TATA cara kehidupan orang Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng) zaman dahulu terlukis di Museum Balanga. Bangunan yang terletak di Jalan Tjilik Riwut Km 2, Kota Palangka Raya menyimpan sejarah. Nama Balanga sendiri diambil dari nama koleksi guci unggulan museum.
Benda-benda terkait dengan kehidupan orang Dayak itu dipajang dan gambarkan lengkap. Mulai dari benda-benda yang menunjukkan kehidupan orang Dayak mulai menikah, hamil, melahirkan, dan bekerja, hingga kematian. Ada ribuan benda yang dikategorikan dalam 10 kelompok dan disimpan serta dipelihara di museum ini. Kategori itu antara lain, geologika, biologika, atnografika, arkeologika, historika, numinmatika, filologika, keramologika, seni rupa, dan teknologika.
Museum Balanga dibangun oleh Pemerintah Provinsi Kalteng pada tahun 1972 dan diresmikan 6 April 1973.
Kemudian berjalannya waktu dan dengan berlakunya UU Nomor 41 tahun 2007 tentang Efisiensi Penyelenggaraan Pemerintahan Negara dan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kalteng Nomor 64 tahun 2008, maka museum berada di bawah koordinasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sejak itulah Museum Balanga berstatus unit pelaksana teknis, dengan nama UPT Museum Balanga Kalteng.
“Dinamai Museum Balanga, diambil dari koleksi guci unggulan museum,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng Guntur Talajan yang saat itu menemani Kalteng Pos melihat seluruh koleksi Museum Balanga, belum lama ini.
Jumlah keseluruhan koleksi di museum mulai dari guci, alat perikanan, pakaian perkawinan, kesenian, dan lainnya, ada sekitar 4.254 benda. Termasuk barang-barang atau senjata yang diamankan pada saat konflik antarsuku yang pecah di Sampit medio 2001 dulu.
“Apa yang ada di dalam museum ini menjadi pembelajaran dan edukasi untuk masyarakat Kalteng, terutama generasi ke generasi,”sebutnya.
Sementara itu, lanjutnya, salah satu benda yang paling banyak disimpan di museum adalah Balanga. Balanga sendiri bernilai tinggi. Sebab tidak semua orang atau keluarga yang bisa menyimpan atau membelinya. Hal ini juga menandai status sosial tinggi, martabat, terhormat, pandang di tengah masyarakat.
Bagi yang memiliki Balanga, nilai-nilai sosial dan sejarahnya lebih dari harta intan dan emas. Derajat sosialnya pada zaman dulu saat acara kawin adat. Di dalam adat, pihak mempelai laki-laki wajib menyerahkan balanga kepada mempelai perempuan. “Di situ kelihatan, muncul tingginya martabat orang Dayak Kalteng,” ujarnya.
Sementara itu di tempat berbeda, Tenaga Ahli Cagar Budaya, Gauri Vidya Dhaneswara menambahkan, di dalam Museum Balanga juga memajang senjata tradisional Dayak, yakni Mandau. Menurut pria kelahiran tahun 1989 ini, berdasarkan konteks ilmu metalurgi, mandau diperkirakan sudah digunakan orang Dayak sekitar tahun 1.000 masehi. Mandau umumnya berukuran lebih 50-70 cm atau seukuran dengan duhung senjata pusaka khas Dayak lainnya.
“Ukuran itu juga terkait dengan kualitas besi yang ada di tanah Dayak awalnya,” ujarnya lagi.
Namun sejalan dengan makin berkembangnya pengetahuan ditambah mulai adanya hubungan perdagangan antara masyarakat Dayak dengan dunia luar, maka mulailah masyarakat Dayak bisa membuat senjata mandau yang lebih besar dan lebih panjang. “Mungkin sekitar tahun 1.800 akhirlah,” ujar pemilik gelar Sarjana Antropologi Budaya di Universitas Gajah Mada (UGM) ini. Gauri menambahkan, mandau juga ditemani dengan langgai atau pisau kecil yang ada pasang di sarung Mandau.
“Rata-rata mandau itu memang ada langgeinya,” jelasnya lagi.
Dikatakan Gauri juga bahwa di dalam pemahaman filosofi masyarakat adat Dayak dahulu, mandau merupakan senjata pusaka yang tidak boleh dipergunakan secara sembarangan. Berbeda halnya dengan penggunaan pisau ambang atau parang. Selain itu mandau juga dipercaya tidak boleh diasah karena pada awalnya mandau memang sudah tajam dari awalnya.
“Karena mandau itu bukan dibuat untuk kebutuhan praktis. Jadi gak boleh mandau dipakai untuk kegiatan nebang pohon atau nebas rumput,” ujarnya lagi. Ambang sendiri dikatakan Gauri miripnya berbentuk seperti Mandau namun tidak ada ukirannya.
Dia menambahkan, di Meseum Balanga juga disimpan Sapundu. Sapundu sendiri sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai warisan budaya tak benda nasional dalam kontek kriya etnik atau kerajinan. Sedangkan Berdasarkan kepercayaan Hindu Kaharingan, sapundu dikatakan sebagai monumen status seseorang pada masa hidupnya. Pembuatan sapundu sendiri tidak bisa dilakukan sembarangan. Seseorang yang memiliki keahlian memahat kayu atau membuat patung tidak bisa langsung dapat membuat sapundu.
