PALANGKA RAYA-Sejak Oktober hingga November ini, para taipan yang memiliki bisnis industri kelapa sawit sedang senyum-senyum manis. Pasalnya, harga sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar dunia sedang melejit. Kalteng menjadi salah satu penghasil sawit terbesar di Indonesia dengan hasil produksi mencapai 6,8 juta ton per tahun.
Sayangnya, bergairahnya harga CPO dunia ini tidak dibarengi dengan kontribusi perusahaan besar swasta (PBS) terhadap daerah. Padahal berdasarkan database, perkembangan usaha perkebunan dan rekapitulasi pembangunan kebun masyarakat se-Kateng jumlahnya mencapai ratusan unit. Data per Juni 2021, khusus perusahaan sawit saja, totalnya mencapai 292 unit. Dari jumlah itu, 187 unit sudah operasional dan 105 unit belum operasional. Dari ratusan PBS tersebut terdapat 123 unit pabrik kelapa sawit (PKS).
Masih berdasarkan database perkembangan usaha perkebunan dan rekapitulasi, jika digabungan dengan perusahaan karet yang memiliki 6 unit, maka total perusahaan perkebunan sawit dan karet yang operasional berjumlah 193 unit, dengan luas 1.321.421,04 hekatre (ha). Terdapat 120 unit PBS yang sudah membangun/memfasilitasi plasma atau kebun masyarakat. Luas plasma 214.352,43 ha atau jika dipersentasekan antara luas kebun inti dengan luas kebun masyarakat yang telah terbangun sebesar 16,22 %.
Dari ratusan unit PBS sawit dan jutaan ton CPO yang dihasilkan tersebut, ternyata tidak terlalu banyak berdampak pada kesejahteraan masyarakat Kalteng. Kepedulian dan perhatian dari dunia usaha terhadap masyarakat masih belum merata dan dianggap masih rendah. Pemerintah daerah pun buka-bukaan. Membenarkan bahwa sejauh ini kepedulian PBS yang bergerak pada sektor perkebunan kelapa sawit dinilai masih kecil alias minim.
“Itu (kepedulian) memang masih kecil jika dibandingkan dengan nilai investasi dan keuntungan usaha perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalteng,” kata Plt Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng Sri Suwanto kepada Kalteng Pos, Kamis (4/11).
Wujud kepedulian yang paling mudah diukur, ungkap Sri Suwanto, bisa dilihat dari kegiatan CSR yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat. Ia menilai bahwa kontribusi itu masih relatif kecil. Hal ini disebabkan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan selama ini hanya didasarkan kepada kesadaran dan komitmen perusahaan.
“Padahal komitmen dan kesadaran setiap perusahaan tidak sama dan sangat tergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing. Menggantungkan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan kepada kesadaran dan komiteman perusahaan, punya beberapa kelemahan,” ucapnya.
Kelemahan paling mendasar, kata Sri Suwanto, yakni tidak adanya sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Selain kegiatan CSR, wujud kepedulian kepada masyarakat adalah menyangkut kesempatan kerja bagi masyarakat lokal masih relatif kecil. Selama ini perusahaan cenderung hanya membuka peluang kerja bagi sumber daya manusia yang rendah.
“Contohnya pemanen dan sekuriti, tidak ada prioritas mengakomodasi SDM lokal terutama pemuda dan pemudi lulusan sarjana untuk level staf manajemen,” jelasnya sembari mengatakan kalaupun ada masyarakat lokal yang masuk dalam level staf manajemen, persentasenya sedikit, apalagi untuk level atas manajemen.
Manfaat perusahaan bagi masyarakat dalam hal membuka peluang lapangan kerja, kata Sri Suwanto, adalah memberikan penambahan penghasilan bagi masyarakat baik yang bekerja langsung di perusahaan maupun masyarakat yang berusaha.
“Contohnya berdagang di sekitar wilayah perusahaan. Juga memberikan manfaat penambahan penghasilan dari hasil kebun masyarakat atau plasma. Membuka akses untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat sekitar. Kepedulian kepada masyarakat sekitar melalui kegiatan CSR. Kontribusi langsung bagi pendapatan daerah yang berasal dari sawit dan turunannya (CPO, PKO, kernel) tidak ada,” terangnya.
Mengenai plasma, kata Sri Suwanto, memang ada beberapa kendala dalam fasilitasi pembangunan, belum fokusnya pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan perkebunan di wilayahnya masing-masing.
