Bahasa daerah khususnya bahasa Dayak Ngaju dalam ancaman. Jika tidak dilestarikan, ada kemungkinan akan punah. Kondisi ini menjadi keprihatinan Offeny Ibrahim dan Albert Aron Bingan. Keduanya tergerak menyusun kamus bahasa Dayak Ngaju.
ANISA B WAHDAH, Palangka Raya
BAHASA menjadi salah satu identitas negara atau daerah. Layaknya bahasa Indonesia sebagai tanda kenal sekaligus jati diri bangsa. Begitupun dengan bahasa Dayak Ngaju di Kalteng. Namun, saat ini kekhasan bahasa ini mulai pudar karena sudah bercampur dengan bahasa daerah lain.
Sadar akan kondisi itu, dua pria asal Bumi Tambun Bungai ini berinisiatif menciptakan kamus bahasa Dayak Ngaju, dengan tujuan melestarikan bahasa yang menjadi identitias diri mereka yang merupakan keturunan suku Dayak Ngaju. Keduanya ingin menjadi sosok yang kelak dapat dikenal melalui karya mereka. Selain itu, juga memberikan manfaat bagi para generasi penerus, agar bahasa yang menjadi identitas daerah tidak punah.
Offeny Ibrahim dan Albert Aron Bingan bersama-sama menyusun kamus bahasa Dayak Ngaju yang diimplementasikan sejak 1989 lalu. Selama lima tahun lebih mengumpulkan kosakata, menyusun hingga menjadi sebuah kamus yang terbit pertama kali pada 1996. Dengan ribuan kosakata yang dihimpun dari berbagai sumber. Mulai dari referensi buku maupun informasi dan data dari para pendahulu di pelosok-pelosok Kalteng, khususnya yang masih banyak dihuni oleh suku Dayak Ngaju.
“Saya sudah tidak ingat berapa kosakata yang saya kumpulkan dan input hingga menjadi kamus itu,” kata Offeny saat diwawancarai di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Universitas Palangka Raya (UPR).
Pria kelahiran Kabupaten Barito Selatan (Barsel) ini menyebut, ada sejumlah sumber yang menjadi rujukan penyusunan kamus itu. Di antaranya buku-buku orang asing yang melakukan penelitian di Kalteng pada zaman dahulu. Contohnya, buku milik KD Epple yang diterbitkan tahun 1922 berjudul Soerat Logat Basa Ngadjoe.
“Mereka orang kebangsaan Belanda yang menulis kaidah-kaidah Dayak Ngaju, ada pula buku-buku lain yang kami himpun, seperti kitab suci dan lainnya,” tuturnya.
Ia menyebut, pada zaman dahulu memang ada beberapa warga asing yang melakukan penelitian tentang bahasa di Kalteng, termasuk bahasa Dayak Ngaju. Saat itu, orang asing memanfaatkan pribumi yang terkena jipen, kemudian ditebus dan dijadikan sebagai informan.
“Ada kamus Bahasa Dayak Ngaju yang diterbitkan oleh orang Jerman, tapi di dalamnya tidak ada pemilahan antara kata dasar dan kata yang sudah mendapatkan imbuhan, yang diucapkan oleh informan, itulah yang ditulis,” sebut pria yang lahir 10 September 1958 ini.
Selain dari buku-buku, Offeny bersama Albert juga mencari data ke pelosok-pelosok Kalteng. Seperti ke pelosok Kapuas dan aliran Sungai Kahayan. Menemui orang tua dahulu yang masih menggunakan bahasa Dayak Ngaju dalam keseharian, yang belum terkontaminasi bahasa-bahasa lain.
“Saat ke pelosok-pelosok, kami juga mendapat informasi soal buku-buku yang bisa dijadikan sumber, ada beberapa tokoh, pendeta, atau guru yang memiliki buku itu,” ucap pria yang sehari-hari mengajar sebagai dosen ini dan menjadi Ketua Jurusan IPS di FKIP UPR.
Sembari mengumpulkan data, mereka juga perlahan-lahan meng-input kosakata-kosakata itu ke komputer. Selanjutnya pada 1996 lalu dilakukan cetakan pertama sejumlah 100 eksemplar. 50 eksemplar diberikan kepada Humas Pemprov Kalteng, sedangkan 50 eksemplar lagi dijual ke umum seperti ke lembaga, instansi, dan sekolah.
Buku ini sudah lima kali cetak dan ada revisinya. Namun, selama ini tidak diperjualbelikan bebas di pertokoan, karena pihak ketiga yang bekerja sama dengannya mengambil keuntungan yang cukup tinggi.
“Padahal saya tidak ingin kamus ini dijual begitu mahal, tujuan saya untuk edukasi, pembelajaran yang bermanfaat bagi generasi-generasi muda, makanya kamus ini lebih banyak dijual di lembaga instansi dan sekolah-sekolah,” bebernya.
Pria lulusan FKIP UPR pada 1985 ini mengatakan, ia sama sekali tak mendapatkan keuntungan apapun dari penyusunan kamus itu. Hanya ingin melestarikan bahasa Dayak Ngaju agar tidak musnah terkikis zaman.
“Jujur saja, saya tidak dapat keuntungan rupiah dari penyusunan kamus ini. Saya putra daerah yang ingin melestarikan bahasa saya, suatu saat bahasa ini akan punah kalau kita tidak melestarikannya,” katanya.
Ia pun memprediksi bahwa kamus bahasa Dayak Ngaju yang disusunnya itu merupakan yang pertama kali ada di Bumi Tambun Bungai ini.
“Kamus yang saya terbitkan bersama sepupu saya itu hanya Dayak Ngaju-Indonesia, sebelum sepupu saya meninggal, dia sudah mulai menyusun kamus lanjutan Dayak Ngaju-Indonesia sekaligus Indonesia-Dayak Ngaju,” ucap pria yang menyelesaikan Magister Ilmu Agama dan Budaya di Universitas Hindu Indonesia Denpasar, Bali pada 2011 lalu.
Untuk memenuhi keinginan sepupunya itu, Offeny melanjutkan penyusunan kamus lanjutan Indonesia-Dayak Ngaju. Saat ini kamus itu sudah selesai, hanya menunggu proses penerbitan ISBN saja.
“Harapan saya kamus ini bisa dilestarikan dan digunakan di semua lembaga pendidikan, karena kamus ini sudah dilengkapi dengan tata bahasa untuk membantu memahami pengucapan yang tepat bahasa Dayak Ngaju,” ujar tokoh kebahasaan Kalteng ini.
Tak hanya kamus, pria yang memiliki hobi di bidang seni dan budaya ini juga sudah memiliki sejumlah karya, seperti cerita rakyat, lukisan ukiran, dan lainnya. Saat ini ia juga sedang menyusun buku Senjata Pusaka.
“Saya kan sebagai dosen PPKN di Jurusan IPS FKIP UPR ini, jadi saya mengisi waktu luang dengan menyalurkan hobi di bidang seni dan budaya,” tutupnya. (*/ce/ala)