“Karena sapundu ini terkait upacara tiwah, itu konteksnya,” ujarnya lagi.
Sapundu biasanya ditaruh di tempat terbuka saat acara tiwah berlangsung. Nantinya sapundu tersebut di gunakan untuk tempat mengikat hewan korban yang digunakan untuk acara tiwah.
“Sapundu itu tempat mengikat kerbau atau sapi waktu acara tiwah,” ujar Gauri.
Bahan untuk membuat sapundu sendiri adalah kayu ulin. Ini dikarenakan Sapundu merupakan monumen untuk mengingat para leluhur secara turun temurun, sehingga harus bahan yang kuat.
“Karena yang dicari itu adalah keawetannya,” terang Gauri sambil menegaskan bahwa hal yang menyebabkan semestinya kayu ulin juga harus dilestarikan.
Kunjungan ke Museum
Terpisah, Kepala UPT Museum Balanga Hasanuddin mengatakan, kunjungan warga ke Museum Balanga cukup banyak. “Apalagi sebelum masa pandemi beberapa waktu lalu,” ucapnya.
Pada tahun 2019, pengunjung yang memakai karcis atau tiket masuk sebanyak 5.948 orang. Jumlah itu terdiri dari TK/SD sederajat 1.073 orang, SLTP/SLTA sederajat 1.622 orang, mahasiswa dari perguruan tinggi 2.067 orang, dewasa umum 298 orang, pejabat pusat dan daerah 254 orang, turis asing/ wisman 99 orang. Untuk pengunjug yang tidak menggunakan tiket sebanyak 3.300 orang (tamu, peneliti, guru, dosen, seniman, peserta lomba, komunitas sanggar, anak magang SMA/SMK sederajat dan lain-lain).
Sementara pada tahun 2020 atau selama pandemi Covid-19, tiket masuk terpakai 3.436 orang, terdiri dari TK/SD sederajat 961 orang, SMP/SMA sederajat 1.218 orang, perguruan tinggi 956 orang, dewasa umum 185 orang, pejabat pusat dan daerah 21 orang, turis asing 12 orang. Pengunjung tanpa tiket sebanyak 2.470 orang (tamu, peneliti, guru, dosen, seniman, peserta lomba, komunitas sanggar, anak magang SMA/SMK sederajat dan lainnya).
Sementara, Januari sampai Mei 2021, jumlah pengunjung adalah 241 orang.
Terancam Kekurangan SDM
Terpisah, Kepala Seksi Koleksi dan Konservasi Museum Balanga Lilik Margiatsih menyebut, salah satu beban yang sekarang dihadapi oleh pihaknya adalah kurang tenaga yang dimiliki pihak musium untuk memelihara dan merawat seluruh koleksi yang ada di museum tersebut. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi pegawai muda yang terampil yang mau bertugas. Jumlah pegawai saat ini berjumlah 18 orang.
Sebagian besar pegawai di museum ini sudah cukup berumur. Hampir semua usaianya di atas 50 tahun dan beberapa tahun ke depan banyak yang akan pensiun. Lilik berharap segera adanya penambahan tenaga SDM yang bertugas di Museum Balanga di masa depan. Dirinya sangat ingin punya tenaga terampil dan masih muda agar belajar tentang perawatan koleksi benda-benda di museum ini.
“Koleksi banyak, tapi SDM di sini kurang sedangkan jika kita meminta bantuan bagian yang lain, mereka juga kurang, “tutur perempuan yang sudah tujuh tahun bertugas di Museum Balanga ini.
Diceritakan Lilik, untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan benda-benda kaya akan sejarah tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Ada aturan dan teknik khusus yang harus di lakukan agar benda di museum tersebut bisa terawat dengan baik.
Terkait pengamanan terhadap berbagai barang koleksi yang ada, Lilik menyebut masih kurang. Meskipun di museum ini memiliki petugas yang melakukan penjagaan di lingkungan museum. Namun untuk pemantauan secara elektronik seperti CCTV, belum semua sudut ruangan termonitor.
“Seperti di ruangan pameran Tjilik Riwut, memang belum ada CCTV-nya,” jelas Lilik.
Meski demikian, Lilik merasa bersyukur sampai saat ini belum pernah ada kejadian pencurian. Bahkan secara setengah bergurau, Lilik mengatakan bahwa banyak orang yang percaya kalau benda-benda di museum ini sendiri akan selalu aman dan terjaga karena mendapat perlindungan dari kekuatan mistis yang berjaga di museum itu.
“Banyak orang-orang yang mempunyai indra ke-enam bilang ke saya, bu yang jaga itu orangnya besar ya,” ujar Lilik sambil tertawa.
Orang orang itu juga mengatakan bahwa di museum banyak tempat dan benda yang bernilai keramat dan mengandung unsur gaib. Bila ada orang yang berniat jahat di museum ini, maka hanya mendatangkan bahaya bagi orang itu sendiri.
Terkait pemeliharaan dan perawatan lingkungan, seringkali terkendala biaya. Dengan luas museum mencapai hampir 5 hektare, pihaknya mengaku kesulitan untuk melakukan pembersihan. Tentu, hal itu menjadi penghambat untuk menarik minat pengunjung. Terlebih, Museum Balanga ini juga menjadi andalan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.(sja/nue/uni/ram)