PALANGKA RAYA-Sidang perkara korupsi yang menjerat Gunawan Samsi, Kepala Desa Dadahup, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas dilanjutkan kembali di Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Kamis (27/1). Penasihat hukum terdakwa mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa yang menyebut kliennya terlibat korupsi pungutan desa terkait biaya pembuatan surat pernyataan tanah (SPT).
Dalam eksepsi setebal 10 halaman yang dibacakan penasihat hukum terdakwa, Guruh Eka Saputra, S.H., ada keberatan terhadap surat dakwaan jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kapuas Cabang Palingkau yang menyebut terdakwa Gunawan Samsi telah melakukan tindak pidana korupsi.
Guruh menyatakan bahwa uraian surat dakwaan jaksa tersebut disusun tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap serta mengandung sejumlah cacat formil, sehingga harus dinyatakan batal demi hukum atau dinyatakan majelis hakim tidak dapat diterima. Pihak penasihat hukum juga meminta agar majelis hakim menyatakan membebaskan kliennya dari seluruh dakwaan serta tidak ditahan lagi.
“Kami mohon kepada majelis hakim dalam perkara tindak pidana korupsi nomor: 1/ Pid. Sus-TPK/ 2022/ PN. Plk, pada Pengadilan Negeri Palangka Raya berkenan memutuskan dalam putusan sela dengan putusan hukum bahwa surat dakwaan penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Cabang Kapuas di Palingkau dengan nomor registrasi perkara: PDS-01/ KPUAS. 2/ Ft. 1/ 01/ 2022 tertanggal 04 Januari 2021 batal demi hukum, atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) dan memerintahkan menurut hukum agar terdakwa dibebaskan dari tahanan,” ucap Guruh.
Menurut Guruh, perbuatan Gunawan menerima pembayaran dari warga Desa Dadahup untuk pembuatan SPT terhitung sejak 2018 sampai dengan 2021 merupakan masalah administratif dan bukan perbuatan tindak pidana korupsi yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara. Hal itu dikarenakan tindakan kliennya selaku pihak penyelenggara pemerintahan Desa Dadahup untuk menerima pembayaran pembuatan SPT adalah berdasarkan Peraturan Desa Dadahup Nomor 06 Tahun 2018 tentang Pungutan Desa, tertanggal 17 September 2018.
Adapun kewenangan Kepala Desa Dadahup untuk mengeluarkan peraturan desa terkait pungutan desa itu, dikatakan Guruh, telah sesuai hukum. Bahwa kewenangan atribusi diberikan oleh Undang-Undang (UU) RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang isinya menyebutkan bahwa peraturan desa sebagai dasar legalitas bertindaknya unsur-unsur penyelenggara pemerintahan desa secara otonom dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa setempat.
“Dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) huruf d UU RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Dalam melaksanakan tugas tersebut, kepala desa berwenang menetapkan peraturan desa,” kata Guruh.
“Maka jelas kewenangan terdakwa dalam menetapkan Peraturan Desa Dadahup Nomor 06 Tahun 2018 tentang Pungutan Desa tanggal 17 September 2018, menjadi dasar bagi klien kami menerima pembayaran pembuatan SPT bagi warga Desa Dadahup, itu adalah kewenangan atribusi yang diberikan oleh UU RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,” sebut Guruh.
Karena itu, lanjutnya, peraturan desa terkait pungutan pembuatan SPT itu sudah sah dan memiliki legalitas hukum sesuai perundangan-undangan. Pihaknya beranggapan bahwa perbuatan terdakwa menerima pembayaran pembuatan SPT tersebut, jelas merupakan suatu urusan administrasi pemerintahan. Kalaupun terjadi permasalahan ataupun kesalahan, harusnya terlebih dahulu diselesaikan secara administratif.
“Terlebih lagi dalam kesalahan administrasi tersebut sama sekali tidak menyebabkan kerugian keuangan negara,” ujarnya.
Masalah ini dinilai murni terkait masalah administrasi dan bukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan jaksa. Karena itu penasihat hukum terdakwa beranggapan persoalan ini tidak bisa disidangkan di pengadilan.
“Kami selaku penasihat hukum terdakwa berpendapat bahwa Pengadilan Negeri Palangka Raya tidak berwenang mengadili perkara terdakwa karena ini merupakan persoalan administrasi,” tegasnya.
Selain itu, pihak penasihat hukum juga menyebut bahwa dalam perkara ini, antara terdakwa dengan saksi Arbeth terdapat persoalan keperdataan. Sebelumnya saksi Arbeth telah membayar uang Rp5 juta kepada Kepala Desa Tambak Bajai untuk penerbitan 13 SPT. Padahal, kata Guruh, objek tanah tersebut terletak di wilayah administrasi Desa Dadahup.
Sehingga untuk menyelesaikan masalah itu, terdakwa bersama saksi Arbet dan Kepala Desa Tambak Bajai telah membuat surat kesepakatan bersama, bahwa SPT yang telanjur diterbitkan oleh Kades Tambak Bajai tersebut tidak perlu diubah atau dicabut. Namun kepada pemilik tanah dibebankan biaya denda administrasi sebesar Rp400 ribu per SPT.
“Kesepakatan itu dibuat dalam surat perjanjian bermeterai, sehingga itu murni perbuatan perdata, tidak bisa dipidana,” ujarnya.
Anggapan cacat dan adanya ketidakcermatan dalam surat dakwaan jaksa, menurut kuasa hukum terdakwa, karena surat dakwaan itu diketahui ditandatangani oleh pihak JPU pada 4 Januari 2021. “Padahal perkara yang didakwakan kepada terdakwa teregister dalam Nomor Perkara: 1/ Pid. Sus-TPK/ 2022/ PN. Plk,” kata Guruh sembari menyebut jaksa tidak membuat ralat atau menyampaikan perbaikan terkait kesalahan tersebut pada persidangan sebelumnya.
Rencananya sidang kasus korupsi ini akan digelar kembali Kamis (3/2), dengan agenda tanggapan jaksa atas eksepsi yang diajukan penasihat hukum terdakwa. (sja/ce/ala)