Site icon KaltengPos

Antara Paspor, Koper, dan Kamar

Sejumlah jemaah umrah PT Raihan Alya Tour ketika jalan-jalan sekitar Hotel Hayah Golden Hotel, Madinah.

Ikut perjalanan umrah bareng 165 orang, menyisakan berbagai cerita yang bisa dikenang. Mulai dari identitas paspor, koper beranak pinak, salah kamar, hingga kursi pesawat terpisah dengan istri dan keluarga. Lantas, bagaimana menyikapi jemaah tersebut? Berikut ulasannya.

TUJUH hingga delapan kali dicolok tes PCR memberikan kesan menggelitik. Perbedaan cara mengambil sampel sekilas menjadi perbincangan. Namun, ikhlas dan pasrah sebagai ikhtiar jemaah ingin terbang ke Tanah Suci menjadi kunci.

23 Februari terbang dari Palangka Raya menuju Jakarta. Mengawali cerita perjalanan umrah bareng PT Raihan Alya Tour pimpinan Ustaz HM Al Ghifari.

Mayoritas jemaah berusia di atas 50 bahkan 60 tahun lebih. Membutuhkan kesabaran ekstra untuk mendampingi. Ditambah ada beberapa pasangan suami istri kakek nenek, melengkapi kisah tak terpisah.

Kepolosan sejumlah jemaah diawali ketika antre masuk Bandara Tjilik Riwut. Di hadapan petugas keamanan bandara (avsec), sejumlah kakek nenek tampak apa adanya melewati pemeriksaan atau security check point (SCP). Jaket tidak dilepas. Terpaksa mundur. Masuk lagi. Mundur lagi karena jam tangan belum dilepas. Petugas terus mengingatkan. Namun terpaksa meminta mundur lagi, karena ikat pinggang belum dilepas.

Tiba giliran pemeriksaan identitas dan tiket. Pasutri kakek nenek membuktikan cintanya. Tiket suami dipegang istri dan sebaliknya. Petugas hanya bisa tersenyum dan menunggu. Jemaah yang lain mau tak mau sadar diri dan membantu. Kompak menjadi bekal utama kelancaran antrean jemaah.

Di depan eskalator, usia dan pengalaman menjadi faktor. Penulis menjumpai seorang nenek sudah naik dan menunggu sambil meminta suaminya berani naik.

“Sini tasnya saya bawakan satu. Langsung saya naik juga,” pinta penulis mengajak jemaah asal Murung Raya tersebut.

“Pegangan kanan kiri sama saja kah?” tanya pria yang dipanggil Pak Haji tersebut.

“Jangan injak yang kuning. Kai (kakek) bareng saya naik,” ajak penulis sembari memegang tas dan tangan kirinya.

Berjalan di lorong menuju pesawat, hati mulai berdebar syahdu. Semangat jemaah didukung keluarga melambaikan tangan dari luar pagar apron (parkir pesawat), menebarkan berjuta aura religi.

“Bapak ibu silakan duduk sesuai nomor kursi dulu. Saya mau hitung jumlah penumpang. Nanti boleh tukar tempat duduk,” ucap pramugari silih berganti mengingatkan jemaah yang masuk pesawat dan asal duduk bersama keluarga dan belahan jiwa.

Berangkat seorang diri, masih muda, harus rela menawarkan diri untuk tukar tempat duduk.

Tak semua jemaah memahami penggunaan smartphone android. Namun, mereka tetap membawa sebagai bentuk ikhtiar dan mematuhi pendamping umrah. Adroid digunakan untuk PeduliLindungi, EHAC, Tawakkalna, dan koordinasi selama karantina melalui grup Whatsapp dan lainnya.

Sehari karantina di Hotel Amaris Rawa Bokor Tangerang, belum menjadi topik perbincangan yang hangat.

Keesokan harinya, memasuki terminal internasional Bandara Soekarno Hatta, jemaah dibagikan tiket dan paspor.

Sedikit ketegangan, ketika paspor salah satu jemaah “hilang”. Pendamping kalang kabut. Antrean jemaah sudah separuh masuk dan lolos pemeriksaan diri (body search). Satu jemaah tertahan karena tidak pegang paspor. Jemaah lainnya panik. Saling periksa tas pinggang hingga kantong.

