Begitu kekayaan dan keindahan alam hilang, menyesal tak ada artinya. Menjaga adalah langkah yang paling utama untuk kelangsungan hidup anak cucu kelak.
AGUS PRAMONO, Pulang Pisau
“LESTARI alamku, lestari desaku, di mana Tuhanku menitipkan aku.” Penggalan lirik dari lagu berjudul Berita Cuaca karya Gombloh itu menggambarkan asa yang ingin diwujudkan oleh warga Desa Parahangan.
Desa yang berada di Kabupaten Pulang Pisau itu memang masih awam di telinga masyarakat. Kalah istimewa dibanding Desa Belanti Siam yang dikenal dengan food estate-nya. Kalah viral dengan Desa Penda Barania yang dikenal dengan banjirnya, sampai-sampai memutus jalur darat antarkabupaten/kota.
Namun, desa yang ada di Kecamatan Kahayan Tengah ini memiliki modal untuk menjadi desa yang maju. Mulai dari ketersediaan lahan, keindahan alam, luasnya hutan desa yang masih perawan, dan yang terpenting adalah gairah warganya.
Akhir pekan lalu, pagi-pagi saya (penulis) berangkat ke sana. Menumpang mobil. Jarak tempuhnya 46 kilometer dari Palangka Raya. Gabak sepanjang jalan. Tanpa hujan. 85 menit berlalu, akhirnya sampai juga di tujuan. Agak lambat dari estimasi awal. Kata sopirnya, biasanya satu jam. Wajar lambat. Karena sempat macet di desa yang selalu viral ketika musim hujan. Aspal jalan rusak. Terkikis oleh banjir.
Sesampai di sana, disambut hangat oleh pemuda-pemudi desa. Mereka mengatasnamakan kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Ada yang masih sekolah. Ada yang sudah siap menikah. Para taruna itulah yang kelak menjadi pilar utama keberlangsungan desa.
Dalam kesempatan itu, mereka ingin menunjukkan Agrowisata Tanggaring. Berdiri di lahan tak lebih satu hektare. Ada sungai selebar tiga meter. Namanya Sungai Tanggaring. Airnya kemerah-merahan khas Kalimantan.
Sekilas memang tak istimewa. Di dalamnya hanya ada tenda untuk kamping dan bersantai. Ada tempat duduk lesehan di bawah pohon. Ada juga tanaman dari berbagai jenis sayuran di sekitarnya.
Ke depan, selain menawarkan keindahan alam, ada juga mancakrida. Lalu akan dipajang hasil kerajinan tangan. Cocok banget bagi warga kota yang ingin bersantai ria. Bagi pengguna jalan ruas Palangka Raya-Gunung Mas, jika ingin mencari tempat melepas lelah, juga akan tersedia. Berbagai jenis makanan lokal dan minuman pelepas dahaga tak ketinggalan.
“Kami bermimpi berperan memajukan desa, ini cara kami, meski masih banyak kekurangan,” ucap Ketua Pokdarwis Ahmad Junaidi saat menyampaikan sambutan dalam acara peresmian yang sangat sederhana.
Duduk di bagian depan Camat Kahayan Tengah Siswo dan Kepala Desa Parahangan Agus Yulianto yang dipercaya untuk meresmikan. Dua orang asli Jawa Timur yang sudah fasih bahasa lokal. Menemani kedua orang itu, Penyuluh Kehutanan UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kahayan Tengah Nikolaus Dandi dan perwakilan kepolisian.
Tak ada spanduk yang terpampang di belakang mereka seperti acara resmi pada umumnya. Namun, lagu Indonesia Raya tetap cumengkling mengawali kegiatan. Mereka juga tak melupakan tradisi lokal. Tarian selamat datang ditampilkan oleh dua remaja perempuan sebelum pemotongan pita.
Membuka agrowisata adalah langkah awal untuk membuka mata masyarakat akan lestarinya alam di sana. Ada hutan desa seluas 1.574 hektare dari total luas desa 5.574 hektare. Ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.10388/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.O/12/2019. Angka itu berkurang 424 hektare dari jumlah luasan yang diajukan. Lantaran ada tumpang tindih dengan IUPHHK-HTI PT Ramang Agro Lestari dan pemanfaatan HHK-HT.
Hutan desa itu cocok sekali untuk menjadi tempat ekowisata. Banyak hewan dan tumbuhan dilindungi yang hidup liar. Sayangnya, saya gagal ke sana. Kondisinya tak memungkinkan. Debit air Sungai Kahayan sedang naik. Sebagian hutan tergenang. Namun, saya ditunjukkan beberapa foto dan video hasil rekaman warga yang berkunjung ke sana. Satu sisi lokasi hutan desa berdampingan dengan perkebunan sawit. Ada kanal yang membatasi. Beberapa sarang orang utan ada di pinggiran kanal. Untuk menuju hutan desa, harus menyeberang Sungai Kahayan. Di sungai itu masih ditemui pertambangan emas tradisional. Lalu melewati jalan darat selama 30 menit. Kanan kiri dihiasi pohon kelapa sawit.
