Site icon KaltengPos

Koas di Empat Fasilitas Kesehatan Menyenangkan meski Terasa Berat

dr Lira Septari

Satu lagi dokter asli Kalteng yang berhasil menyelesaikan pendidikan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Palangka Raya (UPR). Dia adalah Lira Septari. Gadis yang biasa siapa Lira ini berasal dari Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas (Gumas). Dokter muda itu lulus dengan predikat sangat memuaskan dan indeks prestasi kumulatif 3,62.

 

ILHAM ROMADHONA, Palangka Raya

 

LIRA Septari resmi menyandang gelar dokter (dr). Namanya diumumkan sebagai lulusan terbaik keempat pada pelantikan dan pengambilan sumpah dokter angkatan XXI Fakultas Kedokteran UPR, 2 Agustus lalu. Gadis kelahiran Kuala Kurun 13 September 1999 itu tak menyangka akan meraih IPK tinggi dan mendapat predikat sangat memuaskan.

“Puji Tuhan, tidak menduga bisa menjadi lulusan terbaik keempat. Karena banyak yang lebih pintar dan pandai di angkatan kami. Tapi yang pasti, saya bangga terhadap diri saya sendiri dan sangat berterima kasih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung saya dalam situasi apa pun,” kata Lira saat berbincang dengan Kalteng Pos.

Putri pasangan Luhie Y Mundjoi SE dan Rayani SE MSi itu sejak kecil sudah bercita-cita menjadi dokter. Namun untuk meraih cita-cita itu tidaklah mudah. Melewati proses panjang. Ada banyak rintangan yang dihadapi selama pendidikan.

“Karena yang saya lihat dan rasakan itu, menjadi dokter merupakan suatu berkat dan bermanfaat bagi orang-orang sekitar,” ucap perempuan yang punya hobi bermain musik dan membaca.

Gadis berusia 23 tahun itu menjelaskan, ada dua program yang harus dijalani mahasiswa fakultas kedokteran sebelum menjadi seorang dokter, yakni preklinik dan koas. Preklinik dijalankan selama 3,5 tahun. Dari tahun 2017 hingga pertengahan 2021. Sedangkan untuk program koas, Lira menyelesaikannya dalam waktu 2 tahun 4 bulan. Dimulai dari pertengahan 2021 hingga 2023.

“Sebelum saya mendaftar di fakultas kedokteran, saya pernah mendaftar ke sekolah kedinasan yakni STAN, tetapi gagal,” tutur perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di SDN 3 Kurun.

Lira menceritakan susah senangnya menjalani pendidikan kedokteran. Ada up and down-nya. Tak jarang mengalami stres karena tugas perkuliahan yang berat dan menumpuk.

“Apalagi sewaktu menjalani koas, kami sampai begadang. Sering juga dinasihati dan ditentir langsung oleh konsulen dan dokter. Puji Tuhan bisa melewati semua itu. Bagi saya, itu merupakan proses yang harus dijalani untuk menjadi seorang dokter,” tambah alumnus SMPN 1 Kurun dan SMAN 1 Kurun itu.

“Saya sangat bersyukur karena angkatan kami atau angkatan 2017 terkenal dengan angkatan yang solid. Ini menjadi hal positif. Memiliki teman sejawat yang saya anggap seperti keluarga sendiri,” imbuh gadis yang berulang tahun tiap tanggal 13 September.

Selama masa perkuliahan, anak bungsu dari dua bersaudara itu memiliki dosen/dokter favorit. Namanya dr Dewi. Dosen sekaligus pembimbing akademik (PA) prekliniknya. Dokter Dewi dikenal mahasiswa sebagai dosen yang punya gaya mengajar santai dan merupakan sosok yang baik.

“Karena beliau adalah pembimbing PA saya, jadi selama saya konsul dan mengurus KRS, beliau sering memperhatikan saya. Selalu menanyakan soal kendala perkuliahan. Sering juga beri motivasi dan masukan untuk saya,” ungkap Lira.

