Site icon KaltengPos

Obat Sirop Perusak Ginjal Segera Ditarik

Dinkes Kalteng Ingatkan Nakes Tak Memberikan Resep Obat Sirop, Apotek Dilarang Menjual

 

Lima Produk Obat sirop Berbahaya

 

PALANGKA RAYA-Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan laporan hasil pengawasan terhadap obat sirop diduga mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas. Hal ini dilakukan menyusul maraknya kasus gagal ginjal akut pada anak-anak di sejumlah daerah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama BPOM berkoordinasi untuk menentukan produk obat sirop mengandung bahan kimia perusak ginjal yang segera ditarik dari pasaran.

“Jadi sekarang kami berkoordinasi dengan BPOM supaya bisa cepat dipertegas obat-obatan mana saja yang harus ditarik,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kamis (20/10).

Rencana penarikan produk obat sirop itu berkaitan dengan temuan tiga zat kimia berbahaya, yakni ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) pada 15 sampel produk obat sirop yang diteliti dari pasien gangguan ginjal akut. Zat kimia tersebut terdeteksi pada organ pasien melalui penelitian terhadap 99 pasien balita meninggal akibat gagal ginjal di Indonesia.

“Kami tarik dan ambil darahnya, kami lihat ada bahan kimia berbahaya merusak ginjal, kemudian kami datangi rumahnya, kami minta obat-obatan yang pernah diminum, ternyata mengandung bahan-bahan tersebut,” ujarnya.

Menurut Budi, diperlukan sikap tegas pemerintah untuk melindungi masyarakat dari risiko gagal ginjal. Sebab jumlah kasus meninggal akibat gagal ginjal di Indonesia telah mencapai 70-an pasien per bulan. “Yang terdeteksi (sakit, red) di Indonesia sekitar 35 orang dalam sebulan, rumah sakit sekarang sudah mulai agak penuh, jadi kami ambil tindakan preventif,” katanya.

Tindakan preventif yang dimaksud, lanjutnya, yakni dengan menghentikan sementara pemberian obat sirop kepada masyarakat, baik usia anak maupun dewasa. “Tahan dulu sementara, supaya tidak bertambah lagi korban, khususnya balita-balita. Kalau obat urusan dokter, tapi kami tahan ke dokter dan apotek-apotek sampai nanti BPOM memastikan obat mana yang sebenarnya berbahaya,” katanya.

Budi menuturkan, tindakan tersebut merupakan langkah kehati-hatian pemerintah demi menekan laju kasus kematian akibat gagal ginjal. “Kenapa kami ambil begitu, setiap kali kami tunda, itu ada dua atau tiga bayi meninggal, jadi kami ambil tindakan yang hati-hati,” katanya sembari menambahkan, ethylene glycol dan diethylene glycol menjadi penyebab kematian banyak orang di sejumlah negara. Kasus serupa juga terjadi di Afrika, India, Tiongkok, dan sejumlah negara lainnya.

Menyikapi edaran Menkes, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalteng bersama BPOM Palangka Raya melaksanakan konferensi pers di Aula Dinas Kesehatan Kalteng, Kamis (20/10). Kepala Dinkes Kalteng dr Suyuti Syamsul menyebut ada pemberhentian penjualan dan peresepan obat sirop. Hal ini berlaku untuk semua merek tanpa terkecuali, sampai ada instruksi terbaru dari Kementerian Kesehatan. Ini merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah dalam menangani kasus yang marak belakangan ini.

“Jangan mengambil risiko dalam hal ini, ikuti saja sampai waktu yang ditentukan, kita berdoa saja dalam 2-3 hari ke depan ada kejelasan, karena BPOM akan memastikan dengan melakukan pengecekan beberapa merek obat,” ucap Suyuti.

Kasus ini terjadi karena dalam obat sirup terdapat beberapa zat berbahaya. Yakni etilen glikol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) yang terkandung dalam obat yang dikonsumsi oleh salah satu pasien gagal ginjal.

“Ada kasus anak gagal ginjal, setelah diperiksa, obat yang diminum itu mengandung zat seperti EG, DEG, dan EGBE yang sudah lama tidak diperbolehkan sebagai bahan campuran obat,” sebutnya.

Karena itu Suyuti menegaskan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, direktur rumah sakit, maupun tenaga kesehatan yang berkewenangan meresep obat agar tidak melakukan hal serupa. Selain itu, apotek mana pun diimbau untuk tidak menjual obat sirop untuk sementara waktu. Bagi warga yang sudah telanjur membeli, diingatkan untuk tidak mengonsumsi untuk saat ini.

“Kami juga sudah meminta kepada direktur rumah sakit negeri maupun swasta untuk tidak melakukan atau melayani pemberian obat sirop,” ucap Suyuti.

Kepala BPOM Kota Palangka Raya Yani Ardiyanti menjelaskan, beberapa zat yang diduga terkandung dalam obat sirop itu sudah lama dilarang untuk digunakan sebagai campuran obat. Ia memastikan bahwa pihaknya akan melakukan pengujian untuk memastikan kandungan di dalamnya.

“Kami akan melakukan uji sampling, apabila ditemukan penyimpangan atau ada masalah dalam kandungan obat, maka kami akan buat rekomendasi untuk penarikan produk bersangkutan dari pasaran,” kata Yani.

Sementara itu, Kepala BPOM RI Penny Kusumastuti dalam keterangannya, Kamis (20/10) menjelaskan, obat sirop yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG berasal dari empat bahan tambahan, yakni propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol yang bukan merupakan bahan berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan obat sirop. Sesuai farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau tolerable daily intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.

Lebih lanjut dkatakannya, BPOM telah melakukan uji sampling terhadap 39 bets dari 26 obat sirop yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG berdasarkan kriteria sampling dan pengujian, antara lain diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama berada/masuk rumah sakit.

“Diproduksi oleh produsen yang menggunakan empat bahan baku pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol dengan jumlah volume yang besar dan diperoleh dari rantai pasok yang diduga berasal dari sumber yang berisiko terkait mutu,” ujar Penny.

Oleh karena itu, BPOM memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar agar menarik kembali obat sirop dari peredaran di seluruh Indonesia dan pemusnahan untuk seluruh produk itu.

Penarikan mencakup seluruh outlet. Antara lain pedagang besar farmasi, instalasi farmasi pemerintah, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.

 

“BPOM bersama Kementerian Kesehatan, pakar kefarmasian, pakar farmakologi klinis, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan pihak terkait lainnya masih terus menelusuri dan meneliti secara komprehensif berbagai kemungkinan faktor risiko penyebab terjadinya gagal ginjal akut atau acute kidney injury (AKI),” tegas Penny.  (jpg/irj/ce/ala)

Exit mobile version