Site icon KaltengPos

Terpuruk seperti Kehilangan Induk

MINIM PESERTA DIDIK: Bima, pelajar kelas VII SMP Nathania mengikuti proses belajar mengajar di ruang kelas, Selasa (25/7). Pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah yang terletak di Jalan Yos Soedarso, Palangka Raya itu hanya mendapat dua peserta didik baru.

Meski berada di jantung kota, SMP Nathania tetap saja minim peminat. Sekolah swasta yang didirikan tahun 2000 dan terletak di Jalan Yos Soedarso, Palangka Raya kian terpuruk. Tahun ini, sekolah tersebut hanya memiliki dua peserta didik baru. Dari kelas VII, VIII, hingga IX, totalnya hanya 7 peserta didik.

DHEA UMILATI, Palangka Raya

LALU-lalang kendaran tak pernah sepi di depan SMP Nathania. Tampak dari depan cat bangunan mengelupas. Terlihat sebagian plafon teras sekolah bolong. Selasa pagi (25/7), seorang guru berjaga di depan kelas. Mengawasi dua kelas sekaligus. Suasananya sepi. Dalam ruang kelas, terlihat ada enam bangku belajar tersusun rapi. Namun pagi itu hanya satu bangku yang ditempati.

Minimnya peminat yang bersekolah di SMP Nathania cukup menarik perhatian. Pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2023, hanya ada dua orang yang mendaftar. Keduanya berasal dari wilayah hulu Katingan.

“Umumnya yang bersekolah di SMP Nathania adalah pelajar yang berasal dari daerah-daerah, sedangkan yang dari Palangka Raya jarang,” kata Nathania Hadi Tumon selaku pendiri saat dibincangi Kalteng Pos, Senin (24/7).

Hadi mengatakan, jika menginginkan suatu sekolah untuk maju, bermutu, berkualitas, maka perlu ada dukungan dari pemerintah maupun masyarakat.

“Sekolah tidak akan bisa maju atau berkembang tanpa dukungan dari pemerintah dan masyarakat,” tegasnya.

Motto SMP Nathania, kata Hadi, adalah harus sekolah, jangan sampai tidak sekolah, apalagi karena alasan tidak ada uang, sebab mereka adalah generasi penerus. Menurut Hadi, biaya atau uang itu nomor dua. Bagi Hadi, sekolah adalah nomor satu, karena kita tidak akan tahu, mana tahu ada rezeki yang datang dalam perjalanan menuntut ilmu.

“Kami siap menampung anak-anak yang ingin bersekolah, termasuk guru yang mau mengabdi,” tambahnya.

Karena prioritas nomor satu adalah sekolah, urusan biaya dapat dikomunikasikan saat sekolah sudah berjalan.

“Akan ada pembicaraan dengan para orang tua atau wali untuk kesepakatan, kalaupun orang tua atau wali sama sekali tidak punya uang, ya tetap sekolah, jangan sampai karena tidak punya uang malah diberhentikan sekolahnya, tidak boleh begitu,” tegas Hadi yang saat ditemui mengenakan baju merah.

Menurutnya, terkadang masyarakat beranggapan bahwa biaya pendidikan di sekolah swasta sangat mahal.

“Padahal kalau kami tidak, kami punya toleransi untuk mendengar apa maunya masyarakat, maka dari itu dukungan dari mereka sangat kami perlukan,” ujarnya.

Begitu pula untuk insentif guru honorer. Baginya itu relatif, karena sumber dana berasal dari pemerintah dan masyarakat.

“Jika banyak peserta didik, banyak dananya, banyak pula honor dan insentif yang akan diberikan,” tuturnya.

Baginya, yang terpenting adalah adanya kemauan untuk bekerja.

“Walaupun banyak uang, banyak peserta didik, tetapi malas kerja, ya susah juga, jadi kami mencari yang tinggi sosial dan pengabdiannya, soal urusan kesejahteraan mengikuti dengan mempertimbangkan bobot kerja,” sambungnya.

Ia menyebut masyarakat Palangka Raya cenderung punya animo memasukkan anak-anak ke sekolah negeri.

“Mungkin karena sekolah ini kurang lengkap, kurang ramai, sehingga kurang peminatnya,” ungkapnya.

