Site icon KaltengPos

Ini Langkah Mengurai Sengketa Pertanahan di Kalteng

RAKOR PERTANAHAN: Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Drs H Nuryakin MSi didampingi Kepala Disperkimtan Kalteng Erlin Hardi ST bersama unsur terkait saat menghadiri rapat koordinasi pencegahan dan penanganan konflik pertanahan di Hotel Bahalap, Palangka Raya, Rabu (22/2/2023). FOTO: EMANUEL LIU LONGA/KALTENG POS

PALANGKA RAYA-Konflik pertanahan terus-menerus terjadi dan seolah tak ada habisnya. Perlu langkah cepat dan tepat untuk mengurai permasalahan ini sehingga tidak berlaru-larut. Pemprov Kalteng melakukan rapat koordinasi untuk mencari solusi terbaik menyelesaikan masalah pertanahan di Bumi Tambun Bungai. Alhasil, ditelurkan beberapa rumusan kesepakatan bersama antarinstansi dan lembaga.

Hasil rakor tersebut tertuang dalam rumusan kesepakatan bersama rapat koordinasi pencegahan dan penanganan konflik pertanahan Provinsi Kalteng tahun 2023. Rumusan kesepakatan bersama itu disepakati dan ditandatangani bersama oleh Disperkimtan Kalteng, BPN, Polda, Kejati, Pengadilan Negeri Palangka Raya, BPSKL Wilayah Kalimantan, BPN Kotim, Disperkimtan Batara, Camat Rakumpit, dan Lurah Menteng.

Kepala Disperkimtan Kalteng Erlin Hardi menyebut sembilan poin kesepakatan yang harus dilakukan oleh segenap pihak dalam upaya mencegah dan menanggulangi konflik pertanahan di Kalteng.  Pertama, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota se-Kalteng dalam penanganan masalah bidang pertanahan senantiasa melakukan upaya-upaya yang dapat meminimalkan timbulnya konflik melalui komunikasi dan koordinasi yang efektif dengan seluruh stakeholder di daerah, dengan selalu bersikap responsif terhadap perubahan kebijakan dan isu-isu strategis di bidang pertanahan.

“Pada poin pertama ini kami sepakat agar dapat terus melakukan upaya-upaya yang bisa meminimalkan timbulnya konflik pertanahan melalui koordinasi efektif antarstakeholder,” ucap Erlin kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (27/2).

Poin kesepakatan kedua, lanjut Erlin, pemerintah provinsi berkomitmen untuk menjalankan kebijakan fasilitasi dan koordinasi dengan melibatkan pemerintah daerah terkait dalam upaya pencegahan dan penanganan berbagai konflik bidang pertanahan.

“Diharapkan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota senantiasa proaktif berkomunikasi dengan masyarakat terkait pencegahan dan penanganan konflik pertanahan,” jelasnya.

Poin selanjutnya yakni perlu adanya peningkatan koordinasi pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota sampai ke tingkat desa untuk bersinergi, bekerja sama, berkonsultasi, dan memberikan informasi yang berkaitan dalam kasus pertanahan guna menangani sengketa dan konflik pertanahan yang terjadi.

“Kami juga berkomitmen agar lebih mengupayakan sedini mungkin musyawarah atau melalui jalur mediasi dalam menangani dan menyelesaikan kasus pertanahan, karena dianggap paling efektif dan efisien,” bebernya.

Pada poin enam, lanjut Erlin, pihaknya bersepakat untuk meningkatkan dan mewujudkan tertibnya administrasi pertanahan dalam proses pemberian hak atas tanah atau hak pengelolaan tanah. Poin ketujuh, pemerintah kabupaten/kota diharapkan dapat menginventarisasi data sengketa, konflik, dan perkara pertanahan yang terjadi di sebagai indikator kinerja perangkat daerah dan sebagai sumber informasi, berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan (ATR/BPN) Kabupaten/Kota dan Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Tengah.

Selanjutnya pada poin delapan diharapkan agar dibentuk satgas pencegahan dan penanganan konflik pertanahan dalam rangka pencegahan dan penanganan konflik pertanahan di Kalteng.

Poin terakhir, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota maupun instansi pemerintah daerah yang membidangi masalah pertanahan diharapkan untuk meningkatkan kerja sama dalam hal konsultasi dengan aparat penegak hukum dalam mencegah dan menangani kasus pertanahan di wilayah Kalteng.

