PALANGKA RAYA – Putri almarhum Gus Dur, Alissa Wahid mengatakan tidak ada pertentangan antara semangat kebangsaan dan keagamaan. Sudah seharusnya warga negara mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan baik. Hal itu disampaikan saat menjadi narasumber dalam dialog nasional tentang kerukunan antarumat agama yang diselenggarakan oleh Institut Agama Hindu Negeri (IAHN) Palangka Raya, Kamis (6/4).
“Ketika kita beragama, kita merawat tanah air kita. Dan ketika kita merawat tanah air kita, Pancasila wajib dijadikan sebagai pedoman. Bernegara itu artinya kita beragama, demikian pula sebaliknya,”ujar Alissa Wahid.
Lebih lanjut, Alissa menyebut bahwa Pancasila sudah sesuai ajaran agama yang ada Indonesia. Dimana menurutnya perlu diingat bahwa masyarakat diikat oleh nilai-nilai bersama. “Untuk merefleksikan Pancasila ke dalam diri kita adalah menjadi manusia yang spiritual, adil, dan beradab serta mampu menjaga persatuan dengan orang-orang yang berbeda latar belakang tapi sama-sama warga Indonesia,” tuturnya.
Dia mengatakan nilai-nilai bersamanya orang Indonesia itu ya Pancasila. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia adalah dengan mengukur apakah kita sudah mengamalkan ajaran-ajaran agama, ajaran-ajaran yang ada di dalam Pancasila, karena itu satu kesatuan.
Ia juga menjelaskan upaya menyelesaikan permasalahan keberagaman dapat dilakukan dengan menjunjung tinggi Pancasila dan merealisasikan nilai-nilainya. Dengan demikian, sikap saling menghargai, egaliter, dan toleran harus dimiliki seluruh warga Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara memiliki kedudukan tertinggi. Pancasila dibuat oleh pendiri bangsa Indonesia dengan penuh kehati-hatian memperhatikan baik buruknya. “Para pendiri bangsa Indonesia tentunya tidak sembarang dalam membuat dasar negara,”tegasnya.
Selanjutnya Prof IBG Yudha Triguna juga menyampaikan paparan pada seminar kali ini. Pancasila lahir dari semangat untuk mempersatukan berbagai bentuk kemajemukan di tanah air. Mulai dari budaya, Bahasa, suku, etnis, hingga keberagaman agama. Oleh karena itu, Pancasila dikatakan sebagai titik temu antar berbagai latar belakang kemajemukan tersebut. Ia juga mengatakan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional di Indonesia. Hal itu dituangkan dalam Pasal 28E Ayat 1 (satu) Undang-Undang Dasar 1945.
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali,” tutur Yudha.
Pada dialog kali ini juga turut menyampaikan paparan dari Paulus Tasik Galle yang merupakan tokoh umat Katolik atau Analis Kebijakan Pengembangan Dialog dan Wawasan Multikultural Pusat Kerukunan Umat Beragama. Pada kesempatan ini ia menyampaikan bahwa mencintai Indonesia sama dengan mencintai kebhinekaan.
“Bangsa Indonesia harus memahami keberagaman yang ada dan harus merawatnya, yaitu dengan mempunyai sikap egaliter dan toleran. Karena negara Indonesia adalah negara yang plural, sudah sepantasnya masyarakat Indonesia menjaga keutuhan,” ucapnya Paulus.
Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang harus disyukuri dan pelihara. Keberagaman ini, apabila dirawat dengan pengetahuan dan toleransi, maka akan menjadi kekayaan yang luar biasa yang jarang dimiliki oleh bangsa lain di dunia. Dan ia jelaskan bahwa toleransi adalah kuncinya.
“Toleransi membimbing kita pada moderasi beragama sehingga terhindar dari fanatisme yang dapat mengarah pada fundamentalisme, radikalisme maupun ekstremisme,” ucapnya.(irj/ram)