PALANGKA RAYA-Menyambut hari suci Nyepi tahun baru saka 1945, umat Hindu di Kota Palangka Raya melaksanakan upacara melasti di dermaga Tugu Soekarno, Minggu (19/3/2023).
Melasti merupakan upacara yang dilakukan umat Hindu untuk menyucikan atau membersihkan jagat (bumi), menyucikan bhuana agung (alam semesta) beserta isinya sebelum dilaksanakan tawur kesanga pada hari pengerupukan atau sehari sebelum hari Nyepi.
“Melasti berasal dari dua kata, yaitu mala dan asti. Mala artinya kotoran, sedangkan asti memiliki arti membuang. Bisa dijelaskan secara sederhana bahwa melasti itu artinya membuang segala kekotoran agar menjadi bersih dan suci kembali,” ucap Mujiyono, salah satu yang membantu mangku dalam memimpin upacara melasti, Minggu (19/3).
Kata melasti juga sering disebut mekiis (melis). Dalam agama Hindu, lambang pembersihan adalah lis, yang biasanya digunakan oleh umat Hindu saat acara keagamaan untuk melakukan pembersihan. Sehingga dapat diartikan bahwa melis/mekiis/melasti merupakan pembersihan atau penyucian. Meski ada perbedaan waktu pelaksanaan upacara melasti, tujuan utamanya tetap sama, yakni pembersihan atau penyucian jagat (bumi) menjelang hari suci Nyepi.
“Yang pasti pelaksanaan upacara melasti bertujuan untuk meningkatkan rasa bakti kepada Sang Pencipta agar senantiasa diberi kekuatan, menghanyutkan segala penderitaan masyarakat, menghilangkan kotoran yang ada dalam diri, serta kerusakan alam semesta,” ucapnya.
Upacara melasti yang diikuti ratusan umat Hindu Palangka Raya ini diawali dengan kegiatan mereresik (membersihkan alam) di pura maupun di sanggah/merajan (tempat sembahyang di rumah bagi umat Hindu). Kali ini dilaksanakan di Pura Pitamaha. Kemudian dilanjutkan dengan menghias pratima-pratima yang ada di pura masing-masing.
Setelah upacara menghias selesai, umat Hindu akan mengiring atau mengusung pratima tersebut ke tempat pemelastian. Kali ini pratima atau sesuhunan yang diyakini sebagai istana Yang Kuasa, diusung dan diarak menuju dermaga di kawasan Tugu Soekarno, untuk selanjutnya dilaksanakan upacara melasti.
“Pratima ditaruh menghadap ke arah Sungai Kahayan, kemudian umat Hindu duduk di belakang pratima dan menghadap ke arah sungai,” beber Mujiyono yang juga merupakan rektor Institut Agama Hindu Negeri (IAHN) Tampung Penyang.
Kemudian dipersembahkan sesajen yang dipimpin oleh pemangku. Usai menghaturkan sesajen, dilanjutkan dengan mengambil air Sungai Kahayan untuk disucikan.
Setelah upacara menghaturkan sesajen dan nunas tirta selesai, dilanjutkan dengan sembahyang bersama. Para pemangku akan menyiratkan (membagikan) air suci untuk diminum sebanyak tiga kali dan memberikan bija (beras yang dibasahi oleh air suci) untuk diletakkan pada dahi setiap umat Hindu yang hadir.
“Biasanya ada beberapa perwakilan dari tiap banjar mengusung pratima-pratima yang ada, menyucikan ke pantai/segara dengan menghaturkan sesajen meminta pengelukadan, peleburan, sekaligus nunas (meminta) tirta amerta sanjiwani. Setelah upacara pembersihan dan nunas tirta amerta dilakukan, pratima diiring dan malingga,” sebut Mujiyono. (irj/ce/ala)