PALANGKA RAYA-Menghadapi pemilihan umum serentak 2024, diperlukan persiapan yang matang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara. Ada puluhan provinsi dan ratusan kabupaten/kota yang masa tugas komisioner KPU-nya berakhir ketika berjalannya tahapan pesta demokrasi. Muncul usulan agar masa jabatan komisioner KPU di berbagai tingkatan diperpanjang, termasuk di Kalteng.
Ketua KPU Kalteng Harmain Ibrohim mengatakan, ia bersama komisioner KPU Kalteng yang lain akan mengakhiri masa tugas pada 2023 mendatang. “Betul, kami (Komisioner KPU Kalteng, red) berakhir pada Mei 2023,” Kata Ketua Komisioner KPU Kalteng Harmain Ibrohim saat dikonformasi melalui pesan WhatsApp, Sabtu (19/6).
Harmain menyebut, berkenaan hal ini KPU RI sudah mengajukan perpanjangan masa jabatan bagi komisioner KPU provinsi dan kabupaten/kota yang berakhir sebelum pilkada serentak 2024. Berdasarkan data yang disampaikan ke Kalteng Pos, mengutip dari data pusat tercatat bahwa ada 24 KPU provinsi dan 317 KPU kabupaten/kota yang akhir masa jabatan (AMJ) pada 2023 mendatang. (lihat grafis)
“Masih diajukan oleh KPU RI, kemarin sudah disampaikan ke DPR terkait wacana perpanjangan sampai 2025 atau setelah selesainya tahapan pilkada serentak 2024, tapi sekali lagi ini masih pengajuan ya,” katanya kepada Kalteng Pos.
Selain KPU Kalteng, Harmain juga menyebut ada beberapa KPU kabupaten/kota di Kalteng yang masa tugas komisionernya berakhir pada 2023 mendatang. “Iya, masa tugas komisioner KPU kabupaten/kota se-Kalteng rata-rata berakhir pada 2023,” tambahnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Kalteng Nuryakin saat dikonfirmasi terkait hal ini menyebut bahwa pada dasarnya KPU merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemrov Kalteng pada prinsipnya menunggu petunjuk dari Mendagri berdasarkan hasil koordinasi dengan KPU pusat.
“Hal ini tidak saja terjadi di Provinsi Kalteng, tapi juga beberapa provinsi lainnya di Indonesia. Sementara pilkada serentak juga merupakan amanat dari undang-undang, sehingga wajib kita laksanakan dan sukseskan,” jawabnya.
Terpisah, pengamat politik Jhon Retei Alfri Sandi mengatakan, kelembagaan KPU itu sudah cukup permanen. Sirkulasi pergantian komisioner dan siklus pilkada sebenarnya tidak memengaruhi kinerja KPU.
Ia menyebut bahwa pergantian komisoner KPU saat berjalannya tahapan pilkada bukanlah sebuah persoalan. Komisoner yang baru dengan kapasitas dan kapabilitas yang tidak diragukan, diyakini bisa menyesuaikan dinamika organisasi dalam tubuh KPU.
“KPU dan Bawaslu memiliki sekjen tersendiri di pusat dan melakukan komunikasi. Semestinya pergantian KPU tidak tertunda, karena perguliran pilkada dan pilpres juga dinamis, memang ada kecenderungan dilakukan persiapan sebelum 2024,” katanya saat dibincangi Kalteng Pos.
Lebih lanjut dikatakannya, yang menjadi catatan penting adalah kualitas komisioner hasil rekrutmen.
“Proses rekrutmen itu yang mungkin masih harus banyak dikoreksi. Kita berharap bahwa dalam rekrutmen itu, yang direkrut adalah orang-orang yang memang memiliki pengalaman dan berkemampuan,” ucapnya.
Menurut Jhon, komisioner yang direkrut tak harus berpengalaman di KPU. Bisa saja mantan komisioner bawaslu atau komisoner KPU kabupaten/kota atau akademisi yang memang membidangi tugas-tugas KPU. Dengan demikian komisioner terpilih bisa mudah beradaptasi dengan tugas dan tanggung jawab yang diemban.
“Sehingga tidak mengganggu proses pemilihan itu sendiri, saya kira tidak masalah, dan dalam banyak kasus KPU jarang memperpanjang,” ujarnya.
Untuk proses perekrutan, pola rekrutmen itu sesuai yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bisa juga mereka (KPU Pusat, red) langsung mengambil dari perwakilan kampus (akademi) dan dipadukan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain.
“Kemudian KPU menetapkan tim seleksinya yang prosesnya itu saya lihat menjadi persoalan, saya sering kritik terkait proses penetapan tim seleksi untuk KPU dan Bawaslu,” ucapnya.
Jhon juga memberi catatan terkait proses penetapan tim seleksi yang seringkali dinilai bermasalah. Semestinya rekrutmen tim seleksi dilakukan secara terbuka, bukan hanya komisionernya. Harus ada ruang yang diberikan kepada publik untuk mendaftar menjadi tim seleksi. Namun, yang terjadi selama ini adalah mekanisme otoritatif. Ada kecenderungan tindakan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh KPU pusat dengan meminta sejumlah nama dari daerah untuk menjadi tim seleksi.
“Saya kira sistem rekrutmen seperti ini semestinya sudah tidak lagi dilakukan oleh KPU, kita harus banyak belajar, jika prosesnya tidak transparan, maka hasilnya pun tidak akan baik,” ujarnya.
Ditegaskan Jhon, pilkada dilaksanakan dengan jurdil dan transparan. Dengan demikian, semestinya rekrutmen komisoner juga dilakukan secara transparan, bukan didasarkan kepentingan pihak tertentu.
“Menurut saya, kalau proses itu dilaksanakan secara terbuka, maka melalui tim seleksi ini akan didapatkan komisoner-komisioner yang andal. Saya pikir hal-hal seperti ini perlu disuarakan, sehingga nanti kita punya komisioner yang siap bekerja,” tegas pria yang menjabat Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP Universitas Palangka Raya ini. (abw/ce/ala)