Site icon KaltengPos

Bunyi yang Bergerak dan Gerak yang Berbunyi

ENERGIK: Gemerincing gelang dan lenggak-lenggok tubuh sebelas penari menghipnosis penonton yang hadir di UPT Taman Budaya, Selasa malam (10/1/2023). PANITIA UNTUK KALTENG POS

Bunyi-bunyi itu terejawantah dari gerak tubuh para penari, menyiratkan harapan untuk masa depan alam Kalimantan. Lewat tari Aruh, manusia diajak untuk menyelaraskan kembali hubungan dengan alam sebagai perenungan atas kondisi di berbagai lini kehidupan dewasa ini.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

RATUSAN penonton duduk berjejer di bangku tribun UPT Taman Budaya Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Selasa malam (10/1/2023). Mereka tak sabar menunggu penampilan seni tari yang katanya mengusung konsep baru. Ada yang sedikit beringsut ke bangku terdepan agar dapat melihat lebih jelas. Ada juga yang memilih duduk di bagian teratas tribun, menyaksikan dari jauh pertunjukan seni malam itu.

Tari Aruh yang ditampilkan malam itu merupakan teater terbuka yang membawa konsep baru di dunia sendratari. Kebanyakan yang hadir adalah para peminat seni tari. Terinspirasi dari nilai konvensional seperti ritual Dadas dan Balian Maratus, tari Aruh membawa nilai kontemporer. Menyuarakan berbagai kegelisahan masyarakat Kalimantan masa kini. Dari bunyi alam, bunyi sosial, bunyi politik, hingga bunyi kepercayaan.

Suara denging terdengar melengking. Pertunjukan tari pun dimulai. Dari bangku penonton, suasana tampak mencekam. Lampu dipadamkan. Gelap. Suasana hening seketika. Kemudian dua penari menampakkan diri. Keluar dari balik tirai putih yang berjuntai tegap di sisi kiri dan kanan panggung.

Selang lima menit, suara mendenging berganti dengan suara seruling yang terdengar sayu. Satu per satu penari muncul. Berjeda waktu beberapa menit, keluar dari balik tirai putih.

Setiap penari memiliki gelang yang bertumpuk di lengan kanan dan kiri. Dihentak-hentakkan hingga menciptakan suara gemerincing.

Makin banyak penari yang masuk panggung, gemerincing gelang makin nyaring terdengar. Awalnya bersahut-sahutan. Kemudian berbunyi bersamaan. Sebelas penari itu pun melingkar sempurna di atas panggung. Gemerincing gelang makin nyaring, selaras dengan lenggak-lenggok tubuh. Gelang yang bertumpuk di tangan masing-masing penari membentuk musik alami sepanjang penampilan.

Panggung bundar berdiameter sekitar sepuluh tubuh orang dewasa itu menjadi pijakan bagi lima orang penari perempuan dan enam orang penari laki-laki yang tampil malam itu. Panggung tempat para penari melenggak-lenggokkan badan berlatarkan seperti nyiru besar, seukuran satu setengah kali jari-jari parabola.

Sejak awal para penonton disajikan tampilan panggung yang mencekam plus suasana alami serasa di alam bebas. Mereka yang hadir dan melihat pertunjukan malam itu serasa ditarik oleh penampilan para penari untuk merasakan suasana alamiah. Musik yang berdengung sendu bertemakan alam berpadu dengan ritme gerak penari yang mendayu-dayu, makin menyiratkan keselarasan penari dengan musik alami.

Pada pertunjukan tari Aruh, penonton tidak dimanjakan dengan nada-nada musik yang dominan terdengar nyaring mengiringi gerak para penari seperti pertunjukan tari kebanyakan, melainkan disajikan dengan gerakan para penari serta suara-suara seperti gemerincing gelang, desisan, desusan, desahan, dan pekikan sambil membunyikan lantunan mantra, serta hentakan kaki. Bermacam nuansa ekspresi diperagakan para penari.

Musik latar tidak mengambil peran dominan, tapi hanya sebagai pengiring gerak para penari. Bukan musik latar yang jadi acuan para penari menyesuaikan ritme gerak dan kecepatan, melainkan musik latarlah yang menyesuaikan gerak para penari.

Dari kacamata penonton, tarian ini begitu menonjolkan sakralitas dan berbau ritual. Sepanjang pertunjukan, lewat setting panggung, musik latar, dan gerak tubuh para penari yang beriringan dengan musik latar, para penonton sedikit banyak dibuat merinding.

Seperti yang dirasakan Joseph. Pemuda 17 tahun itu mengaku sangat asyik menimati pertunjukan tari Aruh malam itu meski awalnya sempat merinding.

“Awalnya sih bikin merinding, tapi setelah itu malah jadi asyik, awalnya kan tegang ya, tapi setelah makin berjalan tarian, pembawaannya kemudian sudah tidak lagi terlalu tegang,” ungkapnya.

Remaja yang mengaku menggemari seni musik itu juga mengungkapkan, musik latar yang ditampilkan menyajikan komponen musik yang sedikit tapi tetap terasa unik. Bahkan menjadi keunikan tersendiri saat pertunjukan tari lebih cenderung menonjolkan musik.

“Komponen musiknya itu sedikit, karena mereka kan lebih dominan menciptakan musik dari gerak tubuh saja,” tuturnya.

Rasa kagum juga diungkapkan Nahason (15), penonton dari sisi kiri tribun. Ia mengaku awalnya tidak menyangka bahwa Aruh ini adalah tarian, karena cukup berbeda dari pertunjukan seni tari umumnya.

