Sidang kasus dugaan robohnya tembok penjara di Sukarama makin menarik diikuti. Fakta-fakta dalam persidangan makin gamblang. Dalam sidang dua hari lalu, ada lima saksi dihadirkan untuk memberi kesaksian.
AGUS JAYA, Palangka Raya
SIDANG perkara dugaan korupsi proyek pengerjaan tembok pagar keliling Lapas Kelas III Sukamara menghadirkan lima orang saksi. Perkara dengan terdakwa Reinal Saputra selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) digelar di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Selasa (29/11).
Lima saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalteng adalah Asmuri, Dedi Indarto, Koesmardiansyah, Andi Hendarto, dan Muhammad Soly. Mereka secara bergantian memberikan kesaksian di hadapan Irfanul Hakim selaku ketua majelis hakim. Terdakwa juga hadir saat itu didampingi tim penasihat hukum dari Kantor Pengacara Hukum Wikarya F Dirun dan Partner.
Asmuri mendapat kesempatan pertama untuk bersaksi. Saat tembok lapas roboh pada 2018 lalu, ia menjabat sebagai Kepala Lapas Kelas III Sukamara. Sewaktu pembangunan tembok pada 2017, ia masih menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Asmuri menyebut seluruh proyek pembangunan gedung dan bangunan tembok yang roboh itu merupakan kelanjutan dari proyek pembangunan tahun 2010.
“Dari tahun 2010 proyek ini mangkrak, tidak ada kelanjutan, jadi kayak bangunan hantu,” ucap Asmuri dalam sidang.
Asmuri mempertegas, cikal bangunan sudah digarap tahun 2010. Lalu mangkrak. Bangunan pagar di sisi timur baru selesai dibangun setinggi 3 meter dari rencana pembangunan setinggi 6 meter. Pagar di sisi belakang kantor baru fondasinya saja. Sedangkan di bagian barat, bangunan pagar sudah setinggi 6 meter, tapi belum diplester.
“Jadi bangunan tembok itu baru separuh pak,” ucapnya, seraya menyebut tak tahu siapa pihak yang mengerjakan proyek pada 2010.
“Ditunjuk kanwil langsung,” katanya.
“Oh, kanwil langsung yang pelaksanaannya ya?” tanggap Irfanul Hakim ketika mendengar jawaban dari Asmuri, yang langsung direspons anggukan kepala oleh Asmuri.
Asmuri mengatakan bahwa tembok yang roboh dari bagian fondasi bawah. “Semuanya dari bagian fondasinya Pak, dari fondasi bawah yang dikerjakan tahun 2010,” ujarnya lagi.
Sementara, penasihat hukum terdakwa, Wikarya F Dirun, meminta penjelasan dari saksi terkait bagian tembok penjara yang roboh.
“Ada enggak bagian yang roboh itu bagian atas saja, atau yang dikerjakan tahun 2017 saja?” tanya Wikarya.
“Enggak ada Pak, yang roboh itu semuanya rata,” jawab saksi.
Apa upaya dari Reinal selaku PPK dalam proyek tersebut untuk menyelesaikan masalah? Asmuri menjawab bahwa pernah ada pertemuan dengan pihak kontraktor yang berencana membangun kembali tembok yang roboh tersebut. Namun, pihak kontraktor hanya bersedia membangun tembok sesuai kontrak proyek tahun 2017.
“Karena mereka cuma melanjutkan membangun setinggi tiga meter, ya cuma tiga meter saja pak,” jawab Asmuri lagi.
Setelah Asmuri memberi kesaksian, kemudian JPU mengadirkan secara berturut-turut dua saksi yang diketahui merupakan pihak yang bertanggung jawab sebagai konsultan pengawas dan konsultan perencana dalam proyek tahun 2017. Mereka adalah Dedi Indarto dan Koesmardiansyah.
Dedi Indarto yang dipanggil untuk bersaksi lebih dahulu. Ia mengatakan bahwa sesuai dokumen yang ditandatangani dalam kontrak pekerjaan proyek tersebut, dia bertugas sebagai konsultan pengawas.
“Saya ditunjuk sebagai konsultan pengawas berdasarkan hasil lelang,” kata Dedi. Dia juga mengakui jika dirinya ikut membantu dalam perencanaan kegiatan pembangunan tembok tahun 2017 itu.
Dedi membenarkan bahwa pembangunan tembok keliling yang dikerjakan tahun 2017 tersebut melanjutkan proyek pembangunan tahun 2010 yang tidak selesai. Dikatakannya, dalam pembangunan tembok tahun 2017, pihanya mengawasi pekerjaan penambahan atau penyambungan dari ketinggian bangunan tembok yang telah ada.
Saat ditanya JPU, Syabun Naim, penyebab dari robohnya tembok tersebut, Dedi menyebut karena faktor fondasi bangunan yang tidak kuat.
