PALANGKA RAYA-Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Covid-19. Dalam SE tersebut, ada kelonggaran untuk pelaku perjalanan udara datang atau dari wilayah PPKM level 2 dan level 1 di luar Pulau Jawa dan Bali.
Dalam SE itu disebutkan bahwa untuk penerbangan dari dan ke bandar udara di luar wilayah Pulau Jawa dan Pulau Bali yang ditetapkan melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri sebagai daerah dengan kategori PPKM level 1 dan PPKM level 2, wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2×24 jam sebelum keberangkatan atau hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 1×24 jam sebelum keberangkatan. Artinya, untuk bisa masuk ke daerah berstatus PPKM level 1 dan 2, cukup mengantongi dokumen hasil pemeriksaan antigen.
Berdasarkan instruksi terbaru yang dikeluarkan Mendagri yakni Inmendagri Nomor 54 Tahun 2021 tentang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), enam kabupaten/kota di Kalteng ditetapkan melaksanakan PPKM level 2, sedangkan delapan daerah ditetapkkan melaksanakan PPKM level 3. Tiga kabupaten/kota yang menjadi pintu masuk jalur udara sudah berstatus PPKM level 2. Mencakup Palangka Raya, Kotawaringin Barat, dan Kotawaringin Timur. Berdasarkan Inmendagri itu, kabupaten/kota yang ditetapkan melaksanakan PPKM level 2 yakni Kabupaten Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Sukamara, Lamandau, Pulang Pisau, dan Kota Palangka Raya. Sedangkan kabupaten yang melaksanakan PPKM level 3 yakni Kabupaten Kapuas, Barito Selatan, Barito Utara, Katingan, Seruyan, Gunung Mas, Murung Raya, dan Barito Timur.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kalteng Yulindra Dedy mengatakan, Kalteng mengikuti aturan yang telah dikeluarkan oleh Kemenhub tersebut.“Acuannya SE itu, tidak ada aturan lain, jadi syarat perjalanan orang masuk ke Kalteng mengikuti SE itu,” ucapnya saat dikonfirmasi, Minggu siang (24/10).
Lebih lanjut dikatakannya, meski sudah ada SE Menhub ini, tapi mengenai penerapannya dikembalikan ke masing-masing pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota yang memiliki bandar udara, karena pemerintah kabupaten/kota lebih mengetahui kondisi daerah masing-masing.“Setelah adanya SE ini, ya kembali ke masing-masing kabupaten/kota, karena mereka lebih tahu wilayahnya dan kondisi daerah masing-masing, sedangkan untuk surat dari gubernur, hingga saat ini belum ada,” pungkasnya.
Diskriminatif, PCR untuk Penerbangan Dinilai Beratkan Masyarakat
Sementara itu, keputusan pemerintah mewajibkan calon penumpang pesawat dari dan ke Jawa-Bali melakukan tes PCR, mulai memicu polemik. Banyak pihak yang keberatan dengan aturan tersebut karena alasan biaya. Namun, tidak sedikit yang mendukung kebijakan itu dengan alasan kesehatan dan keselamatan.
Seperti diketahui, tarif tes antigen untuk Jawa-Bali ditetapkan maksimal Rp99 ribu. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa-Bali, tarif maksimal sebesar Rp109 ribu. Untuk tes PCR, tarif maksimal ditetapkan Rp495 ribu untuk area Jawa-Bali. Sedangkan area di luar Jawa-Bali ditetapkan tarif maksimal Rp525 ribu.
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, kewajiban tes PCR akan berimbas pada tambahan biaya konsumen. Pasti akan memberatkan. Hal ini bisa memunculkan kembali keengganan konsumen menggunakan jasa transportasi udara. ”Dampaknya juga akan dirasakan dunia usaha penerbangan. Nasib maskapai dan airport akan makin terpuruk,” ujarnya, Sabtu (23/10).Di sisi lain, kata dia, kebijakan itu kental unsur diskriminatif. Sebab, hanya calon pengguna moda transportasi udara yang diwajibkan tes PCR. Sedangkan moda transportasi lain, masih diperkenankan menggunakan tes rapid antigen. Bahkan ada juga yang hanya perlu menunjukan bukti telah vaksin. Selain itu, menurutnya perubahan level PPKM menjadi level 2 bahkan 1, harusnya dapat memberikan kelonggaran dalam dunia usaha.
