PALANGKA RAYA-Masih tingginya angka kematian pasien Covid-19 di Palangka Raya, membuat pemilik usaha pembuatan peti mati atau peti jenazah bekerja ekstra. Selain melayani masyarakat umum, tempat pembuatan peti mati ini juga menerima pesanan dari rumah sakit. Selama pandemi ini, minimal harus ada 15 peti yang disiapkan dalam sehari.
Salah satu pelaku usaha pembuatan peti mati ini adalah UD Uci Tabitha. Selama pandemi melanda, para pekerja membuat lebih banyak peti mati setiap harinya. Seperti yang terlihat pada Rabu (11/8). Empat orang pekerja sibuk menyelesaikan pembuatan peti mati. Ada yang khusus di bagian pengamplasan dan memelitur peti mati. Pekerja lainnya menyiapkan lapisan alumunium foil untuk diletakkan dalam peti mati.
Yosi selaku pemilik UD Uci Tabitha memperhatikan karyawannya yang bekerja. Kadang ia harus turun tangan ikut membantu pengerjaan. “Ini pesanan peti mati dari rumah sakit untuk pasien Covid-19 yang meninggal dunia,” kata Yosi kepada Kalteng Pos di kantor UD Uci Tabitha, Jalan Argopuro No 24, Palangka Raya, kemarin.
Usaha pembuatan peti mati yang dikenal dengan sebutan Tabitha ini merupakan salah satu usaha dagang yang secara khusus melayani jasa pembuatan peti dan perlengkapan pemakaman bagi warga yang meninggal dunia. Menurut Yosi, selama pendemi, terutama beberapa minggu terakhir ini, pihaknya disibukkan dengan pembuatan peti mati untuk pasien Covid-19 yang meninggal dunia.
Minimal harus membuat 15 peti mati dalam sehari. Semua peti mati itu dikerjakan para pekerja di berbagai tempat, yakni di Jalan Argopuro, work shop di Jalan Temanggung Tilung, Jalan Beliang, dan di wilayah Tangkiling.
“Di bengkel tempat saya ini sendiri, minimal harus menyelesaikan pembuatan lima peti mati dalam sehari,” kata Yosi sembari menunjuk ke arah karyawannya yang sedang menyelesaikan pembuatan peti mati.
Yosi mengatakan, bahan pembuatan peti mati pesanan dari rumah sakit diperolehnya dari bandsaw yang berada sekitar Jalan Garuda. Jenis kayu yang dipilih Yosi untuk membuat peti mati adalah kayu alau. “Ini termasuk jenis kayu yang baik dan tahan lama,” ujar pria yang akrab dipanggil Uci ini.
Ia menambahkan, pembuatan satu peti mati berukuran standar (60 cm x 2 m) biasanya membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sehingga rata-rata setiap satu pekerja menyelesaikan pembuatan tiga peti mati.
Dikatakan Yosi, saat ini ia mempekerjakan 14 orang karyawan. Terdiri atas 10 orang tukang yang membuat peti mati dan 4 orang pembantu tukang yang bertugas pada bagian finishing (penyelesaian akhir) .
“Kebanyakan bagian finishing diselesaikan di sini,” kata Yosi lagi.
Yosi menuturkan, ia membuka usaha ini sekitar 2010 lalu. Dengan modal yang kecil, pria lulusan sarjana elektro Universitas 17 Agustus Surabaya ini berani memulai usaha jasa pembuatan peti mati.
“Tidak ada pengalaman membuat peti mati, hanya karena sering melihat dan modal berani saja,” kata bapak dari tiga orang anak ini.
Berkat ketekunan dan kesabaran, usahanya yang dijalankannya pelan-pelan berkembang hingga seperti sekarang ini. Dikatakan Yosi bahwa saat ini pihaknya menyediakan layanan jasa pengantaran peti mati untuk semua lapisan masyarakat dari berbagai agama, khususnya di wilayah Kota Palangka Raya. Juga melayani pembuatan peti mati untuk warga yang meninggal dunia di berbagai rumah sakit yang ada di kota ini.
Selain melayani pembuatan peti mati, UD Tabitha juga menyediakan jasa pengantaran jenazah ke tempat pemakaman. “Kami sering dihubungi pihak rumah sakit dari RS Doris, RS Bhayangkara, dan Siloam Hospital,” bebernya.
Yosi menjelaskan, harga jual satu peti mati berkisar Rp2-5 juta, tergantung jenis kayu yang digunakan untuk pembuatan peti mati.
Pembuatan peti mati bagi warga meninggal dunia normal (bukan karena terpapar Covid-19) biasanya menggunakan kayu jenis benuas yang harganya cukup mahal. “Ini kayu yang kuat dan bagus, memang berat saat mengangkatnya,” kata Yosi sembari tersenyum.
Dia menyebut, berat peti mati berbahan kayu benuas bisa mencapai 150 kg. Ia menambahkan, sebelum pendemi terjadi, pihaknya selalu menyiapkan 150 peti mati untuk stok jangka panjang dan disimpan di gudang.
Yosi menjelaskan, stok itu sengaja disiapkan untuk digunakan sewaktu-waktu di saat darurat seperti peristiwa kecelakaan atau bencana alam yang merenggut banyak korban jiwa.
“Itu memang ready stoknya, disiapkan kalau tiba-tiba ada bencana seperti ada pesawat jatuh atau kejadian bencana alam,” terangnya.
Namun sejak pandemi melanda Kota Cantik, banyak permintaan dari rumah sakit untuk menyiapkan peti mati bagi pasien Covid-19 yang meninggal dunia. Dengan melonjaknya korban Covid-19, stok peti mati di gudang sempat ditingkatkan menjadi 200 peti.
“Tapi jumlah peti mati sekarang sudah berkurang, yang ada cuman 15 peti,” ungkapnya.
Yosi mengaku banyak orang yang mengira bahwa selama pandemi ini usaha pembuatan peti mati yang dikelolanya memperoleh untung besar karena kebanjiran pesanan. Secara tegas ia membantah.
Sebab, karena menipisnya stok peti mati yang disiapkan untuk jenazah pasien Covid-19 di gudangnya, akhirnya menggunakan peti mati yang semestinya bukan digunakan untuk jenazah pasien Covid-19 yang harganya jauh lebih mahal. Hal itu dilakukannya karena rasa kemanusiaan.
“Kami siapkan peti mati yang dari kayu benuas, tidak apa-apa, yang penting jenazah itu cepat dikuburkan,” katanya sambil menambahkan bahwa harga peti mati dari kayu benuas tersebut dijualnya dengan harga peti mati biasa untuk jenazah pasien Covid-19. Bahkan sering Yosi tidak meminta bayaran apabila pasien meninggal dunia ini berasal dari keluarga kurang mampu.
Ditambahkannya, stok 80 peti mati berbahan kayu benuas yang ada di gudang, saat ini tersisa 15 saja. Meskipun demikian, Yosi mengaku ikhlas, karena ia percaya itu merupakan salah satu cara yang bisa dilakukannya dalam membantu sesama di masa pandemi ini.
Di akhir wawancara, Yosi mengutarakan harapannya agar pandemi segera berakhir. “Capek juga mas, tiap hari kami harus kerja menyiapkan peti dengan dikejar-kejar waktu seperti ini,” pungkasnya. (sja/ce/ala)