PALANGKA RAYA-Pemerintah sudah bertemu dengan pemangku kepentingan di tingkat pusat untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan sawit. Pemerintah menyebut pihak perusahaan sudah menyetujui untuk merealisasikan plasma dalam waktu dekat sesuai tuntutan masyarakat.
Wakil Gubernur (Wagub) Kalteng Edy Pratowo mengungkapkan, pihak perusahaan sudah berkenan untuk memberikan calon petani dan calon lokasi (CPCL) dalam bentuk plasma. Adapun yang harus disiapkan sekarang ini adalah calon petani (CP) yang akan menggarap kebun tersebut. Dalam waktu dekat, masyarakat diharapkan bisa segera mendapatkan sisa hasil usaha (SHU) masing-masing.
“Sekarang ini kami harapkan pendaftaran dan pendataan untuk CP sudah ada secara riil, jangan sampai nanti terjadi lagi kendala-kendala di lapangan, karena pendataan itu juga harus by name by address,” beber Edy kepada awak media usai mengikuti apel persiapan pengamanan pemilu di Mapolda Kalteng, Selasa pagi (17/10).
Berdasarkan informasi, perusahaan telah menyepakati akan menyiapkan kebun plasma seluas 443 hektare (ha). Alokasi plasma untuk masyarakat itu dari lahan seluas 1.175 ha yang digarap PT HMBP di luar HGU. Edy menjelaskan, realisasi plasma yang akan direalisasikan tersebut sesuai dengan kesepakatan.
“Realisasi yang sudah disepakati yang sudah dibicarakan itu, maksudnya, kebun plasmanya nanti akan dibangun di lahan seluas 443 hektare, kemudian sisanya itu bisa berjalan dan berproses,” jelasnya.
Edy mengakui bahwa konflik yang terjadi di Desa Bangkal menjadi sorotan publik. Kementerian terkait juga sudah menaruh perhatian atas konflik tersebut. Edy menyebut, situasi terkini di Desa Bangkal sudah kondusif. Minggu (15/10), pihaknya menyerahkan paket sembako untuk masyarakat setempat. Pihak masyarakat, lanjut Edy, juga mengharapkan agar suasana di sana bisa aman dan damai. Ia berharap agar solusi yang diberikan nantinya bisa memberikan rasa kedamaian dan keadilan untuk masyarakat setempat.
“Masyarakat yang berada di sekitar kawasan perkebunan diharapkan bisa menikmati keberadaan sebuah investasi yang hadir dan diharapkan oleh mereka,” ucapnya.
Disetujuinya realisasi plasma 20 persen oleh perusahaan tersebut mendapat respons dari Sawit Watch. Pihaknya mengapresiasi keinginan pihak perusahaan untuk merealisasikan tuntutan plasma dari masyarakat. Akan tetapi, pihaknya menilai masih ada segelintir persoalan yang harus diperhatikan oleh pemangku kepentingan, agar program tersebut dapat dijalankan dengan baik. Terutama terkait kejelasan mekanisme pembagian plasma dan transparansinya.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menegaskan, jangan sampai rencana realisasi plasma tersebut hanya sebatas janji. Ada baiknya proses realisasi plasma itu dilakukan secara transparan. Pemerintah dapat mengumumkan kepada publik terkait mekanisme-mekanisme proses pendaftaran agar publik bisa turut mengawasi. Dalam praktiknya, kemitraan plasma 20 persen memiliki subjek dan objek.
“Subjeknya pekebun plasma, objeknya kebun, jangan hanya terima pendaftaran, habis itu tidak ada update. Saya pikir harus ada tim khusus. Kalau merujuk pada peraturan, dinas perkebunan yang bertugas mendata subjeknya dan memastikan agar objek kebunnya jelas di mana,” kata Achmad kepada Kalteng Pos, Selasa (17/10).
Menurut pria yang akrab disapa Rambo itu, jangan sampai hanya dilakukan pendataan subjek, tetapi tidak ada kejelasan terkait objek kebun yang dimaksud. Pemerintah harus secara reguler mengumumkan update terkini perkembangan realisasi plasma. Dari aktivitas tersebut, diharapkan masyarakat dapat melihat langsung tanggung jawab perusahaan memenuhi kewajiban.
“Saya merasa janji itu baik, tapi harus dilaksanakan benar-benar. Untuk menunjukkan iktikad baik itu, lakukanlah secara transparan dan terbuka, sehingga semua bisa berjalan dan kalau ada masalah bisa cepat direspons dan diselesaikan,” ucapnya.
Terkait dengan mekanisme kemitraan, Rambo menyebut ada pembobotan dalam realisasi plasma 20 persen. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Kemitraan di Sektor Perkebunan. Akan ada masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat dalam pelaksanaan kebun plasma, karena harus disesuaikan dengan pembobotan.
“Mekanisme kemitraan itu bermacam-macam, bisa menggunakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Namun kalau memang tidak ada lahan, bisa direalisasikan dengan bisnis serupa yang senilai dengan itu. Soal itu sudah diatur dalam permentan,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata berpendapat, dari berbagai konflik yang terjadi antara PT HMBP dan masyarakat serta runtutan peristiwa konflik yang diakibatkan oleh hadirnya perusahaan itu terhadap kelangsungan hidup masyarakat setempat, solusi ideal atas persoalan itu adalah mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan bersangkutan.
“Lakukan evaluasi terhadap izin PT HMBP dan mempertimbangkan untuk mencabut izin perusahaan. Hal itu bisa menjadi upaya yang tepat dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi antara PT HMBP dan masyarakat Kecamatan Seruyan Raya, khususnya Desa Bangkal,” tuturnya kepada Kalteng Pos, kemarin.
Menurut Bayu, pemerintah harus bertindak sesuai perannya, yakni memastikan bahwa investasi yang hadir harus berdampak positif bagi peningkatan dan ketahanan ekonomi masyarakat.
“Solusi itu bisa dihitung sebagai komitmen atau upaya yang disepakati oleh perusahaan terkait dengan kewajiban mereka membangun kebun masyarakat. Jadi, masyarakat mendapatkan manfaat dari kehadiran perkebunan. Di sisi lain, perusahaan masih tetap bisa melanjutkan aktivitas usaha,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakannya, jika kedua opsi tersebut tidak dijalankan, maka potensi konflik ke depannya akan makin besar. Akan ada potensi konflik vertikal maupun horizontal. Konflik vertikal seperti perselisihan antara masyarakat dan perusahaan serta konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat. Selain itu, ada potensi terjadi lagi bentrokan antara masyarakat dan pihak kepolisian.
“Konflik lebih besar akan terjadi, bukan hanya antara masyarakat dengan perusahaan, tetapi juga ketidakpercayaan warga dengan pemerintah karena tidak bisa menjalankan kewenangan,” tandasnya. (dan/ce/ala)