PALANGKA RAYA-Konflik pertanahan di Kalimantan Tengah (Kalteng) memang tak habis-habis. Saling klaim kepemilikan lahan antarwarga ataupun dengan korporasi masih kerap terjadi. Persoalan ini turut menjadi perhatian pemerintah. Kendati demikian, hingga kini solusi terbaik masih terus dicari.
Permasalahan yang sering muncul ke permukaan adalah terjadinya saling klaim kepemilikan tanah antarwarga. Namun, tak jarang pula terjadi saling klaim kepemilikan lahan antara warga dengan korporasi. Inilah yang kerap dihadapi masyarakat di Bumi Tambun Bungai. Keadaan ini disinyalir terjadi akibat regulasi yang bermasalah, sehingga dianggap perlu dilakukan pembenahan dari segi aturan.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kalteng H Nuryakin mengakui, dari dahulu hingga sekarang konflik pertanahan di Kalteng tidak pernah habis. Saling klaim lahan antarwarga sering terjadi. Padahal legalitas yang dimiliki masing-masing belum teruji validitasnya.
“Saya tegaskan, negara tidak boleh kalah,” kata Nuryakin kepada awak media usai membuka rapat koordinasi pencegahan dan penanganan konflik pertanahan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2023 di Hotel Bahalap, Rabu (22/2).
Sekda menyebut, yang dikhawatirkan oleh pemerintah provinsi (pemprov) terkait konflik pertanahan yang kerap terjadi selama ini adalah meningkatkan potensi konflik di tengah masyarakat atau konflik horizontal. “Saya melihat ada banyak kelompok yang bermain dalam perkara tanah, kalau tidak segera diselesaikan, dikhawatirkan terjadi konflik horizontal di antara mereka,” tuturnya.
“Konflik pertanahan yang marak terjadi saat ini sangat mengganggu pembangunan ekonomi Kalteng, salah satunya dalam upaya menarik datangnya investor,” tambahnya.
Sekda juga menyoroti perilaku aparat hukum dalam menegakkan regulasi dan menyikapi konflik pertanahan selama ini. Saling klaim kepemilikan tanah bisa terjadi, kendati salah satu pihak yang mengklaim terindikasi menggunakan surat atau dokumen palsu. Perihal itu, Nuryakin menilai bahwa selama ini perspektif penyelesaian masalah oleh aparat hukum atas kasus pertanahan selalu merujuk ke hukum perdata. Padahal yang terjadi bisa saja ada upaya pemalsuan dokumen oleh salah satu pihak yang berperkara. “Kalau pemalsuan dokumen, berarti perkara pidana, perspektif ini yang harus diubah oleh penegak hukum. Kita tahu kalau penyelesaian secara perdata itu lama kan, tapi kalau dalam suatu kasus sudah ada indikasi pemalsuan dokumen dan penyerobotan tanah, maka itu masuk dalam ranah pidana,” bebernya.
Beberapa waktu lalu, lanjut Nuryakin, pihaknya disambangi petugas dari Sekretariat Kepresidenan karena banyaknya laporan terkait konflik pertanahan di Kalteng, khususnya di Kota Palangka Raya.
“Konflik pertanahan di Kalteng, khususnya di Palangka Raya sampai mendapat perhatian dari pemerintah pusat,” tuturnya.
“Masalah tanah juga perlu ada kepastian hukum, siapapun itu, apakah tanah itu merupakan hak masyarakat, hak pemerintah, hak adat, ataupun hak perorangan, harus ada kepastian hukum,” tambahnya.
Menurut Nuryakin, konflik-konflik pertanahan yang terjadi selama ini di Kalteng sebaiknya dipetakan, kemudian dirembukkan bersama dengan instansi terkait untuk mencari solusi terbaik.
Masalah pertanahan harus diselesaikan dari hulu hingga hilir. Yang terjadi selama ini, para pemangku kebijakan lebih banyak menyelesaikan konflik pertanahan di level permukaan ketimbang menyelesaikan hingga ke akar konflik. Menurutnya akar masalah yang sebenarnya adalah regulasi terkait pertanahan.
“Penyelesaian konflik pertanahan harus diselesaikan dari hulu, dalam hal ini pembenahan regulasi, harus kita lakukan itu dahulu. Jangan sampai hulunya masih bermasalah, tapi kita justru menangani masalah-masalah di hilir. Kalau dari sisi aturan saja masih bermasalah, bagaimana kita mau menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di hilir?” ucap Nuryakin
Di tempat yang sama, Kepala Dinas Permukiman, Kawasan Perumahan, dan Pertanahan (Disperkimtan) Kalteng Erlin Hardi selaku kepala perangkat daerah tingkat provinsi yang menangani kebijakan terkait pertanahan mengatakan, pihaknya berada dalam koridor tugas untuk memfasilitasi dan mengoordinasikan segenap pihak yang punya wewenang berkenaan kebijakan pertanahan.
