 ribu, sementara jika menanam varietas lokal hanya dapat 50 ribu, secara logika ekonomi pasti mereka akan memilih menanam padi varietas unggul. Mereka berpikir bisa dapat duit banyak dibanding menanam padi lokal,” tuturnya.

Implikasi sosial atas masalah ini dijelaskan lebih lanjut oleh sosiolog Universitas Palangka Raya Dr Saputra Adiwijaya SSos MSi. Menurutnya, fenomena tersebut terjadi karena adanya perubahan makna lahan bagi masyarakat Dayak.

“Perubahan makna lahan inilah yang menyebabkan ketika adanya proyek food estate, masyarakat setuju. Bagi mereka, lahan bukan lagi untuk menanam padi lokal demi memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tapi lebih ke bagaimana mereka dapat untung yang sebesar-besarnya,” jelasnya. (dan/ce/ala)

Exit mobile version