Site icon KaltengPos

Bikin Tantangan 30 Hari Tak Belanja Sayur untuk Makan Siang

BERKEBUN: Educational Program and Children Learning Manager Kebun Kumara, Sarah Adipayanti saat menanam di Kebun Kumara,Tangerang Selatan. FOTO: MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

Kebun Kumara berdiri dari keresahan terhadap masyarakat urban yang katanya terdidik, tapi malah tidak tahu cara merawat alam.

M. HILMI SETIAWAN, Jakarta

PADA akar, batang, dan daun pohon-pohon itu mereka memuliakan keberagaman. Sebab, keberagaman itu menguatkan.

”Misalnya, ada tanaman kacang-kacangan yang berfungsi mengikat nitrogen, tapi ada juga tanaman yang berfungsi mengalihkan serangga,” kata Sarah Adipayanti, Educational Program and Children Learning Manager Kebun Kumara kepada Jawa Pos (Grup Kalteng Pos).

Itu cuma salah satu nilai yang dipetik dari kebun yang berada di tepian Situ Gintung, Tangerang Selatan. Ratusan meter persegi lahan dengan berbagai jenis tanaman itu juga menjadi medium untuk belajar tentang pemenuhan kebutuhan. Juga tentang bagaimana berbagi ilmu kepada yang membutuhkan.   

Adalah Soraya Cassandra, Dhira Narayana, Alia Ramadhani, dan Rendria Arsyan yang mendirikan Kebun Kumara pada 2016. Mereka masih satu keluarga. Dhira dan Soraya suami istri, Alia adik Soraya, dan Rendria suami Alia.

Mereka sebelumnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Namun kemudian dipersatukan keresahan terhadap masyarakat urban yang katanya terdidik, tapi malah tidak tahu cara merawat alam. ”Selama ini kita katanya cinta sama alam, melakukan traveling, tetapi belum ada timbal balik merawat alam,” kata Ara.

Mereka lantas belajar ke Permakultur Yogyakarta. Di antaranya, tentang merawat alam dengan lebih berkelanjutan dan holistik.

Sekembali dari Yogyakarta, mereka mulai bergerak. Beberapa kegiatan awal-awal mereka adalah merawat alam, menanam aneka jenis tanaman, hingga membuat kebun kompos.

Setahun setelah berdiri, Kebun Kumara mulai membuka sejumlah kegiatan workshop. Salah satu ilmu yang didapat di permakultur yang kemudian mereka praktikkan adalah membagi area tanam menjadi beberapa zona.

Setiap zona memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang untuk pembibitan, pembuatan kompos, hutan pangan, dan tanaman lain yang perlu diperhatikan secara intensif. ”Zona 1 biasanya untuk tanaman yang sering dikunjungi dan perawatan intensif,” ujarnya.

Saat ini, kata Soraya atau yang akrab disapa Sandra, ada 14 orang yang bekerja di Kebun Kumara. ”Mereka bekerja lima hari dalam sepekan,” ucapnya.

Mereka saat ini menggunakan dua lokasi lahan.  Pertama, learning farm atau kebun belajar seluas 100 meter persegi. Lahan itu menyatu dengan kantor Kebun Kumara.

Lahan lain adalah Kumara Urban Forest seluas 300 meter persegi. Di lokasi tersebut ada tanaman pangan seperti pisang. Juga tanaman sayuran seperti kelor, timun, dan terong.

”Tanaman yang sekarang kami tanam seperti katuk, bayam brasil, rosemary, oregano, mint, serai, rosela, dan aneka jenis rimpang-rimpangan,” kata Ara.

Hampir semua tanaman di Kebun Kumara bisa dikonsumsi. Setiap pagi mereka sering panen sayuran untuk diolah menjadi santapan makan siang. Beberapa tanaman yang sering dipetik saban hari adalah kenikir, cabai, katuk, dan sejenisnya.

”Untuk lauk, kami tetap beli. Kami belum 100 persen mandiri pangan,” tuturnya.

Beberapa hari lalu Kebun Kumara membuat tantangan 30 hari tak belanja sayur untuk memenuhi kebutuhan makan siang. Secara berkala, tantangan tersebut ditayangkan di YouTube channel mereka.

”Ini juga bagian dari berbagi ilmu dan semangat kepada semua orang untuk memenuhi kebutuhan dari menanam sendiri, setidaknya untuk sayur,” kata Sandra.

Kebun Kumara adalah jujukan warga Jakarta dan sekitarnya yang ingin belajar serta merasakan eksperimen berkebun. Mereka umumnya antusias ketika diajak membuat pupuk kompos ramai-ramai. Anak-anak sekolah juga kerap berkunjung di awal-awal berdiri dahulu. ”Mereka senang sekali bisa melihat cacing dan bikin kompos sendiri,” kata Ara.

Saat ini Kebun Kumara memiliki sejumlah fokus kegiatan yang digarap. Kegiatan edukasi antara lain membuat kompos, konten digital, dan kebun pangan. Selain itu, mereka membuka jasa konsultasi, desain konstruksi, sampai perawatan kebun pangan.

Sebelum pandemi Covid-19, banyak sekolah atau kompleks perumahan yang meminta mereka membuatkan kebun pangan. ”Sekolah ingin memberikan pengalaman langsung kepada anak didiknya bagaimana merawat tanaman pangan. Sedangkan untuk perumahan, biasanya karena ingin merasakan sensasi panen dari lingkungan sendiri,” ujar Ara.

Dia mengatakan, faktor krusial yang harus diperhatikan dalam membuat kebun pangan adalah pemenuhan kebutuhan tanaman itu sendiri. Mereka butuh air, matahari, dan tanah untuk bisa tumbuh.

Jika tiga unsur itu tidak diperhatikan, tanaman tidak bisa tumbuh atau bahkan mati. ”Bagi yang baru mulai, kadang mereka lupa observasi kebutuhan tanaman. Terlalu fokus sama merawat tanaman, tapi lupa merawat tanahnya,” jelasnya. (*/c19/ttg//jpg/ce/ala)

Exit mobile version