Dari seluruh poin yang disepakati tersebut, tutur Erlin, pihaknya fokus pada upaya preventif dalam mencegah konflik pertanahan di Kalteng. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak mencampuri urusan kabupaten/kota yang memiliki wilayah, melainkan sesuai koridor tugas pihaknya yakni untuk fasilitasi dan koordinasi.

Erlin menekankan pentingnya koordinasi yang baik antarpihak dalam menyelesaikan konflik pertanahan di Kalteng. Lazim terlihat ketidaksinkronan antara pejabat di tingkat kelurahan dan kantor pertanahan terkait penerbitan SPPT oleh kelurahan dan penerbitan sertifikat oleh kantor pertanahan setempat. Karena itulah kerap terjadi tumpang tindih surat atau dokumen kepemilikan tanah.

“Masalah yang sering terjadi mengindikasikan kurangnya koordinasi antarlembaga, misalnya pihak kelurahan menerbitkan SPPT di atas tanah yang sudah sertifikat, pertanyaannya apakah pihak kelurahan sudah koordinasi dengan BPN terkait penerbitan itu, karena itulah penting adanya koordinasi yang baik,” tuturnya.

Menurut Erlin, pemerintah kabupaten/kota beserta perangkat pemerintahannya perlu untuk berkoordinasi dengan kantor pertanahan untuk melakukan inventarisasi atau pencatatan konflik-konflik pertanahan di Kalteng.

“Inventarisasi konflik pertanahan penting dilakukan, mulai tingkat terbawah dulu, seperti lurah, karena mereka tahu posisi tanahnya. Pendataan-pendataan seperti itu yang diperlukan, nanti ketika ada kasus pertanahan kita sudah punya data. Kan banyak kejadian, suatu lokasi tanah yang sudah dimiliki masyarakat bersertifikat, tiba-tiba ada yang mengklaim lagi, ini SOP-nya harus lebih jelas, salah satunya inventarisasi,” jelas Erlin.

Maka dari itu, lanjutnya, perlu ada kejelasan status atas suatu bidang tanah dari masyarakat terhadap lokasi tanah tertentu oleh pihak kelurahan. “Makanya penting pendataan itu, dari bawah dulu melalui kelurahan yang menginventarisasi sampai tingkat atas, dari tingkat atas juga bisa mengklarifikasi kalau ada permasalahan,” ucapnya.

Adanya ketidaksinkronan antarpihak kelurahan dan kantor pertanahan terkait penerbitan surat kepemilikan tanah memang sering terjadi di Bumi Tambun Bungai. Karena masalah itulah tidak sedikit objek tanah yang memiliki banyak alas hak dalam satu petak.

Salah satu penyebab permasalahan tersebut adalah tidak optimalnya pemangku kebijakan dalam menjalankan kebijakan satu peta. Pada kejadian yang sudah-sudah, terkadang pihak kelurahan menerbitkan SPPT dan pihak kantor pertanahan menerbitkan SHM dalam bidang tanah yang sama. Kondisi demikian disinyalir terjadi akibat perbedaan acuan peta wilayah yang dipakai oleh BPN dan kelurahan dalam penerbitan surat pertanahan.

Erlin menyebut pemerintah provinsi menitikberatkan pada pengoptimalan kebijakan satu peta untuk menangani masalah ini. Sebagai pihak yang berperan menjalankan fungsi koordinasi, Erlin menyebut pihak pemerintah tingkat kelurahan bersama badan pertanahan dapat menciptakan produk peta yang sama yang menjadi acuan dari kedua belah pihak.

Untuk sampai ke sana, Erlin menyebut, perlu adanya inventarisasi secara menyeluruh atas status pertanahan di setiap kelurahan/desa melalui lurah sendiri, pihak kecamatan terkait, kantor pertanahan, dan bidang tata ruang dinas setempat, yang harus duduk satu meja menyepakati peta yang digunakan sebagai acuan.

“Untuk mencegah masalah konflik pertanahan ini memang perlu mengoptimalkan kembali kebijakan satu peta, untuk bikin satu peta itu perlu inventarisasi keseluruhan, selain itu pihak kelurahan, kecamatan, perangkat daerah terkait, kantor pertanahan, dan tata ruang itu harus duduk satu meja, enggak bisa peta yang digunakan oleh BPN beda sama yang digunakan oleh kelurahan, kalau gitu terus enggak bakal ketemu dan tetap timbul konflik,” bebernya.

