PALANGKA RAYA-Pernyataan viral Edy Mulyadi yang secara tendensius melecehkan Kalimantan, membuat masyarakat Kalimantan dari berbagai organisasi turun ke jalan. Aksi menuntut agar Edy Mulyadi segera diproses secara hukum positif maupun sanksi adat menyeruak dari seluruh penjuru Borneo. Para tokoh maupun berbagai organisasi masyarakat (ormas) dari Kalteng, Kalsel, Kaltim, Kalbar, dan Kaltara mendesak agar pelaku yang telah menyakiti perasaan masyarakat Tanah Borneo, dihukum seberat-beratnya. Tidak cukup hanya dengan permohonan maaf.
Menyikapi permasalahan ini, praktisi hukum Kalteng Rudianty Tobing ikut angkat bicara. Ia menyebut bahwa orang yang mengeluatkan kata-kata seakan menghina dan mangandung unsur SARA, bisa dikenakan pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Karena Edy Mulyadi menyampaikan melalui jaringan telekomunikasi, maka bisa juga dikenakan Undang-Undang ITE sepanjang terpenuhi unsur-unsur pidana. Pihak kepolisian juga dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan lainnya berdasarkan hukum yang berlaku di negeri ini,” ucap Rudianty Tobing kepada Kalteng Pos, Selasa (25/1).
Selain dijerat dengan hukum positif, lanjutnya, juga digunakan hukum adat, karena salah satu sumber hukum di Indonesia adalah hukum adat. Hukum adat bisa berlaku sepanjang masih hidup dan diberlakukan di tengah masyarakat adat (living law).
“Yang saya tahu di Kalimantan ini masyarakat adatnya masih sangat kuat dan hukum adat masih berlaku, sehingga kasus ini bisa juga diproses melalui hukum adat,” tambahnya.
Jika yang dilakukan Edy Mulyadi dianggap telah melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik, maka bisa dijerat Pasal 310 KUHP. Unsur yang terkait antara lain dilakukan dengan sengaja, menyerang kehormatan atau nama baik, menuduh melakukan suatu perbuatan, dan menyiapkan tuduhan supaya diketahui umum.
Rudianty menambahkan, hukum adat bisa digunakan dalam kasus ini. Dalam ilmu hukum disebutkan, salah sumber hukum adalah hukum adat. Hukum ini bisa diberlakukan sepanjang masyarakat adatnya masih ada. Namun tidak semua daerah masih kuat hukum adatnya.
“Di Kalimantan (Dayak), masyarakat adat sangat kuat sekali dan masih hidup hukum adatnya, bahkan masih dijunjung tinggi hingga saat ini,” tuturnya.
Menurutnya, sisi pidana menjadi kewenangan kepolisian. Pada sisi lain, hukum adat tetap diberlakukan.
Setelah pernyataan Edy Mulyadi viral di media sosial, banyak pihak yang marah dan jengkel. Meski demikian, ia yakin bahwa orang Dayak sangat mencintai kedamaian. Perlu dikerahkan hukum adat untuk menciptakan kedamaian.
“Semua orang bisa melakukan minta maaf. Dan masyarakat Dayak adalah masyarakat yang pemaaf. Sehingga boleh melakukan minta maaf, tetapi proses hukumnya tetap berlaku. Kalau terpenuhi unsur pidananya, maka harus diproses,” tegasnya sembari menyebut, kalau semua kasus diselesaikan dengan minta maaf, maka apa artinya keberadaan hukum.
Terpisah, Damang Kepala Adat Kecamatan Pahandut Marcos Sebastian Tuwan mengatakan, penghinaan yang diutarakan Edy Mulyadi harus ditindaklanjuti sesuai aturan hokum, baik hukum positif maupun hukum adat, sehingga perbuatan serupa tidak terulang kembali.
“Hati boleh panas, tapi otak tetap dingin. Proses hukum harus tetap dikenakan kepada Edy Mulyadi cs, pilih saja hukum positif atau hukum adat. Saya memahami kemarahan itu, tapi kalau kemarahan tidak terkendali justru menimbulkan efek yang kurang baik bagi orang Dayak sendiri,” ujarnya.
Menanggapi situasi saat ini, sebagai orang Dayak ia beranggapan bahwa alangkah lebih elok memaafkan Edy Mulyadi cs. Namun hal itu bukan berarti bahwa persoalan ini selesai. Hukum tetap ditegakkan.
“Kalau menurut saya secara pribadi, tidak perlu lagi kita buang-buang energi meladeni Edy Mulyadi. Saya menekankan agar lebih baik orang Dayak disegani bukan ditakuti. Artinya disegani secara utuh bukan ditakuti karena fisik. Ini bukan berarti saya membela Edy Mulyadi dan kawan-kawannya. Prinsipnya saya mendukung agar Edy Mulyadi dihukum,” tegasnya.
”Kalau mau diproses secara hukum positif, ya hukum positif, tapi kalau mau secara hukum adat, ya pakai hukum adat. Saran saya, kalau mau dihukum secara fisik, maka gunakan hukum positif. Tapi kalau orang Dayak ini sepakat mau dihukum secara adat, maka gelarlah sidang adat,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum PW Kerukunan Bubuhan Banjar (KBB) Provinsi Kalteng Drs H Chairudin Halim menegaskan, pernyataan yang diutarakan Edy Mulyadi pada dasarnya merendahkan harkat dan martabat masyarakat Kalimantan, termasuk Kalteng.
“Kami merasa tersinggung dan menolak pernyataan tersebut. Karena kami di Kalimantan ini sudah berpendidikan. Apa yang diasumsikannya itu tidak benar. Sudah banyak orang Kalimantan yang berpendidikan tinggi,” tegasnya.
Menurutnya, istilah yang digunakan Edy Mulyadi sangat merendahkan harga diri masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Pihaknya menyayangkan itu dan menyerahkan kasus ini kepada aparat penegak hukum serta lembaga adat.
“Kami berharap pernyataan serupa tidak ada lagi ke depan yang merendahkan bahkan menyakiti perasaan suku tertentu. Ingat ya, Kalimatan adalah bagian dari NKRI,” tambahnya.
Pihaknya juga menyambut baik adanya Undang-Undang IKN yang telah disepakati, sehingga diharapkan program pemerintah pusat bisa sukses terlaksana ke depannya.
“Masyarakat jangan mudah terpancing dan terprovokasi untuk bertindak main hakim sendiri. Serahkan saja kepada penegak hukum untuk proses hukum positif dan kepada para pemangku hukum adat di Kalimantan untuk proses hukum adatnya,” tutupnya. (nue/ce/ala)