Ia menyadari fasilitas sekolah yang didirikannya itu masih kurang lengkap, sehingga ada keterbatasan bagi guru-guru untuk bergerak maju. Namun Hadi tak pernah berhenti untuk mengupayakan agar anak-anak yang punya keinginan sekolah terlayani dengan baik.

“Dahulu kalau ada anak yang tidak masuk sekolah, saya cari ke rumahnya, saya jemput jika tidak ada yang mengantar ke sekolah. Begitu pula kalau ada yang bolos, saya cari ke warnet-warnet sampai ketemu,” terangnya.

Itu dilakukan demi mewujudkan generasi penerus yang berpendidikan, menjadi anak-anak yang cerdas dan memiliki masa depan yang cerah. “Saya tidak mendirikan sekolah ini untuk mencari keuntungan,” tuturnya.

“Kadang saya berpesan kepada anak-anak, kalau lapar dan mau makan, ke rumah saya saja, daripada menahan lapar, lalu tidak fokus belajar,” ungkapnya sembari menunjukkan rumahnya yang terletak di seberang sekolah.

Hadi menambahkan, salah satu kendala yang dialami adalah aspirasi mereka yang tidak kunjung mendapat tindak lanjut dari pemerintah.

“Di dinas pendidikan tidak ada bidang sekolah swasta, kalau dulu saat di kanwil, ada bidang sekolah yang khusus mengurus sekolah swasta, jadi kami seperti kehilangan induk saat ini,” katanya.

Menurut Hadi, sekolah swasta semestinya memiliki penanggung jawab khusus, karena saat ini seakan hanya menumpang. Terlebih dinas pendidikan memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tidak hanya satu sekolah saja yang harus diurus.

“Harapan saya ke depannya semoga ada bidang swasta sehingga bisa tahu kesulitan serta hambatan sekolah swasta untuk bisa maju dan berkembang,” paparnya.

Novi, salah satu guru yang mengabdi di SMP Nathania mengatakan, selagi ada peserta didik, proses belajar mengajar tetap dilaksanakan. “Kecuali jika peserta didik tidak ada sama sekali,” katanya.

“Kami tidak mungkin tidak mengajar jika peserta didiknya ada. Saya bilang sama peserta didik baru kemarin, di sini memang sedikit peserta didiknya, tapi lebih enak kalian sekolah di sini, karena dengan sedikit peserta didik, proses belajar mengajar lebih mudah,” lanjutnya.

Melalui kegiatan belajar mengajar langsung atau face to face, interaksinya lebih dekat. Guru akan lebih memahami letak kekurangan peserta didik.

Di SMP Nathania, peserta didik kelas VII berjumlah 2 orang, kelas VIII 3 orang, dan kelas IX 2 orang. Total peserta didik adalah 7 orang.

“Yang sekolah di sini semuanya dari daerah, biasanya mereka yang dari kampung lambat mendaftar sekolah karena bingung, jadi bisa sampai akhir Juli atau awal Agustus baru mendaftar,” terangnya.

Jadi kalau masih ada yang mau daftar, tetap diterima oleh pihak sekolah, karena memang belum dimulai pendataan dapodik.

“Walaupun sudah dirilis datanya, masih bisa perbaikan data, baik yang mau masuk atau pindahan,” pungkasnya.

Kalteng Pos menemui Bima, pelajar kelas VII. “Asal saya dari Tumbang Marak, daerah Samba,” ujarnya.

Pelajar berusia 14 tahun itu mengaku tinggal ngekos bersama sang kaka yang sedang menempuh pendidikan di bangku SMK. “Disuruh orang tua ikut kaka di Palangka Raya buat sekolah,” katanya.

“Aku sendiri yang milih sekolah di sini, karena orangnya sedikit, jadi lebih nyaman,” terangnya.

Lingkungan SMP Nathania memudahkannya untuk cepat akrab dengan orang-orang sekitar. “Rasanya sekolah di sini nyaman, karena tidak terlalu berisik dan tidak ramai juga,” ucapnya.

Ia juga mengaku tidak pernah merasa minder bersekolah di SMP Nathania, karena tujuannya adalah menuntut ilmu. Yang penting bisa fokus belajar. “Tiap hari saya diantar jemput oleh kaka biar hemat ongkos,” bebernya. (*/ce/ala)

Exit mobile version