“Itu akibat sering berubahnya-ubahnya formasi dan struktur instansi teknis pembinaan perkebunan, saat ini yang menangani perkebunan berada pada dinas pertanian kabupaten/kota,” ucapnya.
“Regulasi pemerintah pusat yang cenderung berubah-ubah, multitafsir, dan kurang memperhatikan perkembangan dan aspirasi daerah, keterbatasan areal APL karena permasalahan kawasan yang penyelesaiannya memerlukan waktu lama dan biaya tinggi, tumpang tindih perizinan di atas lahan, serta konflik agraria/tenurial,” tambahnya.
Sri Suwanto menuturkan, mengenai sanksi disesuaikan dengan amanat UU Nomor 39 Tahun 2014, bahwa kewenangan pembinaan, pengawasan, dan pemberian sanksi dilakukan oleh bupati/wali kota bila perizinan tersebut terdapat pada wilayah kabupaten, dan menjadi kewenangan gubernur apabila perizinan tersebut terdapat pada lintas kabupaten/kota.
Sanksi administratif yang diatur dalam UU 39 tahun 2014 pasal 60 ayat 2 berupa denda, pemberhentian sementara dari kegiatan isaha perkebunan atau pencabutan izin usaha perkebunansanksi denda tidak pernah dilakukan dikarenakan tidak ada aturan pemerintah sebagai turunan dari UU 39 tahun 2014 tersebut yang mengatur tentang tata cara/ ketentuan sanksi denda.
“Sanksi administratif yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2011 Pasal 70 ayat 2 berupa teguran tertulis, pencabutan izin usaha perkebunan, dan pencabutan hak guna usaha. Gubernur sudah menyurati bupati/wali kota se-Kalteng untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap kewajiban perusahaan perkebunan dalam memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20 %.
Disbun Kalteng sebagai perpanjang tanganan gubernur, telah melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap kewajiban perusahaan perkebunan dalam memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20 % yang berada di wilayah lintas kabupaten/kota.
Sri Suwanto membeberkan, sumber pandapatan yang diperoleh daerah dari industri kelapa sawit yang beroperasi di Bumi Tambun Bungai ini hanyalah dari Dana Bagi Hasil (DBH), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor P3 dan PPN/ PPH, serta sumber pendapatan umum seperti pajak kendaraan bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar, dan Pajak Air Permukaan.
Ketua Lembaga Minyak Pambelum Kalimantan Tengah Dr Ir Rawing Rambang MP mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun pihaknya sampai semester pertama Juni 2020, perkebunan sawit yang sudah operasional di Kalimantan Tengah berjumlah 188 dengan luas 1.695.110,25 ha.
Daerah dengan perkebunan sawit terluas adalah Kotawawaringin Timur (Kotim), dengan jumlah 40 PBS dan luasnya mencapai 379.261,45 ha. Daerah ini memiliki luas terbanyak karena infrastructure pelabuhan laut, sungai, udara, dan tanah subur.
“Berdasarkan data tahun 2020, produksi CPO kurang lebih 2.740.000 ton per tahun, kalau per bulan tinggal dibagikan 12 bulan saja,” ungkap pria yang pernah menjabat Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng ini.
“Harga TBS di tingkat petani kurang lebih Rp2.885/kg, kalau CPO hampir Rp14.000/ liter. Banyak tenaga kerja diambil dari masyarakat sekitar. Di samping itu, PBS biasanya memberi kontribusi berupa CSR,” tambahnya.
Menurut Rawing Rambang, perusahaan sawit juga mendatangkan manfaat untuk Kalteng dan masyarakatnya, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja dan menciptakan zona-zona baru perekonomian di sekitar kebun.
“Tentu pendapatan daerah berupa pajak kendaraan bermotor, pajak bagi hasil pendapatan tanah/ bangunan, pajak penghasilan, pajak ekspor,” lanjutnya.
Untuk plasma dan kebun kemitraan masih dalam proses. Sudah menjadi kewajiban perusahaan perkebunan untuk kepentingan masyarakat sekitar. Plasma dan kemitraan harus dilaksanakan sesuai Permentan Nomor 98 Tahun 2013 atau UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2013.
“Industri pengolahan sawit di Kalteng ada di Kobar dan Kotim dengan produk berupa minyak goreng, sabun, kosmetik,” tambah peraih gelar doktor lulusan Universitas Palangka Raya (UPR) ini.
