Melihat Geliat UMKM di Palangka Raya Pascapandemi (8)
Sebagai daerah yang kaya akan ikan, di Kalteng ini selalu muncul orang-orang yang kreatif dalam membuat olahan makanan berbahan dasar ikan. Seperti usaha yang dikembangkan Aqiedah Wahyuni, dengan memproduksi berbagai jenis produk olahan ikan.
*ISABELA, Palangka Raya
SAAT pertama kali masuk ke galeri plus rumah produksi, langsung disuguhi kemasan-kemasan berbagai jenis olahan ikan. Cukup menarik dilihat. Ada yang berwarna hijau, oranye, dan merah. Saya (penulis, red) disambut oleh Aqiedah Wahyuni, penggagas sekaligus pembuat olahan hasil perikanan yang diberi nama MEFs Foods and Snacks.
Tempat usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) itu berlokasi di Jalan Merak Nomor 4, Palangka Raya. Sudah berjalan sejak 2016 lalu, di bawah binaan Dinas Perikanan Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya dan Bank Indonesia.
Dengan menerapkan produksi satu atap dan pemasaran satu pintu, maka anggota dalam kelompok ini yang berjumlah 12 orang wajib produksi di rumah produksi bersama ini.
Ada empat jenis ikan yang dipakai sebagai bahan utama. Yakni haruan (gabus), patin, tenggiri, dan bandeng. Produknya berupa abon ikan, keripik, frozen food, dan tepung. Namun ada juga 21 subvarian produk. Di antaranya keripik kulit, mi, dendeng, pempek, rengginang, petis, bakso, dan stik tulang. “Kami memiliki konsep zero waste atau tanpa limbah dalam proses pengolahan ikan ini,” ujarnya saat berbincang dengan Kalteng Pos, beberapa hari lalu.
Perempuan yang akrab disapa Maunie itu menyebut, harga jual produk bervariasi. Tergantung jenis ikan dan varian produk. Semisal, keripik kulit ikan dijual seharga Rp17 ribu, abon kandas sarai ikan haruan Rp62 ribu.
Pemasaran produk yang dilakukan secara offline sudah tersebar di beberapa toko modern, sentra oleh-oleh, dan toko suvenir. Sementara pemasaaran online melalui Instagram, WhatsApp, Facebook, Tokopedia, dan Shopee. Pelanggan dari luar Palangka Raya pun sudah banyak. Dari kota-kota di Pulau Sumatera maupun dari beberapa daerah di Pulau Jawa.
“Harganya jual sangat terjangkau. Tergantung bahan dasarnya ikan apa. Kalau dari ikan haruan dan tenggiri, otomatis lebih mahal, karena harga ikannya yang kami beli juga mahal,” bebernya.
Jika daging ikan terkenal dengan olahan abonnya, kulit ikan terkenal dengan keripiknya dengan berbagai subvarian rasa, maka tulang ikan terkenal dengan tepungnya. Produk terbaru hasil inovasi Maunie.
Tepung tulang ikan gabus itu dijual Rp72 ribu per 250 gram.
Ya, selama ini tulang-tulang ikan tidak dibuang, tapi dikumpulkan. Kemudian dikeringkan, lalu dilembutkan menjadi tepung. Inovasi itu dinamakan Tabungan Tulang dan Kulit Ikan (Tatuliti). Mengoptimalkan bahan baku ikan, tanpa limbah, ramah lingkungan, halal, berkah, dan bermanfaat bagi masyarakat.
“Tatuliti ini merupakan ide saya, karena saya ingin memanfaatkan ikan bukan hanya dagingnya saja, tapi juga tulang dan kulitnya, karena semua itu berguna, bisa dimakan dan memberikan manfaat kesehatan bagi konsumen,” beber perempuan berpendidikan terakhir pascasarjana di Universitas Mulawarman Bidang Pendidikan Kehutanan Observasi Flora dan Fauna itu.
Produksi olahan yang ditekuni Maunie ini terbilang sukses, sekaligus memajukan pengolahan hasil perikanan di Kota Cantik ini. Ia sudah mendapat sertifikat nasional lulus di 17 inovasi terbaik, hingga akhirnya masuk 7 besar inovasi terbaik pada tahun 2019 lalu dengan gagasan inovasi Tabungan Tulang dan Kulit Ikan (Tatuliti). Juga mendapat penghargaan dari Bank Indonesia sebagai Kelompok Binaan Terprogresif tahun 2018. “Jika ditotal, ada 22 penghargaan,” sebut Maunie yang mengaku produknya sudah pernah diikutkan pada ajang Seafood Show ke-19 di Osaka, Jepang.
Sebelum terjun ke dunia olahan berbahan dasar ikan, pada 2012 lalu Maunie memiliki usaha produksi abon berbahan dasar mandai yang terbuat dari kulit cempedak. Respons konsumen cukup bagus saat itu. Namun usahanya itu tak berjalan lancar karena terganjal proses pengiriman ke pelanggan yang jaraknya cukup jauh, serta kesulitan mendapat pasokan buah cempedak yang memang berbuah musiman. Akhirnya Maunie memutuskan beralih ke produk olahan berbahan dasar ikan.
Kemudian perempuan kelahiran tahun 1975 itu mulai mencoba membuat abon berbahan dasar ikan. Kurang lebih tiga tahun bergelut dengan usaha abon mandai dan abon berbahan dasar ikan. Pada 2015, Dinas Perikanan Kota Palangka Raya mengadakan pendataan usaha bidang perikanan yang dikembangkan masyarakat.
“Karena saya salah satu yang punya usaha mandiri dalam produksi makanan berbahan dasar ikan, saya dikunjungi, didata, dan dibina, sekaligus diarahkan untuk fokus ke olahan berbahan dasar ikan. Akhirnya saya meninggalkan produksi abon mandai yang merupakan produk pertama saya,” ungkapnya.
Tiga tahun punya usaha sendiri, tahun 2016 Maunie disarankan oleh Dinas Perikanan Kota Palangka Raya untuk membetuk kelompok pengolah dan pemasaran hasil perikanan, yang saat itu diberi nama Poklaser MEFs Foods and Snacks. Seiring berjalannya waktu dan menyesuaikan kebutuhan legalitas badan usaha, akhirnya nama kelompok diubah menjadi Perkumpulan Pramesti Malima Energi Fokus Sejahtera (PMEFS).
Selain dibina oleh dinas perikanan, kelompok pengolahan hasil perikanan “MEFs Foods and Snacks” juga dibina oleh Bank Indonesia sejak 2017 melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), yang mana Bank Indonesia sangat membantu dalam proses produksi, dengan menyumbangkan peralatan produksi seperti mesin pemisah tulang ikan, mesin sangraian abon, dan lainnya.
Pandemi yang terjadi 2019 lalu cukup berdampak pada pemasaran produknya. Penurunan omzet sampai 70 persen. Sebelum pandemi melanda, sekali produksi atau satu bulan sekali bisa menghabiskan 50 kilogram ikan haruan. Namun saat dilanda pandemi, hanya 10 kilogram ikan saja sekali produksi. “Tahun 2022 ini berangsur membaik. Semoga terus berkembang ke depan, termasuk para pelaku UMKM lain di Palangka Raya ini,” tutupnya. (ce/ram/ko)