“Hutan desa sangat berpotensi untuk penelitian. Masih banyak orang utan, owa, tarsius, berbagai jenis burung, dan aneka tumbuhan yang biasa digunakan warga untuk pengobatan tradisional,” ujar Kades Parahangan Agus Yulianto.
Bagaimana dengan ancaman kebakaran lahan dan pembalakan liar? Pria kelahiran Madiun itu menyebut menjadi pekerjaan rumah semua pemangku kebijakan. Perihal karhutla, desa yang dihuni 1.100 jiwa ini memiliki kenangan kelam. Tahun 90-an pernah terjadi kebakaran hutan yang sangat besar.
“Seiring tahun berganti, kebakaran hutan mulai berkurang. Bahkan tiga tahun terakhir ini tidak ada lagi kebakaran hutan,” beber pria berusia 46 tahun yang menginjakkan kaki di Bumi Tambun Bungai pada 1993 lalu.
Obrolan terkait potensi dan hutan desa makin menarik. Selain Agus, turut dalam obrolan Siswo dan Dandi. Kami duduk di bangku kayu bambu. Ada meja yang masih terasa lembab. Lapisan daun-daun melindungi kami terik mentari yang sudah tak tertutup mendung.
Dandi yang merupakan penyuluh kehutanan menambahkan, keanekaragaman flora dan fauna di hutan desa patut dijaga. Ada 15.887 hektare hutan desa di Kecamatan Kahayan Tengah yang sejak 2019 sudah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ancaman nyata sudah pasti ada. Yang ada di depan mata adalah kebakaran dan pembalakan liar. Dua problem itu menjadi perhatian utama. Langkah yang dilakukan bersama pihak desa adalah rutin melakukan patroli.
“Kami bersama Borneo Nature Foundation (BNF) Indonesia melakukan pendampingan setelah izin hutan desa keluar. Kami sudah berencana merangkul pemuda-pemuda di tujuh desa untuk dilatih berpatroli, mencari informasi, serta mengamati hasil-hasil temuan,” kata Dandi.
Selain itu, pihaknya sudah memprogramkan untuk menanam tanaman pangan yang menghasilkan. Masih banyak lahan kosong bekas kebakaran hutan yang belum produktif. Luasnya ratusan hektare.
Para pemuda didorong agar mau bergelut dengan cangkul. “Saat ini, masyarakat masih condong tergiur mencari emas secara tradisional. Nah, itu kan makin lama makin habis lokasinya. Kami coba ubah pola pikir mereka. Jika bertani atau berkebun, kan bisa menopang pangan warga, dan syukur-syukur bisa dijual ke kota,” sebutnya.
Bersamaan dengan itu, datanglah nampan berisi ubi, jagung, dan pisang rebus. Ditambah lagi minuman. “Ini hasil dari kebun warga di sini,” ucap remaja putri yang mengantar kudapan itu.
“Pas benar, mengganjal perut,” celetuk semua orang yang ada di depan meja.
Camat Kahayan Tengah Siswo yang duduk di samping Dandi menyimak betul perencanaan yang disampaikan. Sambil mengunyah kudapan. Kacamata hitam digeser ke atas. Tepat di bagian depan topi warna hitam. Menutupi tulisan merek produk ternama itu. “Tak tutupi saja, nanti dikira pamer,” kelakarnya.
Mantan guru sekolah dasar yang masuk ke Kecamatan Kahayan Tengah tahun 1994 itu melanjutkan obrolan. Ia selaku kepanjangan tangan dari Pemkab Pulang Pisau sangat mendukung inovasi-inovasi di desa. Baik wisata, pelestarian hutan desa, sampai kepentingan pangan. Apalagi melibatkan kawula muda. “Susah cari anak muda untuk kumpul-kumpul sekadar menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk membuat terobosan,” ujarnya.
Apa sih potensi yang ada di Kecamatan Kahayan Tengah? Pria yang meninggalkan tanah kelahirannya Lamongan sejak berusia 7 tahun itu menyebut banyak. Ada wisata budaya, religi, potensi perkebunan, dan kerajinan tangan. “Yang terkenal kan banjirnya saja. Padahal, lokasi banjir hanya ada di Desa Penda Barania. Desa yang lain tidak ada banjir,” ungkapnya.
“Enak ya minumannya,” celetuk Dandi saat melihat saya menegak minuman berwarna ungu itu.