Sumbangsih CPO Kalteng untuk diekspor hampir 70 persen. Sisanya untuk kebutuhan dalam negeri.
Greenpeace Soroti Keberadaan Sawit di Kawasan Hutan
Mengutip dari greenpeace.ord, Greenpeace Indonesia dan The Tree Map telah menganalisis dan menemukan seluas 3,12 juta hektare perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir 2019. Setidaknya terdapat 600 perusahan perkebunan di dalam kawasan hutan dan sekitar 90.200 hektare perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.
Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di Pulau Sumatera 61,5 persen dan Kalimantan 35,7 persen. Dari kedua pulau tersebut, terdapat dua provinsi ekspansi besar, yaitu Provinsi Riau 1.231.614 hektare dan Kalimantan Tengah 821.862 hektare. Kedua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.
Berkenaan dengan keinginan Presiden RI Joko Widodo agar ekspor CPO di Turrki meningkat, Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, dalam konteks lingkungan, soal pembangunan ekonomi dan pasar komoditas yang kemudian hasil sumber daya alam (SDA) diekspor ke luar, secara ekonomis tidak langsung berkontribusi terhadap pembangunan. Nilai tambahnya tidak ada. Harusnya pemerintah memikirkan nilai tambah yang bisa menyumbang pembangunan Indonesia.
“Bukan cari pasar ekspornya, tapi memperluas nilai tambah produk-produk sawit di Indonesia,” katanya saat dikonfirmasi, Rabu (3/11).
Diungkapkannya, pasar ekspor industri berbasis lahan dan ekstraktif itu memicu kerusakan lingkungan. Jika memang ekspor ditambah ke Turki, maka akan menambah baban terhadap daya dukung lingkungan, karena ekspansi sawit bertambah.
“Sebetulnya itu kontradiktif dengan yang disampaikan Presiden sendiri, bahwa ada komitmen 100 negara untuk menghentikan deforestasi sampai tahun 2030. Namun jika Indonesia masih cari ekspor CPO tanpa melihat bahwa itu akan berdampak pada ekspansi sawit, maka bertentangan dengan komitmen Presiden,” ungkapnya.
Arie menyebut, pada dasarnya yang harus dibenahi di Kalteng ini adalah soal tata kelolanya. Kalteng memiliki lahan yang luas. Berdasarkan laporan Greenpece, perkebunan sawit dalam kawasan hutan di Kalteng cukup luas, dengan luasan hampir satu juta hektare.
“Itu sawit-sawit ilegal yang juga menghasilkan CPO ilegal pula, harusnya itu dibenahi dulu, kemudian barulah memikirkan ekspansi negara ekspor,” sebut dia.
Namun, berkenaan keuntungan untuk daerah, dalam hal ini Kalteng sebagai salah satu daerah penghasil sawit yang cukup banyak, sebenarnya hanya sedikit saja, karena pada dasarnya pajak masuk ke nasional. Bahkan ada pula pungutan ekspor CPO yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Itu tidak ada kontribusi ke daerah, karena masuk dalam pajak secara nasional, justru diberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan. Terlebih kebanyakan perusahaan-perusahaan ini bukan dalam negeri, lagi-lagi keuntungan itu yang diambil dari CPO,” bebernya.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada kontribusi pembangunan merata, karena hanya dikuasai segelintir orang. Justru perusahaan yang diuntungkan. Ketika berorientasi pada ekspor, maka akan berimplikasi pada penambahan luas lahan, karena strategi yang dibangun bukan intensifikasi dan bukan meningkatkan produktivitas.
“Tapi itu orientasinya ekspansi baru. Makin ke sini, pembukaan lahan sawit makin meningkat. Model industri sawit yang berorientasi pada ekspor ini, justru akan menambah ekspansi sawit dan akan berdampak pada lingkungan. Saat ini saja sudah berdampak, apalagi jika ada ekspansi sawit, otomatis akan menambah kerusakana lingkungan,” katanya.
Meskipun pemerintah mencoba membangun industrialisasi nasional, lanjutnya, tapi jika tidak melakukan intensifikasi lahan yang sudah ada saat ini, justru akan menambah ekspansi lahan. “Seharusnya strategi yang digunakan adalah intensifikasi, meningkatkan produktivitas sawit saat ini sehingga hasilnya lebih besar, bukan malah nambah lahan,” pungkasnya. (abw/nue/ce/ala)