Site icon KaltengPos

Kisah Petugas di Balik Pemulasaraan dan Pemakaman Jenazah Pasein Covid-19

GARDA TERDEPAN: Tim pemulasaraan jenazah dan pemakaman pasien Covid-19 saat berada di Ruang Kamboja RSDS Palangka Raya. FOTO: DENAR/KALTENG POS

Beberapa waktu terakhir, angka kematian pasien Covid-19 di Kalteng cukup tinggi. Semua sedang berjuang melawan dan menangani pandemi. Berikut sepenggal kisah para petugas pemulasaraan dan pemakaman jenazah Covid-19.

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

SIANG itu, Jumat (16/7) sekitar pukul 11.00 WIB, penulis memacu kendaraan dari arah Bundaran Besar Palangka Raya. Sampai di rambu lalu lintas pertigaan Jalan Antang, penulis tak sempat berhenti meski saat itu lampu merah menyala.

Bunyi sirene ambulans terus berbunyi, memberi isyarat agar pengendara lain segera menepi. Ambulans bertuliskan RSUD dr Doris Sylvanus (RSDS) Palangka Raya menyalip semua kendaraan di depannya. Di balik kemudi terlihat sang sopir mengenakan alat pelindung diri (APD) dan hazmat putih, ditemani petugas lainnya.

Beberapa detik berselang, terdengar sirene ambulans yang datang dari arah berlawanan menuju kota. Suara sirene yang selama ini dianggap hal biasa, kini terdengar mengerikan.

Betapa banyaknya pasien masuk dan jenazah keluar dari rumah sakit (RS) akibat Covid-19. Hari itu (Jumat, red) menunjukkan angka tertinggi pasien meninggal akibat Covid-19 di Kalteng dengan total 16 orang. Kota Palangka Raya menempati posisi tertinggi, yakni lima orang meninggal dalam sehari.

Hari itu, penulis baru saja dari Ruang Kamboja RSDS. Rumah kedua para petugas pemulasaraan dan pemakaman jenazah Covid-19. Dan, ambulans yang menyalip tadi, ditumpangi petugas yang mengantarkan jenazah pasien yang meninggal karena Covid-19 menuju peristirahatan terakhir di tempat pemakaman umum (TPU) Jalan Tjilik Riwut Km 12 Palangka Raya.

“Mereka tadi berangkat memakamkan jenazah Covid-19, baru sampai, istirahat sebentar saja, lalu memakamkan lagi jenazah,” kata Kepala Instalasi Forensik Rumah Sakit Umum dr Doris Sylvanus (RSDS) Palangka Raya dr Ricka Brillianty Zaluchu saat diwawancarai di ruang kamboja, Jumat (16/7).

Perempuan yang sering disapa dr Ricka itu mengisahkan aktivitasnya bersama tim pemulasaraan dan pemakaman di ruang kamboja yang menangani kurang lebih 300 jenazah pasien yang meninggal akibat Covid-19. Ada sebelas orang petugas pemulasaraan dan delapan petugas pemakaman.

“Dulu tim pemulasaraan itu hanya ada enam saja hingga penanganan jenazah Covid-19 berada di angka 200-an, beberapa waktu terakhir ini ada tambahan lima orang sehingga total sebelas orang,” katanya kepada Kalteng Pos.

Tidak ada pelatihan khusus untuk pemulasaraan jenazah Covid-19. Hanya mengikuti standar operasional prosedur (SOP) dan teknis dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Awal-awal penanganan jenazah Covid-19, ia bersama tim memerlukan waktu satu hingga satu jam setengah untuk proses pemulasaraan satu jenazah pasien Covid-19.

“Karena dulu kami masih bingung, tapi saat ini kami bisa disebut terampil dalam pemulasaraan jenazah Covid-19, sehingga satu jenazah hanya perlu waktu paling lama 45 menit saja,” tuturnya.

Penanganan awal, apabila jenazah berasal dari salah satu ruangan isolasi, maka terlebih dahulu diminta surat persetujuan dari pihak keluarga untuk pemulasaraan dan pemakaman jenazah pasien Covid-19 sesuai dengan SOP yang berlaku. Namun jika jenazah bukan dari salah satu ruang isolasi di RS, maka harus terlebih dahulu meminta izin kepada pihak keluarga untuk dilakukan pemeriksaan terhadap jenazah, memastikan terpapar Covid-19 atau tidak.

“Untuk jenazah yang datang dari luar, dilakukan pemeriksaan di dalam ambulans, kalau negatif akan kami bantu pemulasaraan dan pemakaman untuk pasien non-Covid-19, sebaliknya kalau positif maka dilakukan penanganan sesuai SOP,” ucapnya.

Setelah mendapat surat persetujuan, tim akan melakukan persiapan selama dua hingga tiga jam. Selanjutnya jenazah masuk ruang pemulasaraan yang ditangani oleh petugas lima hingga enam orang.

“Saya selalu ikut dalam pemulasaraan jenazah, dalam satu tim itu ada lima hingga enam orang, waktunya paling lama 45 menit, tergantung besar kecilnya jenazah,” ujar dia.

