PALANGKA RAYA-Keluhan petani di Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) mengenai mahalnya harga pupuk bersubsidi langsung direspons oleh pihak berwajib. Polda Kalteng berencana menurunkan tim untuk menyelidiki informasi yang disampaikan oleh kelompok tani (poktan) di kawasan pengembangan lumbung pangan nasional tersebut.
Kepastian Polda Kalteng menurunkan tim untuk menyelidiki masalah tersebut dibenarkan oleh Kabidhumas Polda Kalteng Kombes Pol Eko Saputro. Polda akan memproses sesuai aturan yang berlaku apabila ditemukan kejanggalan yang mengarah kepada pelanggaran atau tindak pidana.
“Tadi (kemarin) Bapak Kapolda (Irjen Pol Dedi Prasetyo) perintahkan cek ke lapangan, koordinasi dengan petani, dinas pertanian dan peternakan, jadi hal ini atensi kapolda langsung, baik Dirkrimsus maupun kapolres Pulpis dan Kapuas akan memonitor secara langsung,” kata Kabidhumas Polda Kalteng Kombes Eko Saputro, kemarin (4/10).
Kalteng Pos mencoba menghubungi penjual pupuk bersubsidi Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu. Salah satu nomor yang dihubungi mengakui sebagai penjual pupuk di daerah tersebut. Ketika dikonfirmasi, suara di ujung telepon mengaku bernama Sutrik. Dia membenarkan sebagai istri pemilik toko yang menjual pupuk.
Awal perbincangan, Sutrik sempat dengan ramah menyampaikan informasi mengenai permasalahan pupuk di Desa Belanti Siam seperti yang diungkapkan oleh kelompok tani. Perihal kelangkaan pupuk subsidi, Sutrik secara tegas membatah. “Enggak ada Mas, enggak ada kelangkaan,” kata Sutri, kemarin.
Dia juga mengatakan bahwa beberapa waktu sebelumnya sempat ada keterlambatan kedatangan pupuk, tapi saat ini sudah lancar, karena ada pergantian pihak distributor.
“Yang sebelum kemarin itu memang ada (keterlambatan), tapi sekarang sudah lancar semenjak ganti distributor,” tegasnya.
Namun ketika Kalteng Pos ingin bertanya lebih jauh mengenai harga pupuk bersubsidi yang dinilai petani terlalu mahal, Sutrik tidak bisa memberikan keterangan dengan alasan sedang dalam perjalanan.
Beberapa saat kemudian, Kalteng Pos mencoba menghubunginya lagi, tapi Sutri mengatakan bahwa ia tidak bisa berkomentar terkait masalah tersebut karena takut salah. “Kayanya ulun (saya) enggak enak lah Mas, takut salah ngomong,” ujarnya.
Saat wartawan meminta agar bisa wawancara dengan suaminya, Sutri mengatakan jika suaminya tidak bisa diwawancarai. “Kayanya enggak berani Mas, takut salah ngomong,” ucapnya sembari menutup sambungan telepon.
Terpisah, Kepala Dinas Pertanian (Distan) Pulang Pisau Slamet Untung Rianto tidak menampik adanya kenaikan HET pupuk bersubsidi. Di mengungkapkan, kenaikan itu terjadi karena harga dasar mengalami kenaikan.
“Harga dari pusat memang naik. Kalau harga di kios harus tetap sesuai HET dan kalau petani mau diantarkan, tentu harus ada biaya pengantaran,” kata Slamet saat dihubungi Kalteng Pos, Senin (4/10).
Slamet mengungkapkan, HET pupuk bersubsidi itu mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tanggal 30 Desember 2020. “Pupuk bersubsidi ini diperuntukkan bagi petani yang tergabung dalam kelompok tani, terdaftar dalam sistem e-RDKK,” tandasnya.
Dihubungi terpisah, menyikapi informasi adanya kenaikan harga serta kelangkaan pupuk di lokasi food estate, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan (TPHP) Kalteng menyebut telah mencari tahu kebenaran hal ini.
Kepala Dinas TPHP Kalteng Sunarti melalui Kepala Seksi (Kasi) Pupuk dan Alsin Dardiansyah mengatakan bahwa saat ini tidak ada permasalahan pupuk di lokasi food estate.
“Kamis sudah konfirmasi ke dinas terkait di kabupaten yang menangani pupuk, dahulu memang ada permasalahan, tapi sudah lama, sekarang distributor sudah diganti, jadi untuk sekarang katanya aman,” tuturnya saat dikonfirmasi Kalteng Pos melalui sambungan telepon, Senin (4/10).
Perihal kelangkaan pupuk, ia menyebut bahwa pada dasarnya pupuk subsidi jumlahnya terbatas. Bukan langka, tapi memang barangnya sudah tidak ada. Tiap tahun pihaknya sudah mengusulkan pengadaan untuk tiap-tiap kabupaten sesuai kebutuhan masing-masing.
