Site icon KaltengPos

Mayoritas Publik Tolak Ide Tiga Periode

ILUSTRASI: Pertemuan Presiden Jokowi dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. (Raka Denny/Jawa Pos)

WACANA menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode tidak sejalan dengan kehendak masyarakat. Berdasar survei nasional yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), mayoritas warga menganggap aturan presiden hanya bisa menjabat dua periode harus dipertahankan.

Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando menyatakan, jumlah warga yang menghendaki tetap dua periode sangat dominan, yakni mencapai 74 persen suara. Sementara yang ingin masa jabatan presiden diubah hanya 13 persen. Sisanya tidak punya sikap. ”Mayoritas mutlak masyarakat Indonesia mengatakan (penambahan masa jabatan, Red) jangan diubah,” ujarnya dalam rilis survei secara virtual kemarin (20/6).

Bahkan, saat ditanya apakah menghendaki Presiden Jokowi kembali maju, mayoritas juga menyatakan tidak. SMRC mencatat, 52,9 persen menyatakan tidak setuju Jokowi maju, sedangkan yang setuju 40,2 persen.

Meski dukungan terhadap gagasan untuk mencalonkan Jokowi maju relatif cukup tinggi, secara persentase masih kalah. Hasil itu, lanjut Ade, mematahkan narasi yang diusung sebagian kelompok tertentu yang mendorong Presiden Jokowi bisa kembali maju dalam Pilpres 2024. ”Ini menunjukkan adanya komitmen yang tinggi dari rakyat Indonesia mengenai perlunya pembatasan kekuasaan bagi presiden,” imbuhnya.

Kalaupun ada amandemen UUD 1945, publik justru menghendaki perubahan pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Khususnya dalam hal fungsi pengawasan. SMRC mencatat, hanya 37 persen yang setuju DPD tidak punya kewenangan mengawasi pemerintah. Sementara yang tidak setuju 41,1 persen. ”Bahasa sederhananya, publik mengatakan, seharusnya DPD ikut mengawasi pemerintah,” tuturnya.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti meminta elite di Senayan menahan diri untuk melakukan amandemen. Dalam beberapa isu yang muncul, masyarakat cenderung menolak. Seperti dalam hal pembentukan GBHN hingga isu jabatan presiden tiga periode. ”Ada atau tidaknya GBHN tidak memengaruhi jalannya pemerintahan secara signifikan,” tegasnya.

Bivitri menyarankan agar MPR fokus pada kerja-kerja kenegaraan, baik sebagai anggota DPR maupun DPD. Dia menilai ada banyak hal yang bisa diselesaikan dalam konteks kepemimpinan dan kebijakan dibanding mengubah dasar negara. (far/c9/bay/jpg)

Exit mobile version