SEMUA jemaah dipanggil haji. Istilah sangat populer. Penjaga keamanan di tiap pintu masuk Masjidilharam juga familiar dengan istilah ibu, bapak, jalan, dan ayo. Itu pun disempurnakan bahasa isyarat, meminta jemaah mengurangi kerumunan dan terus bergerak.
Beda halnya dengan pedagang menyetop dan meminta masuk toko. Tukang cukur pun jeli. Seolah-olah tahu siapa yang memerlukan jasanya. Berbekal 5 kosa kata; cukur, gundul, botak, 10 riyal, mereka berani menawarkan jasa di pintu keluar Masjidilharam.
Padahal tukang cukur sangat mudah dikenali, karena wajahnya khas asal sekitar India, Pakistan, atau Bangladesh. Bahasa Inggris kurang sempurna. Bahasa Arab pun tak seperti penutur asli.“Gundul, gundul, cukur, botak 10 riyal” teriak calo potong rambut menawari sambil menghadang jalan jemaah pria keluar dari masjid usai tawaf dan sai. Penulis bersama dua jemaah PT Kalteng Pos Press, yang sejak awal berniat gundul, pun langsung ikut.
Ternyata masuk sela gedung mal dan masjid. Naik lift menuju lantai 3. Banyak barber shop alias tukang cukur. Setelah diantar, ia pergi. Pelanggan dibiarkan begitu saja antre. Untungnya, cuma satu antrean saja.
Di hadapan sang eksekutor (tukang cukur), kami pun sempat kebingungan. Lagi dan lagi, keberuntungan menghampiri. Salah satu tukang cukur ada yang gundul plontos. “My head, my hair, gundul botak like this,” ucap penulis sama-sama tidak nyambung. Bahasa isyarat menunjuk kepalanya lalu memegang rambut sendiri, menjadi kunci. Apalagi pelanggan kebanyakan pakai pakaian ihram. Masuk barber shop, tentu saja niat ibadah sunah potong rambut.
Keluar barber shop, bingung arah. Namun, sepertinya sang calo tadi ingin mengantar turun dari lantai 3 mal, kembali ke pintu keluar masjid. Saat di lift, mendengar percakapan bahasa Banjar, ia mencoba menebak Indonesia atau Malaysia. “Kami Indonesia. Antum India? tanya tiga pemuda plontos kepada sang calo.
“Oh Indonesia. Bagus. Terima kasih. No India. Eee Pakistan,” jawabnya sambil ngomong kurang jelas tentang Pakistan dan India berbeda.
Di lain tempat, pekerja konstruksi alias kuli bangunan ada yang dari Magetan, Jawa Timur. Hotel Anjum Mekah bintang 5 tempat jemaah PT Raihan Alya Tour menginap di Mekah, salah satu chef atau juru masaknya berasal dari Jawa Barat. Sopir bus pengantar rombongan, pun sangat mudah dikenali melalui Bahasa Sunda.
Pendamping atau pembimbing umroh dan haji (mutawif), mayoritas orang Indonesia. Sebut saja Ustaz Yasir Habibi asal Lombok, Ustaz Hadiri Maulayah, dan Ustaz Muhammad Bakir asal Madura. Begitu pun dengan mutawif rombongan lain, banyak yang berasal dari Makassar dan sekitarnya.
Tak hanya cerita ringan sepanjang perjalanan, pengalaman ibadah dipimpin Ustaz HM Al Ghifari pun terasa berbeda. Pekikan takbir, lantunan tahmid, untaian doa, selawat, tasbih, dan sejenisnya, diteriakkan dengan kencang dan kompak diikuti jemaah, menambah semangat ibadah tawaf (mengelilingi ka’bah) dan sai (jalan, lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah).
Tak pelak, banyak jemaah dari negara lain turut gabung rombongan. Bagaimanapun, desiran adrenalin naik turun ketika melihat ka’bah, memicu air mata keluar, menjadi puncak segala rasa.
“Bakuciakan aja kita biar kada terasa mangantuk (teriak yang kencang agar tidak mengantuk)” celetuk Ustaz Ghifari ketika memimpin rombongan, sembari mengingatkan yang muda selalu membantu jemaah yang tua.
Umroh bareng PT Raihan Alya Tour sejak 23 Februari hingga 9 Maret, dipotong 7 hari karantina Madinah, Mekah, dan Jakarta membuktikan koordinasi panjang biro penyelenggara perjalanan umrah dan haji. Setidaknya dua tahun vakum, juga memerlukan jam terbang tinggi sebagai penyedia jasa layanan umrah dan haji, agar perjalanan ibadah tetap lancar. “Terima kasih kepada seluruh jemaah. Mohon maaf, rida, dan keikhlasan apabila ada khilaf dan kekurangan kami melayani,” ucap Ghifari. (*/ce/ala/ko)