Usut punya usut, setelah seluruh jemaah diminta cek paspor masing-masing apabila ada ganda, akhirnya ketemu. Salah satu Jemaah sudah masuk ruang tunggu, namanya mirip dengan jemaah yang tertahan tadi, memegang dua paspor.

Pimpinan rombongan, Ustaz Ghifari dengan sigap meminta bantuan petugas bandara internasional untuk diantar menghampiri masuk ruang tunggu. Mengambil paspor. Keluar lagi memberikan paspor. Masuk lagi.

Pesawat Lion Air rute Jakarta-Madinah itu tampak besar. 165 jemaah Raihan masuk bersama rombongan tour travel daerah lain.

Lagi dan lagi. Pramugari dan pramugara disibukkan dengan penumpang asal duduk bareng suami istri dan keluarga. Tidak sesuai nomor.

“Apakah bapak bersedia pindah duduk di dekat pintu darurat?” tanya pramugari kepada sederet penumpang yang tampak masih muda.

“Apakah bapak bersedia tukar tempat duduk?” pinta pramugari lain kepada sejumlah jemaah, mencoba mengabulkan permintaan pasutri yang terpisah tempat duduknya.

Sekitar 10 jam terbang, membutuhkan kesabaran luar biasa. Semangat jemaah kakek nenek mengisi perjalanan dengan berdoa, bercerita, dan ibadah sambil duduk, menularkan kekuatan ke jemaah lainnya.

Sesaat sebelum mendarat di Bandara King Abdul Azis Madinah, pilot melalui pengeras suara mengingatkan cuaca kurang baik. Wajar. Tak ada kendala.

Jemaah yang sudah pernah umrah maupun haji dan mendarat di Madinah, mengisahkan pengalaman mendarat di Bandara Internasional Pangeran Mohammad Abdul Aziz terbilang agak mendebarkan. Posisi bandara dekat beberapa gunung. Pendaratan terasa sedikit curam. Bahkan, sejumlah jemaah yang muda pun dibuat mabuk udara alias jetlag hingga di terminal.

Perjalanan dari bandara ke Hotel Hayah Golden Madinah, diselingi mampir ke Masjid Quba untuk salat Zuhur dan Asar.

Rasa masih jetlag. Fokus ziarah dan ibadah belum sepenuhnya terasa. Hanya saja, berinteraksi pertama kali dengan orang pribumi Arab Saudi, menciptakan pengalaman tak terlupakan.

“Kurma 50 ribu rupiah. Halal. 2 biji (parfum) 10 riyal,” cuitan pedagang mencoba menggunakan bahasa Indonesia.

Karena penasaran, sejumlah jemaah mencoba beli kurma dan lainnya dengan rupiah. Ya. Rupiah laku di tanah Arab.

Sampai di hotel, jemaah disibukkan dengan perasaannya masing-masing. Ada yang cemas dan khawatir kamar terpisah dengan keluarga, saudara, pasangan, hingga rombongan daerah. Ada yang tak sabar untuk belanja di toko samping hotel. Ada yang sekadar duduk di depan hotel. Ada yang didekati tukang sapu sambil meminta sedekah.

Namun, lantaran hari pertama di Kota Madinah menunggu gelang tanda karantina, jemaah dilarang ke mana-mana, meski hotel tepat berada di samping kanan Masjid Nabawi.

Empat hari lamanya karantina. 165 jemaah dibagi sekamar rata-rata 4 jemaah. Menyajikan banyak cerita. Culture shock atau kekagetan budaya tentu saja terasa. Mulai dari cuaca, makanan, hingga cara berkomunikasi.

“Lah kok ramai. Eh salah kamar,” celetuk seorang nenek tatkala pintu kamar penulis terbuka sesaat setelah jemaah menyantap jatah makan di restoran.

Malam usai dibagikan gelang, jemaah boleh ke Masjid Nabawi, meski statusnya masih karantina. Boleh juga ke toko sekitar hotel dan lainnya. Bahkan sampai ada yang tersesat arah balik ke hotel. (bersambung/ce/ala/ko)

ALBERT M SHOLEH, Madinah

Exit mobile version