Maka dari itu Erlin menekankan pentingnya kebijakan satu peta. Melalui kebijakan satu peta yang disepakati dan digunakan bersama, tidak akan terjadi tumpang tindih legalitas tanah dalam satu objek tanah yang sama.

“Makanya stakeholder terkait di lingkup kabupaten/kota perlu duduk satu meja dan menyepakati bersama peta acuan yang digunakan untuk penerbitan surat tanah. Sekali lagi, adanya satu peta acuan yang disepakati bersama itu penting sekali,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Erlin juga mengajak agar pihak terkait mampu menekan ego sektoral yang mempersulit koordinasi dan kolaborasi lintas sektor. Ia menekankan bahwa yang terpenting adalah mencari solusi terbaik agar masalah pertanahan di Kalteng ini dapat diminimalkan atau bahkan diselesaikan hingga tuntas.

Rumusan kesepakatan bersama itu disepakati bersama antara Disperkimtan Kalteng, BPN Kalteng, Polda Kalteng, Kejati Kalteng, Pengadilan Negeri Palangka Raya, BPSKL Wilayah Kalimantan, BPN Kotim, Disperkimtan Batara, Camat Rakumpit, dan Lurah Menteng.

Sementara itu, permasalahan tanah di Palangka Raya juga mendapat sorotan dari polikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Eldoniel Mahar SE MBA. Terutama mengenai terbitnya sertifikat ganda pada bidang tanah yang sama. Seperti yang dialami warga Jalan Hiu Putih VIII. Tentu tidak boleh terjadi, karena kualitas sistem administrasi jajaran Kementerian ATR/BPN di seluruh Indonesia seharusnya tidak perlu diragukan lagi.

Sejatinya, kata Eldoniel Mahar, sebuah sertifikat pada bidang tanah yang diterbitkan oleh BPN dapat dianalogikan sebagai BPKB kendaraan bermotor yang dikeluarkan oleh kepolisian, yang mana jika terjadi penerbitan BPKB ganda atas kendaraan yang sama menjadi keteledoran yang sangat fatal. Demikian pula halnya jika terjadi penerbitan sertifikat ganda.

“Saya menduga kekeliruan atau kesalahan atau keteledoran yang terjadi adalah disebabkan oleh beberapa hal yang  diduga dapat “memengaruhi” cara kerja personel serta sistem kerja yang berlaku pada kantor ATR/BPN setempat. Pertama adalah faktor yang sangat umum terjadi yakni mental dan perilaku “nakal” oknum pertanahan yang bekerja melanggar sistem dan ketentuan sehingga menghasilkan produk administrasi yang cacat hukum alias tidak semestinya,” kata Eldoniel kepada Kalteng Pos, Minggu (26/2).

Kedua adalah faktor psikokultural akibat pertikaian antaretnis beberapa tahun lalu, yang tampaknya dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memaksa insan pertanahan bekerja di luar sistem yang seharusnya. Sebagai contoh kasus, ada kecenderungan mengatasnamakan adat atas tanah yang tidak ada hubungannya dengan budaya adat setempat dan hak adat ini dimanfaatkan untuk memblokir kerja BPN dalam hal menerbitkan peta bidang yang dimohonkan oleh warga, sebagaimana terjadi di bilangan Jalan Cilik Riwut Km 8 pada 2021 lalu.

“Kemudian yang ketiga adalah faktor psikologi kekuasaan, di mana oknum instansi yang memiliki lingkup kewenangan luas menekan pihak ATR/BPN untuk melakukan sesuatu di luar sistem aturan yg berlaku demi mencapai tujuan tertentu. Contoh kasus yang terjadi 2017-2019, yang mana sebuah permohonan peta bidang di Jalan Mahir Mahar tak kunjung dilaksanakan oleh pihak BPN tanpa alasan apapun meski telah disurati berulang kali, ujung-ujungnya si pemohon dipanggil instansi tertentu dengan alasan yang kurang tepat terkait bidang tanah yang dimohonkan itu,” jelasnya.

Apapun alasannya, kata Eldoniel, penerbitan sertifikat ganda adalah hal yang tak dapat dibenarkan, karena hal itu mengakibatkan rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi warga pemegang sertifikat. Ada potensi konflik horisontal di antara masyarakat pemegang sertifikat ganda dan pelanggaran hukum perdata yang bisa menyengsarakan.

“Bayangkan jika sengketa tanah bersertifikat ganda dialami oleh masyarakat kelas bawah yang tidak punya apa-apa,” pungkasnya. (dan/yan/ce/ala)

Exit mobile version