Ditambah dengan cakupan vaksinasi yang mulai meluas, maka syarat penerbangan seharusnya cukup dengan tes antigen yang harganya lebih terjangkau. Karena itu, ia mendesak agar kebijakan itu dibatalkan. Kemudian, tes PCR dikembalikan pada porsinya, yaitu menjadi ranah medis untuk menegakkan diagnosis. Bukan sebagai alat screening perjalanan. ”Minimal ditinjau ulang dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Sebab, tidak semua daerah memiliki banyak laboratorium PCR yang dapat mengeluarkan hasil dengan cepat,” tuturnya.
Namun, bila pemerintah masih bersikukuh menjadikan tes PCR sebagai kewajiban penumpang pesawat, maka pemerintah perlu menekan seminimal mungkin biaya tes. Dengan demikian, konsumen bisa menjalani tes PCR dengan harga terjangkau. ”Jangan sampai menimbulkan praduga di masyarakat bahwa kebijakan ini kental aura bisnisnya,” sambungnya.
Kesulitan mendapat tes PCR ini diamini oleh Toyibi, 27. Dia sempat frustasi lantaran tak bisa menemukan lokasi layanan PCR di Tarakan, Kalimantan Utara. Padahal, tiket pulang ke Jakarta sudah di tangan. Dia telah menghubungi sejumlah rumah sakit penyedia layanan PCR di sana. Sayangnya, tak ada yang bisa memberi hasil PCR dengan cepat.
Bahkan, salah satu rumah sakit menyatakan harus mengirim sampel ke Jakarta terlebih dahulu, sehingga membutuhkan waktu beberapa hari hingga hasil bisa diperoleh. Itupun pengambilan sampel tidak bisa dilakukan pada Sabtu dan Minggu. Hanya pada hari kerja dan jam tertentu. ”Ini sih bisa pergi, gak bisa pulang,” keluhnya.
Hingga akhirnya, dia mendapat rekomendasi untuk PCR di salah satu klinik dari kenalannya. Menariknya lagi, ada tiga paket yang ditawarkan untuk PCR di sana. Paket pertama seharga Rp600 ribu dengan catatan, hasil tak bisa digunakan untuk syarat perjalanan. Kepastian kapan hasil keluar pun tak bisa diberikan. Begitu pula dengan paket kedua yang dibanderol Rp750 ribu.
”Yang ini bisa dipakai untuk terbang, tapi gak tau kapan keluarnya (hasilnya, red),” katanya. Akhirnya dia memutuskan mengambil paket ketiga seharga Rp900 ribu, dengan kepastian hasil keluar dalam dua hari. Dan tentunya, bisa digunakan untuk syarat perjalanan dengan moda pesawat terbang. ”Nggak kebayang di daerah yang lebih terpencil, PCR-nya itu gimana. Kayak di Sebatik itu yang gak ada,” ungkapnya.
Sebetulnya, kata dia, aturan wajib PCR ini tak jadi soal. Bahkan, bisa meningkatkan keamanan saat perjalanan. Namun, harus dibarengi dengan ketersediaan laboratorium yang mendukung tes PCR dengan hasil cepat. Sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk memenuhi persyaratan penerbangan tersebut.
Berbeda dengan YLKI, Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena justru mendukung penuh langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, syarat tersebut diterapkan sebagai langkah untuk mencegah penularan Covid-19. ”Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik mencegah ada potensi munculnya klaster daripada baru diobati,” ujar politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu.
Diakuinya, kondisi Covid-19 di Indonesia mulai melandai. Meski begitu, potensi penularan Covid-19 di ruang publik masih ada. Belum lagi, risiko munculnya penularan gelombang ketiga yang kini banyak meluluhlantakkan sejumlah negara. (abw/jpg/ce/ala)