Site icon KaltengPos

Enam Warga Kalteng Diduga Jadi Korban Perdagangan Orang

Iwan dan Yuda

PALANGKA RAYA-“Pak, tolong pak, saya mau pulang ke Indonesia,” begitu suara rintihan Iwan dari ujung pesan suara WhatsApp, Selasa malam (15/11/2022). Pemuda 25 tahun itu mengaku menjadi korban perdagangan orang. Sejak 12 November lalu dipaksa menginjakkan kaki di Negeri Jiran, Malaysia.

Iwan tak sendiri. Ada lima rekannya yang juga mengalami nasib yang sama. Mereka adalah Yuda, Sandy, Tarung, Juna, dan Ari. Iwan, pemuda asal Desa Patai, Kecamatan Cempaga ini sekarang bersama Yuda. Satu kamar. Dipekerjakan pada salah satu bengkel mobil di Sarawak, Malaysia.

Komunikasinya Kalteng Pos dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Memanfaatkan hotspot dari ponsel pekerja lain. Jika ketahuan, ponsel bisa saja disita. Di luar kamar ada penjaga.

Cukup lama komunikasi malam itu. Pesan suara tidak bisa dilakukan terus menerus, karena ia takut pembicaraannya didengar penjaga.

Iwan juga mengambarkan kondisi sekitar tempatnya berkomunikasi. Kala itu ia berada dalam kamar berukuran 4×4 meter. Hanya kasur tipis dan satu bantal yang menemaninya tiap malam. Satu tas jinjing miliknya ditempatkan di sudut kamar. Yuda, rekannya dari Kelurahan Mentawa Baru Hulu, juga berada di kamar yang sama. Lagi leyeh-leyeh. Memikirkan bagaimana bisa pulang.

Dalam rangkaian pesan suara yang dikirim, Iwan menceritakan kronologi hingga berada di Negeri Jiran. Ada enam orang yang berangkat. Empat orang dari Kotim dan dua orang dari Palangka Raya.

Iwan mendapat kabar ada pihak yang biasa melakukan perekrutan tenaga kerja untuk bekerja di Malaysia. Oleh Ari, Iwan kemudian diajak bertemu dengan seseorang bernama Abai. Pertemuan terjadi di warung Jalan Desmon Ali, Baamang, Sampit.

Iwan menggambarkan bahwa warung itu biasa dijadikan tempat berkumpulnya para sopir travel. Sepengetahuan Iwan, Abai bekerja sebagai sopir travel jurusan Sampit-Pontianak, Kalimantan Barat.

Dalam pertemuan singkat itu, Abai menjanjikan mereka bisa memperoleh pekerjaan di Malaysia. Pekerjaan yang ditawarkan adalah pembantu di warung makan. Iming-iming gaji Rp4 juta/ bulan dan makan sehari-hari ditanggung.

Iwan pun tertarik dengan tawaran itu. Kedua pemuda itu makin tertarik, lantaran Abai berjanji untuk mengurus semua dokumen, termasuk paspor.

“Kami diyakinkan masuk ke Malaysia secara legal. Kami juga dijanjikan akan mendapat pinjaman uang sesampai di Malaysia dan tidak akan dipisahkan dari rombongan,” beber Iwan.

Akhirnya disepakati keberangkatan ke Malaysia dilaksanakan pada 8 November 2022. Untuk biaya keberangkatan, Iwan dan kawan kawannya tidak membayar satu rupiah pun.

Terduga para pelaku praktik perdagangan orang ini menggunakan sistem sel yang terputus-putus di satu daerah ke daerah lain. Buktinya, rombongan sebanyak enam orang tadi diantar sendiri oleh Abai dari Sampit sampai ke wilayah Kalbar. Sesampainya di Kalbar, Abai menyerahkan mereka kepada seseorang yang bernama Haris.

Haris inilah yang dikatakan Iwan membawa mereka melewati perbatasan negara masuk ke wilayah negara Malaysia.

“Kami masuk ke Malaysia lewat Sanggau Ledo, Kalbar,” ujar Iwan sembari menyebut bahwa mereka dibawa melewati perbatasan Indonesia-Malaysia melalui jalan di area hutan dan perkebunan sawit. “Malam hari kami baru berani melintas,” tambahnya.

Sesampai di wilayah Malaysia, Haris kemudian menyerahkan mereka kepada seseorang yang tidak dikenalnya. Oleh orang tersebut, mereka kemudian dibawa ke sebuah rumah kecil di area perkebunan sawit. Menginap selama satu malam.

Setelah itu mereka dibawa lagi dengan mobil ke sebuah rumah yang tidak ketahui Iwan nama tempatnya. Di rumah tersebut, orang yang pertama menyambut mereka di Malaysia, kemudian menyerahkan mereka ke orang lain lagi.

“Kami akhirnya dipisah-pisah. Saya dan Yuda saja yang dipekerjakan di bengkel mobil. Sampai bengkel, kami langsung disuruh kerja, tidak ada istirahat,” tuturnya.

 

Janji-janji yang dilontarkan oleh Abai sewaktu masih di Sampit ternyata bualan belaka. Mulai dari dipekerjakan di warung makan, tidak akan dipisah dari rombongan, dibuatkan paspor, hingga dipinjami uang, semuanya tidak terbukti. “Kami tidak ditanggung makan. Kami makan harus bayar sendiri,” ujarnya lagi.

Yang makin membuat Iwan dan Yuda khawatir adalah kemungkinan besar tidak bisa pulang kembali ke Indonesia. Iwan menyadari status mereka saat ini adalah warga pendatang ilegal di Malaysia.

“Karena kami tidak punya dokumen resmi,” kata Iwan yang menyadari telah menjadi korban perdagangan manusia.

 

Anak pertama dari tiga bersaudara itu mengaku kondisinya saat ini sehat-sehat saja. Tidak ada kekerasan atau perilaku tak manusiawi yang dialami. Hanya saja pergerakannya diawasi terus. Tidak dibolehkan keluar dari area bengkel.

Iwan sempat mengirimkan alamat bengkel tempatnya bekerja melalui google map. Dari aplikasi google map diketahui bengkel itu merupakan bengkel mobil bernama EM Repair Centre SDN BHD yang terletak di daerah Miri, Sarawak, Malaysia.

Iwan mengaku tidak mengetahui siapa nama pemilik bengkel. Hanya ia sempat mendengar bahwa pemilik bengkel tersebut merupakan orang berpengaruh di daerah itu. Orang-orang memanggil pemilik bengkel tersebut dengan sapaan Toke.

“Orang bilang kalau di Indonesia sudah kayak menteri, orang besar (berpengaruh, red),” ucap Iwan. (sja/ce/ram)

Exit mobile version