SAMPIT- Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang banyak di dapati di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) bukan hanya sekedar wadah investasi yang menjanjikan bagi daerah.
Kehadiran perkebunan itu juga telah membuka keterisolasian masyarakat khususnya bagi mereka yang tinggal di desa terpencil. Salah satu wilayah yang merasakan dampak positif dari hadirnya perkebunan sawit tersebut adalah Kecamatan Cempaga Hulu.
Camat Cempaga Hulu, Gusti Mukafi membeberkan dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit, kini seluruh desa yang yang berjumlah 11 desa di wilayah tersebut dapat diakses melalui jalur darat. “Akses jalan terbangun.
Dahulu hanya melewati akses sungai, sekarang seluruh desa sudah bisa melalui jalur darat yang notabenya dibuat oleh perusahaan sawit,” ujarnya, kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.
Selain akses yang mudah, kehadiran perkebunan sawit juga membantu akses pendidikan bagi desa. Meski memiliki mekanisme tersendiri, kehadiran perusahaan sawit bisa membantu akses pendidikan di desa-desa
“Cukup jelas. Membantu. Tapi mereka punya mekanisme yang ditetapkan seperti alurnya dan sebagainya. Itu bisa kita fahami karena saya menggali langsung ke perusahaan,” tuturnya.
Selain membuka keterisolasian, perusahaan sawit juga membantu fasilitas yang dapat menunjang aktifitas masyarakat.
Melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan sawit telah memberikan sumbangsih untuk pembangunan desa, rumah ibadah, hingga balai.
“CSR ini telah memberikan sumbangsih untuk desa-desa, rumah ibadah, balai. Walaupun kita akui tidak semuanya terealisasi dengan angka yang diinginkan, namun ada sumbangsih dari perusahaan tersebut,” katanya.
Tak hanya itu, kehadiran perkebunan sawit membawa dampak sosial yang positif bagi masyarakat desa. Warga desa kini bisa bekerja sama dalam hal sosial kemasyarakatan seperti dalam memeriahkan hari besar keagamaan, hingga hari besar nasional
“Warga bisa bekerja sama dalam hal sosial kemasyarakatan. Misalnya kalau hari besar 17an, perusahaan bisa mengadakan pertandingan untuk warga desa,” bebernya.
Ia menambahkan, di wilayahnya sudah banyak perusahaan sawit yang mentaati peraturan plasma 20 persen.
Namun, acap kali aturan yang dipegang oleh perusahaan sawit tidak banyak diketahui masyarakat. Hal itulah yang membuat benturan antara kepentingan masyarakat dan aturan yang dipegang oleh perushaan.
“Kalau dihitung persentasenya sudah banyak yang sudah melaksanakan meskipun belum semua. Karena itu terpaku dengan aturan. Itu ada fasenya, misalkan fase satu jika kebun itu dibangun di bawah 2007, dia tidak berhak untuk plasma 20 persen, namun berhak menyiapkan kegiatan usaha produktif untuk masyarakat. Masyarakat kita taunya plasma saja. Itu yang sering berbenturan. Namun kita tetap fasilitasi itu,” bebernya.
Ia berharap, regulasi yang sekarang dilaksanakan bisa dipatuhi. Kontribusi kedua belah pihak antara masyarakat dan perusahaan sawit harus saling menguntungkan satu sama lain. Sehingga tercipta suasana yang harmonis dengan kehadiran investasi tersebut.
“Perusahaan mematuhi apa yang menjadi kewajiban mereka. Masyarakat juga kalau menyangkut hak, harus disampaikan melalui prosedur yang jelas,” tandasnya.(mif/ram)