Padahal mau saya tanyakan. “Apa hayo?” tambahnya.
Mikir sesaat. Ujung-ujungnya tak bisa menjawab. “Itu teh bunga Telang,” kata Dandi.
“Di rumah saya banyak. Nanti kita lihat,” sahut Agus Yulianto.
Tanaman bunga Telang biasanya hidup di tanah kering yang ada di sekitar permukiman. Warga sudah mulai menanamnya di pelataran rumah. Warna yang mencolok dan bentuknya seperti kupu-kupu memanjakan mata yang memandang.
Ibu-ibu di desa itu mulai banyak menanam. Ketika sudah mekar, bunga-bunga itu dikeringkan, lalu diseduh seperti teh. “Untuk saat ini belum kami pasarkan secara luas. Warga belum punya keterampilan lebih untuk mengolah secara benar dan membuat kemasan, apalagi perizinan,” ujar Agus. “Nanti saya akan meminta dinas terkait untuk membimbing warga agar usaha kecil seperti ini bisa berkembang,” ucap Siswo.
Obrolan pun berlanjut di rumah kepala desa. Di halaman belakang, ternyata ada kotak-kotak berjejer di tengah tanaman bunga berwarna-warni. Ternyata budi daya lebah kelulut. Membudidayakan lebah kelulut adalah potensi lain yang ada di desa ini. Milik kelompok usaha tani. Baru berjalan tiga bulan. Ada 40 kotak. Baru sekali panen. Madunya sementara dijual di lingkup desa. Harganya Rp400-500 ribu per liter. Rasanya sedikit asam saat saya menyedot langsung madu dari sarangnya. Ada juga rasa manis dan pahit ketika mencoba di tempat lain.
Saya juga mengunjungi lokasi pembibitan. Ada 400 ribu bibit tanaman ditanam di plastik berwarna hitam. Hamparan paranet melindunginya dari terik matahari. Meliputi petai, jengkol, sengon, jeruk, durian, kelengkeng, mangga, dan matoa. Usianya belum genap satu bulan.
Menurut Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Dinas Pertanian Kabupaten Pulang Pisau Aisupran, bibit-bibit itu nantinya dibagikan ke kelompok tani.
Pria 49 tahun itu sudah sejak 2007 lalu bertugas di Desa Parahangan. Awalnya ia mengalami sedikit kesulitan ketika membina warga yang sebagian besar memilih mencari emas secara tradisional yang dianggap lebih cepat menghasilkan uang.
“Memang harus diakui bahwa mengubah pola pikir dari pertambangan emas tradisional ke pertanian itu tidak mudah, tugas kami ya menarik minat mereka,” ujarnya.
Upaya itu tak sia-sia. Saat ini sudah mulai kelihatan hasilnya. Awalnya belasan orang yang terjun ke pertanian, tapi kini sudah berjumlah ratusan. Buktinya, ada lima kelompok tani yang sudah berdiri. Satu kelompok tani beranggota 25 hingga 30 orang. Tidak semuanya generasi tua. Ada yang masih muda. Rata-rata punya lahan sendiri. Mereka sudah meninggalkan pertambangan tradisional. Mereka sadar bahwa suatu waktu lahan emas itu akan habis. Tidak kekal.
“Sejauh ini mereka sudah menghasilkan. Contohnya, sayuran. Sampai kewalahan melayani pembeli yang merupakan warga desa sendiri maupun warga desa sekitar,” ungkapnya.
Masalah saat ini adalah kekurangan lahan. Harus ada solusi dari pemerintah untuk membuka lahan. “Banyak lahan kosong, tapi warga enggak mungkin membakar. Warga di sini kesadarannya tinggi. Enggak mau membakar. Harus ada alat untuk membuka lahan tidur,” ungkap lulusan D-3 Pertanian Universitas Palangka Raya tahun 1994 ini.
Di tempat yang sama, Koordinator Community Development BNF Indonesia Yuliana Nona menyampaikan, BNF memiliki peran dalam pendampingan merawat dan menggali potensi hutan desa. Sejumlah desa yang ada di Kecamatan Kahayan Tengah memiliki potensi keanekaragaman hayati. Mulai dari primata, mamalia, burung, reptil, hingga aneka jenis tanaman.
“Satwa yang ada di hutan Desa Parahangan merupakan limpasan dari area sekitar hutan desa yang sudah menjadi perkebunan sawit. Oleh karena itu, rumah satu-satunya bagi satwa-satwa itu hanyalah hutan desa. Karena itu, kami berharap hutan di Desa Parahangan dapat dijaga kelestariannya melalui kegiatan yang melibatkan masyarakat desa, terutama kawula muda,” tegasnya. (*/ce)