“Tugas kami untuk memfasilitasi dan mengoordinasikan segenap pihak dalam merumuskan solusi terbaik untuk penyelesaian masalah pertanahan di Kalteng ini,” ucap Erlin kepada media.
Untuk turut serta menyelesaikan masalah ini, pihaknya terus melakukan koordinasi lintasinstansi, baik dengan Badan Pertanahan maupun penegak hukum. “Kami terus memperkuat sinergisitas antarinstansi,” tuturnya.
Sejalan dengan pernyataan Nuryakin soal penyelesaian konflik pertanahan dari hulu ke hilir, Erlin menyebut bahwa sebagai langkah awal nanti, pihaknya akan menginventarisasi dan mengidentifikasi semua masalah pertanahan yang pernah terjadi.
“Jangan sampai hilirnya selalu bermasalah, tidak selesai-selesai. Oleh karena itu, sebelum adanya konflik pertanahan di masyarakat, kita kan tahu ada regulasi dan aturan-aturan yang berlaku. Oleh karena itu, masalah ini perlu kita inventarisasi agar tidak ada lagi oknum-oknum yang sewenang-wenang menyerobot lahan,” ucapnya.
Erlin menyebut pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota agar menyampaikan atau melaporkan semua konflik pertanahan yang ada di masing-masing daerah.
“Kami undang pemerintah dari kabupaten/kota untuk menyampaikan permasalahan yang ada, kami inventarisasi agar ketemu masalah dari hulunya bagaimana, sehingga masalah-masalah yang terjadi di hilir dapat clear, agar sengketa pertanahan yang terjadi tahun ke tahun dapat kita selesaikan satu per satu,” tandasnya.
Sementara itu, Koordinator Substansi Penanganan Sengketa, Konflik, dan Perkara Pertanahan Kanwil BPN Kalteng Dwiyana Oktarini membenarkan bahwa daerah di Kalteng yang memiliki jumlah pengaduan kasus tanah terbanyak adalah Palangka Raya.
“Kalau kasus konflik pertanahan itu sebetulnya tersebar, bukan hanya di Palangka Raya, tapi berdasarkan data BPN kabupaten/kota, jumlah pengaduan kasus konflik pertanahan terbanyak ada di Kota Palangka Raya, Sampit, Kapuas, dan Pangkalan Bun. Sementara daerah lainnya tidak sebanyak daerah yang disebutkan,” beber Dwiyana kepada wartawan.
Wanita bergelar sarjana hukum itu membeberkan, konflik pertanahan di Kota Palangka Raya lebih banyak terjadi antarperorangan atau antarmasyarakat sendiri. Sementara di kabupaten lainnya, yang lebih banyak terjadi adalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan besar swasta (PBS).
“Laporan konflik pertanahan yang masuk per daerah, Palangka Raya selalu paling banyak, namanya juga ibu kota provinsi, tetapi kalau di kabupaten lain lebih sedikit. Kami mengukur kuantitas kasus pertanahan di masing-masing daerah itu dari jumlah pengaduan, jumlah permohonan penyelesaian masalah yang masuk, di situlah kami bisa memetakan kasus pertanahan,” jelasnya.
Dwiyana menyebut daerah yang hampir tidak punya kasus konflik pertanahan adalah Kabupaten Sukamara. “Daerah itu minim pengaduan, mungkin karena minimnya kasus sengketa tanah di sana, kalau di Sampit kan sudah mulai ada isu jadi ibu kota, jadi ramai kasusnya,” ujarnya.
Untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah di Kalteng yang jumlahnya cukup banyak saat ini, Dwiyana mengatakan perlu ada peran serta segenap stakeholder dan masyarakat. Utamanya menyelesaikan akar masalah yakni pembenahan regulasi. Untuk itu perlu peran serta segenap pemangku kebijakan.
“BPN kan merupakan lembaga yang mengeluarkan produk seperti sertifikat, kalau untuk menyelesaikan masalah tanah, perlu peran serta segenap pihak, baik pemerintah daerah, BPN, penegak hukum, dan masyarakat sendiri, mesti ada saling koordinasi untuk penanganan masalah,” tandasnya. (dan/ce/ram)