“Usulan itu sudah kami teruskan ke kementerian, usulan dari dinas kabupaten itu biasanya paling banyak terealisasi hanya 35 persen, sehingga dibilang langka itu bukan, tapi memang jumlahnya terbatas,” bebernya.
Jika demikian, maka yang tersedia hanyalah pupuk nonsubsidi. Tentu ada perbedaan harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi. Pupuk subsidi sudah ada harga eceran tertinggi (HET) dan tidak pernah bermasalah di Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) maupun kabupaten lain.
“Untuk pupuk secara umum pada lokasi pengembangan program food estate ini, sebetulnya ada bantuan saprodi dengan anggaran dari kementerian, kalau di provinsi anggaran hanya untuk benih dan itu sudah kami adakan,” ucapnya.
Tahun lalu, lanjut dia, kementerian membuat aturan, apabila di lokasi food estate sudah menerima pupuk subsidi, maka tidak boleh lagi menerina bantuan saprodi dari kementerian itu. “Pengiriman dan ketersediaan pupuk di lokasi food estate selama ini tidak pernah terlambat,” tegasnya.
Seperti diketahui, petani di kawasan food estate Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) sedang tidak baik-baik kondisinya. Garda terdepan dalam menyediakan pangan ini butuh perhatian dari pemerintah. Itu menyusul mahalnya harga pupuk subsidi di toko pengecer. Harga yang dijual ke petani tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah.
Tidak hanya soal HET yang dikeluhkan petani, tapi juga distribusi pupuk bersubsidi jenis Urea dan NPK Phonska yang terlambat. Hal ini membuat petani mendesak pemerintah pusat hingga daerah segera turun tangan mengatasi keluhan mereka. Pasalnya, jika tidak segera diatasi, dikhawatirkan memengaruhi hasil tanam petani tahun ini.
Perihal mahalnya harga pupuk bersubsidi ini dibenarkan oleh Mulyono selaku ketua Kelompok Tani (Poktan) Margomulyo, Desa Belanti Siam. Ia mengatakan, harga pupuk bersubsidi terutama jenis pupuk Urea dan NPK Phonska sudah naik sekitar Rp10 ribu sampai Rp20 ribu per sak 50 kg.
“Harga eceran tertinggi untuk pupuk Urea tercatat Rp112.500, tapi sekarang dijual ke petani Rp125.000 dan NPK Phonska harga HET-nya Rp115.000, tapi dijual di sini Rp135 ribu per sak 50 kg,” kata Mulyono yang mengaku kenaikan ini sudah terjadi sekitar sebulan terakhir.
Keterangan Mulyono ini dibenarkan rekannya sesama ketua poktan di desa itu, Pujiaman. Menurut Ketua Poktan Sido Mekar ini, selain harga pupuk yang dinilai mahal, pupuk yang dijual pemilik toko juga sering terlambat didatangkan.
“Pupuk ini datang sih datang, tapi sering terlambat, tidak tepat waktu saat petani butuh untuk pemupukan,” terang Pujiaman yang mengaku tidak mengetahui persis penyebab keterlambatan datangnya pupuk bersubsidi.
Pujiaman menyebut keterlambatan pupuk ini bisa berakibat turunnya produksi padi yang ditanam para petani. Karena pada awal penanaman padi, peran pupuk sangatlah penting, agar tanaman padi bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan padi yang baik.
“Kalau padi terlambat dikasih pupuk, jadi kurang bagus, tanaman memang bisa hijau, tapi anakan tanaman padi yang tumbuh sedikit,” ujar pria kelahiran Desa Belanti Siam ini.
Pujiaman juga membenarkan keterangan Mulyono yang menyebut bahwa petani yang bisa membeli pupuk bersubsidi adalah mereka yang memegang Kartu Tani. Para petani yang memiliki kartu tersebut, setiap musim tanam berhak membeli 6 sak pupuk Urea dan 18 sak NPK Phonska yang masing masing beratnya 50 kg.
“Tapi biarpun sudah beli pakai Kartu Tani, kami juga tidak bisa beli dalam jumlah banyak sekaligus. Kalau (pupuk) datang, itu juga harus dibagi-bagi,” katanya.
Yang membuatnya heran adalah harga pupuk bersubsidi seperti Urea dan NPK Phonska saat ini dijual ke petani dengan harga lebih mahal dibandingkan tahun-tahun sebelum petani memegang Kartu Tani. “Dulu kami bisa beli pupuk Urea per sak seharga Rp100 ribu, tapi sekarang malah per sak jadi Rp125 ribu,” keluhnya. “Masalah pupuk ini harus segera diluruskan, apalagi saat ini kan masuk musim tanam, petani butuh pupuk yang banyak,” pungkasnya. (sja/ram/art/abw/ce/ala)