Site icon KaltengPos

Jelang Imlek 2025, Warga Tionghoa memandikan Rupang di Vihara Avalokitesvara

 Menjelang Tahun Baru Imlek, Warga Tionghoa memandikan Rupang di Vihara Avalokitesvara di Jalan Tjilik Riwut kilometer 9,5, Palangka Raya.ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

PALANGKA RAYA-Menyambut tahun baru Cina atau Imlek 2576 Kongzili pada 29 Januari mendatang, di Vihara Avalokitesvara, Jalan Tjilik Riwut Km 9,5, Kota Palangka Raya digelar tradisi sakral memandikan 13 rupang (patung), Minggu pagi (19/1/2025).

Ini merupakan agenda tahunan yang penuh makna, melambangkan pembersihan diri dari pikiran, ucapan, dan perbuatan buruk.

Penjaga Vihara Avalokitesvara, Franky Christanto, mengatakan tradisi ini dilakukan untuk menyambut Imlek sesuai tradisi Tionghoa, dengan tujuan agar segala sesuatu terasa baru.

Meski pemandian rupang dalam kepercayaan agama Buddha biasanya dilakukan menjelang hari raya Waisak, tetapi tradisi ini tetap dilaksanakan mengikuti penghitungan hari baik berdasarkan fengsui.

“Maknanya agar semua serba baru untuk menyambut tahun yang baru. Dalam tradisi Buddha sendiri, pembersihan seperti ini biasanya dilakukan menjelang Waisak. Namun, karena ini tradisi Tionghoa, maka dilakukan sebelum Imlek sesuai hari baik yang ditentukan oleh fengsui,” jelasnya, Minggu (19/1/2025).

Prosesi pemandian rupang dimulai dengan doa bersama untuk meminta izin dan penghormatan kepada para dewa-dewi.

Selanjutnya, satu per satu rupang, dari yang terkecil hingga terbesar, dikeluarkan dari tempatnya untuk dibersihkan menggunakan air kembang tujuh rupa yang sarat makna spiritual.

Tradisi tahunan ini mengandung makna mendalam, yakni membersihkan diri dari pikiran, ucapan, dan perbuatan buruk. Selain itu, umat Buddha juga memanfaatkan momen ini untuk introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan selama setahun terakhir.

Di tempat yang sama, Inggrid Liyono, Ketua Vihara Avalokitesvara menyebut rupang pertama yang ada di vihara ini adalah Dewi Kwan Im, yang telah ada sejak tahun 1994.

Dewi Kwan Im dikenal sebagai Bodhisattva yang melambangkan kasih sayang dan belas kasih. Patung ini dianggap sebagai simbol perlindungan dari roh jahat, penyembuhan, dan pengingat bahwa semua makhluk memiliki kesamaan dalam pencapaian spiritual.

“Dewi Kwan Im adalah ikon paling dikenal dalam tradisi Buddhis. Banyak umat memiliki pengalaman pribadi tentang perlindungannya, termasuk saya sendiri. Saat mobil saya kecelakaan dalam perjalanan dari Sampit ke Pangkalan Bun, saya merasa Dewi Kwan Im melindungi saya,” tutur Inggrid mengenang masa lalunya.

Ia juga mengisahkan cerita neneknya yang selamat dari serangan bom di Banjarmasin pada masa penjajahan Jepang, setelah berlindung di vihara dan memohon perlindungan kepada Dewi Kwan Im.

Dalam tradisi ini, terdapat kepercayaan bahwa membersihkan atau memegang rupang tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang menstruasi. Hal ini untuk menjaga kesucian prosesi.

Setelah selesai dimandikan, rupang dikembalikan ke tempat semula. Tradisi ini sekaligus menjadi momen kebersamaan umat Buddha dalam menyambut Imlek dengan hati yang bersih dan semangat baru.

Tahun baru Cina atau Imlek menandai pergantian tahun dan shio dalam kalender Tionghoa. Tradisi ini juga merupakan wujud penghormatan kepada Dewa Bumi, yang diyakini naik ke langit untuk melaporkan perbuatan manusia di bumi kepada Raja Langit.

Inggrid berharap, melalui ritual ini dapat membawa berkah, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi semua umat Buddha di tahun yang baru. (ovi/ce/ala)

Exit mobile version