Dokter Ricka menjelaskan, penanganan pertama terhadap jenazah yakni menutupi tubuh jenazah dengan dua kain mori atau kain kafan. Kemudian dibungkus dua lembar plastik berukuran enam meter, satu sisi plastik tidak boleh terpotong di bagian kepala.

“Selanjutnya dibungkus lagi dengan plastik ukuran tiga meter sebagai plastik ketiga, menggunakan plastik yang tebal dan lentur, selanjutnya dieratkan dan dipasang lakban pada beberap titik, seperti kepala, dekap tangan, perut, paha dan kaki, setiap tahapan kami semprotkan disinfektan,”

Ia menyebut, jenazah pasien Covid-19 tidak dimandikan dengan air. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), boleh dilakukan tayamum di wajah dan lengan menggunakan debu-debu di sekitar ruangan. Selanjutnya jenazah dimasukkan ke dalam peti kayu.

“Tebal kayu peti minimal 1 cm, harus rapat dan kering, dan di dalamnya dilapisi alumunium foil tebal. Sebelum jenazah dimasukkan, terlebih dahulu dilapisi plastik, kemudian disemprot disinfektan dan ditutup, setelah itu disemprot lagi dengan disinfektan di seluruh sisi,” sebut dia.

Selanjutnya jenazah di bawa ke luar ruangan untuk didoakan. Kemudian dimasukkan ke ambulans untuk dibawa menuju lokasi penguburan. Apabila ada keluarga yang menginginkan jenazah dikuburkan di daerah asal seperti di kampung halaman, maka terlebih dahulu harus menyerahkan surat persetujuan dari kepala desa atau lurah yang membolehkan jenazah tersebut dikuburkan di kampung halamannya.

“Jenazah ini boleh dibawa dalam perjalanan dengan jangka waktu tidak lebih dari 24 jam, karena meskipun sudah dilapisi plastik, dikhawatirkan terjadi kebocoran selama perjalanan,” sebutnya.

Seharusnya jenazah pasien Covid-19 dimakamkan di tempat ia meninggal. Satu atau dua tahun kemudian boleh dilakukan penggalian kubur untuk memindahkan jenazah ke kampung halaman. Dokter Ricka menyebut, selama menangani jenazah pasien Covid-19, ada beberapa kendala yang dihadapi.

Ada keluarga yang menolak dilakukan pemeriksaan kepada jenazah yang datang dengan kondisi sudah meninggal dunia. Ada pula keluarga yang menolak pemulasaraan dan pemakaman jenazah meski terkonfirmasi positif Covid-19.

“Padahal kami harus melindungi diri kami dan seluruh masyarakat, jika ada penolakan, maka sesuai SOP kami tidak akan melakukan pelayanan apapun, mereka hanya lewat saja di kamboja dan pulang, konsekuensi ditanggung masing-masing,” ucap dr Ricka.

Pihaknya menyarankan kepada masyarakat untuk mengizinkan petugas melakukan pekerjaan dan memberikan pelayanan. Apabila jenazah terkonfirmasi positif Covid-9, maka pihak keluarga seharusnya berbesar hati dan memercayakan petugas melakukan penanganan sesuai SOP.

“Kami harap masyarakat jangan tutup mata atau tutup hati, Covid-19 ini belum berakhir, kami berharap pemerintah lebih perhatian kepada petugas, kami kelelahan dan memerlukan amunisi,” ujarnya.

Tak hanya kelelahan, petugas juga mengalami kekurangan waktu istirahat, bahkan sampai lupa makan. Apalagi beberapa waktu terakhir ini kasus kematian di Kota Palangka Raya sangat tinggi. Dalam sehari bisa sepuluh jenazah pasien Covid-19 yang ditangani.

“Di sisi lain kami juga punya tanggung jawab kepada keluarga dan anak-anak kami di rumah, saya pribadi berterima kasih kepada pihak sekolah yang memberikan kelonggaran kepada saya yang sering telat mengumpulkan tugas anak-anak karena kelelahan kerja di ruang jenazah ini,” kisahnya.

“Bahkan pernah saya bersama tim tiga hari tiga malam tidak pulang rumah. Tergeletak di beberapa sudut ruangan akibat kelelahan,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Unit Ambulans RSDS Palangka Raya Suryanto mengatakan, saat ini pihaknya memiliki delapan orang sopir yang juga bertugas memakamkan jenazah pasien Covid-19. Petugas pemakaman terdiri dari satu sopir dan tiga orang pengangkat peti.

“Sebenarnya semua mereka itu sopir, tapi sekarang juga bertugas memakamkan jenazah Covid-19,” ujar Suryanto.

Kedelapan sopir ini sudah pernah terpapar Covid-19. Saat ini satu orang masih dalam perawatan karena terkonfirmasi positif Covid-19. “Sudah menjadi tugas mereka, jadi selepas sembuh dari terpapar Covid-19, mereka bekerja kembali seperti biasa,” katanya.

Delapan orang ini dibagi dalam dua tim. Satu tim beranggotakan empat orang. Sistem kerja bergantian. Namun karena saat ini angka kematian pasien tinggi, kedua tim diturunkan bersamaan.

“Terlebih saat harus memakamkan jenazah di tengah terik matahari sembari mengenakan APD lengkap, panasnya luar biasa, mereka sangat kelelahan,” pungkasnya. (abw/ce/ala)

Exit mobile version