Selama menjalani koas, Lira ditempatkan di empat instansi atau fasilitas kesehatan, yakni Rumah sakit dr Doris Sylvanus, Rumah Sakit Jiwa Kalawa Atei, Rumah Sakit Bhayangkara, dan Puskesmas Panarung. Banyak pengalaman dan pembelajaran didapatkan selama menjalani koas.

“Selama menjalani koas, langsung berhadapan dengan pasien. Saya belajar anamnesis, pemerikasaan pasien, pemeriksaan fisik, dan follow up pasien. Sering juga ditanya-tanya sama konsulen, lalu ketemu langsung dengan pasien. Ada jadwal jaga sore dan jaga malam. Menurut saya koas lebih menyenangkan meski cukup berat menjalaninya,” katanya.

Selama menjalani koas, wanita berparas cantik itu tertarik dengan bidang bedah. Karena bidang ini tidak cukup dengan teori. Perlu lebih banyak praktik untuk mempertajam skill. Apalagi Lira lebih tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan praktik dan skill.

“Sewaktu koas saya diberi beberapa kesempatan untuk hecting, tetapi tetap dibimbing dokter, tidak dilepas begitu saja. Saya tertarik pada bidang bedah, kulit, dan kelamin. Kalau disuruh melanjutkan pendidikan dokter spesialis, saya pasti pilih bidang itu,” ungkapnya dengan percaya diri.

Lira tertarik pada bedah, kulit, dan kelamin karena di UPR untuk bidang kulit dan kelamin ini berada di stase minor, sedangkan bedah berada di stase mayor. Stase kulit dan kelamin tidak hanya membahas tentang penyakit kulit, tetapi juga banyak membahas terkait penyakit kelamin. Apalagi dewasa ini banyak ditemukan kasus penyakit menular pada kelamin.

“Itulah yang membuat saya tertarik mendalami bidang-bidang tersebut. Bahkan teman saya pernah bilang bahwa saya cocok di bagian bedah, kulit, dan kelamin,” terangnya.

Saat menjalani koas di RSJ Kalawa Atei, Lira mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan.

“Di sana kami bukan mengobati pasien, kami justru dituntut untuk melakukan anamnesis (wawancara) dan pemeriksaan fisik pada pasien-pasien yang mengalami gangguan jiwa. Jadi lebih ke follow up dan anamnesis untuk mengetahui status psikiatri pasien. Itu juga pengalaman pertama saya berbincang langsung dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Pertama kali ngobrol, campur aduk perasaan saya. Ada senang, ada takutnya juga,” cetusnya sambil tertawa.

Tantangan untuk menganamnesis atau mewawancarai ODGJ yaitu mengajak ngobrol secara lebih mendalam. Itu dilakukan untuk mengetahui penyebab gangguan jiwa pada pasien bersangkutan. Butuh pendekatan khusus. Cara penyampaian dan nada bicara perlu diperhatikan.

“Karena orang seperti mereka kadang bisa saja mengamuk secara tiba-tiba. Jadi taktik pendekatannya, harus ngomong secara perlahan. Tetapi ada juga yang tidak mau ngomong atau menjawab. Nah, saya follow up terus tiap pagi, barulah pasien bersangkutan mau ngomong,” ungkapnya.

Selama perkuliahan, Lira juga aktif di bidang organisasi. Terutama di Asian Medical Students Association (AMSA) dan BEM Fakultas Kedokteran. Di BEM, ia menjabat sebagai Kepala Departemen Pengabdian Masyarakat periode 2019-2020. Sementara di AMSA, Lira pernah menjadi koordinator, yakni koordinator divisi community outreach (CO) AMSA periode 2018-2019.

“Divisi tersebut merupakan divisi yang sering terjun ke lapangan. Seperti penyuluhan maupun pemeriksaan kesehatan di Bundaran Besar saat CFD dan di sekolah-sekolah,” bebernya.

“Untuk menjadi dokter itu sebuah perjalanan dan tantangan. Kalau nanti sudah menjadi dokter, akan memberikan manfaat bagi orang banyak,” ucap Lira sekaligus pesannya kepada adik-adik tingkat yang masih menempuh pendidikan maupun kaum muda yang tertarik menjadi seorang dokter. (*/ce/ala)

Exit mobile version