Dedi mengatakan, fondasi dari bagian tembok yang roboh tersebut seluruhnya dibangun tahun 2010.
“Kalau yang dibangun tahun 2017 tidak ada yang roboh Pak,” terangnya.
Untuk pembangunan tembok di tahun 2017, pihaknya selaku konsultan pengawas pernah melakukan pengujian terhadap fondasi tembok yang dibangun. Namun untuk pekerjaan lanjutan pembangunan tembok yang dikerjakan di atas fondasi lama yang dibuat tahun 2010, pihaknya tidak melakukan hal tersebut. Di dalam dokumen kontrak pekerjaan pengawasan, tidak ada kewajiban dari pihaknya selaku konsultan pengawas untuk melakukan studi penelitian atau kelayakan terhadap kekuatan bangunan pondasi yang dibuat tahun 2010.
Sementara, Koesmardiansyah yang disebut sebagai pihak konsultan perencana dalam proyek pembangunan tembok tersebut, mengaku hanya ikut saat penandatanganan kontrak pekerjaan saja, selaku direktur perusahaan konsultan yang ditunjuk.
Ketika ditanya apakah mengetahui atau dilibatkan dalam perencanaan pembangunan tembok tahun 2017, Koesmardiansyah mengatakan tidak terlibat.
Saksi juga mengaku tidak mengetahui bagaimana perencanaan pembangunan tembok tersebut dibuat, karena seluruhnya sudah diserahkan kepada Dedi Ondarto yang meminjam nama perusahaannya untuk mengikuti lelang mengawasi proyek pekerjaan pembangunan tembok tersebut.
Koesmardiansyah sendiri mengaku baru mengetahui kejadian robohnya tembok itu dari pemberitaan media.
Ketika dicecar oleh penasihat hukum terdakwa terkait tanggung jawab dirinya selaku pihak perencana dalam proyek tersebut, Koesmardiansyah terlihat takut dan gugup menjawab pertanyaan.
Meskipun mengakui dirinya memang mesti ikut bertanggung dalam permasalahan ini, tapi ia merasa terlalu berat bila harus ikut bertanggung jawab dalam masalah robohnya tembok tersebut.
“Rasanya terlalu berat Pak kalau saya yang harus menanggungnya,” ujarnya menjawab pertanyaan dari Wikarya F Dirun.
Koesmardiansyah beralasan karena dirinya hanya sebagai orang yang menandatangani kontrak pekerjaan, sedangkan masalah teknis di lapangan, ia sama sekali tidak tahu, karena merupakan tanggung jawab pihak yang melakukan pengawasan tersebut.
“Yang banyak tahu di lapangan itu pihak Pak Dedi,” ujar pria yang mengaku sudah kenal lama dengan saksi Dedi Indarto itu.
Atas kesaksiannya itu, Koesmardiansyah sendiri mendapat teguran dari Irfanul Hakim karena dinilai asal membubuhi tanda tangan dalam kontrak pekerjaan tersebut.
“Sudah banyak kejadian seperti ini, sembarangan saja membuat tanda tangan di atas kontrak, saudara harus tahu konsekuensinya membuat coretan itu, karena saudara harus bertanggung jawab,” seru Irfanul.
Yang memberikan kesaksian terakhir adalah Andi Hendarto dan Muhammad Soly. Keduanya dipanggil untuk memberikan kesaksian secara bersamaan.
Dalam kesaksian, keduanya sama-sama mengaku tidak ikut dalam kegiatan perencanaan maupun pengawasan proyek tahun 2017 itu. Mereka juga mengaku tidak pernah membubuhkan tanda tangan sebagaimana yang tertera dalam dokumen kontrak pekerjaan pengawasan tersebut. Keduanya bahkan mengaku sama sekali tidak tahu soal pengawasan dalam proyek pembangunan pagar lapas tersebut.
“Saya sama sekali tidak tahu soal pekerjaan itu Pak,” ujar Andi Hindarto, lalu diiyakan Muhammad Soly.
Baik Andi Hindarto maupun Muhammad Soly kompak mengaku nama mereka dicatut dan ditulis sebagai tenaga ahli dalam dokumen kontrak pekerjaan pengawasan tersebut. Mereka membenarkan pernah bekerja di perusahaan milik Dedi Indarto.
“Namun sejak 2014 saya berhenti, karena saya dapat pekerjaan baru sebagai tenaga kontrak di Dinas PU Pak,” ujar Muhammad Soly.
Ditemui usai sidang, Wikarya F Dirun menegaskan bahwa berdasarkan fakta persidangan, terungkap bahwa tembok yang roboh itu disebabkan fondasi yang dikerjakan tahun 2010 tidak kuat. “Fakta persidangan tadi, terungkap robohnya tembok dari bawah yang dibuat tahun 2010, bukan kesalahan pembangunan tahun 2017,” ucapnya sembari berlalu meninggalkan gedung pengadilan. (ce/ram)