MENJELANG Pemilu 2024, Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin menerbitkan memorandum yang berisi arahan kepada jajarannya. Isinya, para jaksa diminta menunda pemeriksaan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), calon legislatif (caleg), maupun calon kepala daerah (cakada). Baik di level penyelidikan maupun penyidikan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan bahwa memorandum tersebut merupakan hal biasa. Menurut dia, arahan itu dikeluarkan untuk mencegah praktik kriminalisasi atau saling jegal di antara peserta pemilu.
”Memang sejak dulu begitu. Karena sering kali kalau ada pemilu, para calon sering dikriminalisasi dengan laporan-laporan yang kemudian tidak terbukti,” ungkapnya kepada awak media di Jakarta kemarin (21/8).
Akibatnya, tujuan pemilu untuk menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas terganggu. Sebab, pihak-pihak yang dikriminalisasi kadung tercoreng namanya hingga tidak terpilih. Karena itu, perlu ada memorandum. ”Kasus-kasus korupsi supaya ditunda dulu sampai pemilu selesai. Yang pilpres dan legislatif sampai dengan tanggal 14 Februari,” imbuhnya. Kemudian, pemilihan kepala daerah (pilkada) sampai November tahun depan.
Meski begitu, Mahfud menegaskan bahwa memorandum yang dikeluarkan Kejagung hanya menunda. ”Itu hanya ditunda, ditunda dulu penyelidikan dan penyidikannya. Tentu kalau yang sedang berjalan nanti biar dicari jalan keluar oleh Kejaksaan Agung,” bebernya.
Yang jelas, penegakan hukum tidak berhenti. Kejagung hanya mengeluarkan kebijakan untuk memastikan jalannya pemilu tidak terganggu dan proses hukum tidak ditarik-tarik masuk politik praktis.
Dalam memorandum yang dikeluarkan Kejagung, jaksa agung menyampaikan beberapa poin. Antara lain ditujukan kepada jajarannya di bidang intelijen dan tindak pidana khusus. Pertama, penanganan laporan pengaduan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan capres, cawapres, caleg, serta cakada dilakukan secara cermat dan hati-hati. Dia juga meminta agar dilakukan antisipasi atas black campaign.
Kedua, jajaran tindak pidana khusus dan intelijen di bawah Kejagung menunda proses pemeriksaan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam poin pertama. Sesuai keterangan Menko Polhukam, itu berlaku untuk proses pemeriksaan pada tahap penyelidikan maupun penyidikan. Penundaan tersebut dilakukan sampai seluruh rangkaian, proses, dan tahapan pemilu serentak selesai.
Dalam memorandum yang sama, jaksa agung meminta jajaran intelijen mengoptimalkan peran untuk memetakan potensi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan terkait pemilu. Selain itu, dia meminta optimalisasi penegakan hukum oleh jajaran tindak pidana umum. Mereka diminta mengidentifikasi segala potensi tindak pidana pemilu. Baik sebelum, saat, maupun setelah penyelenggaraan pemilu.
Saat ini, lanjut Burhanuddin, pihaknya sudah tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Dia meminta seluruh jajarannya aktif, kolaboratif, dan koordinatif dalam penanganan laporan tindak pidana umum maupun khusus yang melibatkan capres, cawapres, caleg, dan cakada. ”Untuk menghindari proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan dipergunakan sebagai alat politik praktis oleh pihak-pihak tertentu,” katanya.
Burhanuddin juga menekankan, Kejagung dan seluruh jajaran harus netral dalam pemilu serentak tahun depan. ”Kejaksaan harus senantiasa menjaga dan menjunjung tinggi netralitas dengan tidak memihak atau berafiliasi dengan partai politik ataupun kepentingan politik mana pun,” kata jaksa agung. Apalagi bila hal itu menyangkut pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Khususnya dalam penegakan hukum.
Kritik tajam dilayangkan sejumlah pemerhati pendidikan atas keputusan MK tentang izin kampanye di lembaga pendidikan. Dalam putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 disebutkan, peserta pemilu boleh berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan tidak menggunakan atribut kampanye.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengaku kecewa atas putusan tersebut. Menurut dia, tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah seharusnya menjadi ruang netral untuk kepentingan publik. Sehingga pantang digunakan sebagai tempat kampanye menjelang pemilu. ”Hal penting lainnya yang juga harus dipahami adalah satuan pendidikan tidak ditujukan untuk kepentingan politik elektoral tertentu. Meski memang boleh menjadi tempat untuk mempelajari ilmu politik,” tegasnya.
Hal itu dikhawatirkan bisa disalahgunakan institusi pendidikan untuk mengomersialkan panggung politik di dalam satuan pendidikan. ”Kondisi tersebut jelas berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan ke depannya,” tutur Retno. Apalagi jika yang berkampanye adalah kepala daerah setempat. Relasi kuasa sulit dihindarkan.
Terpisah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) enggan berpolemik terkait norma tersebut. Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, pihaknya akan mengikuti aturan hukum yang ada, dalam hal ini putusan MK yang sifatnya final dan mengikat. Putusan itu akan dituangkan dalam aturan teknis di peraturan KPU (PKPU) tentang kampanye. ”Tentunya KPU akan menyesuaikan aturan kampanye,” ujar dia.
Sejatinya, lanjut Idham, norma tersebut sudah ada dalam penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf H UU Pemilu. Namun, MK memberikan penegasan dengan sejumlah ketentuannya. Yakni larangan penuh di tempat ibadah dan dibolehkan di tempat pendidikan dengan syarat tertentu. Soal teknisnya, dia belum bisa membeberkan. Saat ini revisi PKPU masih dibahas. ”Nanti akan disesuaikan (dengan putusan MK, Red),” ucapnya. (hms/ala)