“Awalnya enggak nyangka ini masuk tarian atau bukan, tapi setelah saya menonton pertunjukannya, melihat di panggung, dan menyaksikan langsung seperti apa tariannya, lalu saya simak baik-baik setiap geraknya, luar biasa sekali tarian ini, terselip makna yang dalam dari setiap geraknya,” ungkapnya.

Koreografer karya seni pertunjukan tari Aruh, Abib Habibi Igal mengungkapkan bahwa tarian yang diciptakannya bernama Aruh itu berasal dari bahasa daerah Barito dan Banjar yang berarti riuh atau ramai. Tari Aruh merupakan hasil adopsi dan adaptasi dari berbagai elemen bunyi penting dalam ritual Wadian Dadas dari Kabupaten Barito Timur (Bartim) dan Balian Meratus di wilayah Meratus Kalimantan Selatan (Kalsel), yaitu bunyi gelang, bunyi hentakan kaki, dan bunyi lantunan mantra.

“Berbagai elemen bunyi serta gerak itu kemudian dihimpun menjadi satu kesatuan gerak tari, ditampilkan ulang untuk dihadirkan dengan perspektif saat ini sesuai dengan kondisi zaman,” tuturnya.

Pria dengan minat utama dalam seni penciptaan tari itu menjelaskan, Aruh mampu menciptakan sakralitasnya sendiri. Sakralitas itu lahir dari usaha keras pihaknya dalam melakukan riset untuk bisa memahami gerak tubuh dalam ritual masyarakat Balian dan Wadian, mengunjungi, mempertanyakan ulang, hingga memaknai kembali tiap gerak dan bunyi tubuh mereka.

“Dalam riset kami, kami melepaskan elemen-elemen ritual untuk kebutuhan pertunjukan, tapi justru membawa kami pada hawa magis baru yang tidak mampu atau belum mampu kami jelaskan,” ungkapnya.

Perihal penampilan yang disajikan, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengaku punya visi untuk menyajikan kepada penonton suatu bunyi yang bergerak dan gerak yang berbunyi lewat media-media tubuh.

“Seperti vokal itu kan bisa tercipta dari hentakan kaki, bunyi gelang juga termasuk, jadi kami mencoba memaksimalkan itu dan mengolah bunyi lewat medium tersebut, adapun audio itu sifatnya hanya sebagai pengisi saja,” tuturnya.

Pemuda dengan nama asli Budi Jaya Habibi itu menuturkan, sudah sebaiknya kesenian tidak terjebak dalam romantisme masa lalu dan sakralitas dahulu. Semestinya disesuaikan dengan perkembangan zaman, seperti seni tari kontemporer yang dibawakan itu.

“Dalam karya Aruh ini, kami enggak terjebak dengan romantisme, nostalgia, dan eksotisme semata, karena yang penting dari kesenian adalah bagaimana membuatnya tidak hanya jadi tontonan tapi juga tuntunan,” jelasnya.

Keni Soeriaatmadja selaku pengamat tari yang juga hadir saat pertunjukan malam itu mengatakan, sudah sejak lama ia mengikuti perkembangan riset artistik dan budaya koreografer tari Aruh karya Abib Habibi Igal. Dari banyak konsep besar hingga akhirnya makin murni mengeksplorasi seni gerak dan bunyi.

“Ketika Abib menyederhanakan seni tari yang ditunjukkan oleh Aruh ini hanya pada gerak dan bunyi, kita bisa lebih merasakan emosi dan kejujuran dari penari yang membawakan gerak,” ucap lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung itu.

Keni telah mengikuti riset dan mencari tahu lebih dalam terkait karya tari Aruh, Wadian Dadas, dan Wadian Meratus, serta mengikuti riset yang dilakukan Abib. Ia mendapatkan nilai kearifan lokal yang sangat tinggi, yaitu premis bahwa manusia jangan berjarak dengan alam. Mesti tetap satu kesatuan dengan alam.

“Di saat Kalimantan sekarang mendapatkan lampu sorot di Indonesia, menurut saya tari Aruh ini merupakan peluang besar untuk orang Kalimantan sendiri agar mulai kembali memikirkan dan menyadari lebih dalam akar budaya dan alamnya,” tutur alumnus magister antropologi Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.

Sebagai orang yang tidak tinggal di Kalimantan, wanita berusia 43 tahun yang sedang menempuh pendidikan S-3 program kajian budaya di UNPAD itu mengaku tidak hanya melihat Kalimantan sekadar eksotisme, serangkaian masalah hutan yang sering terbakar, dan masalah eksploitasi SDA yang berlebihan, tapi juga daerah yang menyimpan potensi seniman yang berpikir kritis.

“Melalui tari Aruh ini, Abib dan seniman muda lain membantu kita bersuara, bahwa kemajuan zaman harus sesuai dengan konteks kearifan lokal, kearifan lokal juga harus bisa beradaptasi dengan wacana zaman saat ini, jadi tradisi itu bukan sesuatu yang pasif, tapi juga aktif,” tutur ibu beranak dua itu.

Wanita asal Bandung itu juga menuturkan, berdasarkan keadaan itu, ketika Kalimantan ingin maju, maka harus punya cara yang partikular dan khusus untuk bersuara dan memajukan daerah sendiri seusai konteks kebudayaan masyarakat.

Sebagai pelaku seni di Bandung, Keni mengaku kagum melihat banyaknya penonton yang datang menyaksikan pertunjukan seni tari kontemporer malam itu.

“Saya kagum dengan antusiasme teman-teman di Kalteng terhadap tarian kontemporer, mudah-mudahan tawarannya Abib dapat disambut baik dan menjadi inspirasi serta pemantik untuk kawan-kawan di sini untuk berkarya,” tandasnya. (*/ce/ala)

Exit mobile version