SAAT saya (penulis, red) menyambangi barak yang berseberangan dengan musala di Jalan Krakatau, Rohaimi dan Widiah tengah sibuk membuat adonan kue. Menaburi cookies di atas adonan yang sudah terbentuk. Pasutri ini merupakan penyandang disabilitas daksa polio. Dalam keterbatasan fisik, mereka tetap menekuni pekerjaan sebagai pedagang kue kering.
Awal 2023, mereka mulai menjual kue kering. Belajar autodidak membuat resep kue hanya dengan menonton YouTube. “Beberapa kali gagal,” ucap Widiah, beberapa waktu lalu.
Tekad keduanya begitu kuat. Menolak untuk menyerah. Sampai akhirnya mendapat hasil olahan yang bisa dijual. Kemudian keduanya menyasar tempat-tempat keramaian. Alat bantu papan segi empat beroda di tiap ujung menopang tubuhnya. Menjajakan berbagai jenis kue kering. Seperti kue nastar, kastangel, choco chips, dan choco nutela.
Tiap hari Minggu sang suami berjualan di lokasi car free day (CFD). Tidak tiap hari kue olahannya terjual habis. Mereka bisa memperoleh untung lebih ketika ada event-event besar. “Per bulan rata-rata (omzet, red) Rp1 juta. Kalau ada event, biasanya penjualannya lebih besar,” katanya.
Pasutri ini pernah mengikuti pelatihan selama setahun di asrama khusus penyandang disabilitas di Solo, Jawa Tengah. Dimulai 2008 hingga 2009. Selama di Solo, Widiah mengaku mendapat banyak bekal ilmu untuk terus produktif. Dapat motivasi bimbingan rehabilitasi mental dan fisik, serta digembleng untuk menjadi pribadi yang mandiri. Pembentukan mental benar-benar ditekankan. “Kalau punya keahlian, tapi jika mental berhadapan dengan masyarakat tidak ada, ya percuma,” tutur ibu dua anak itu.
Di Kota Solo itu, Widiah mulai jatuh cinta dengan Rohaimi. “Bisa dibilang cinlok,” seloroh Widiah.
“Kami nikahnya di Jogja setahun kemudian, dinikahkan sama kepala panti,” timpal Rohaimi, pria kelahiran Mandomai, Kabupaten Kapuas. “Hamil anak pertama pas gunung Merapi meletus. Kami terpaksa mengungsi, karena lokasi panti berselimut abu,” jelas Rohaimi.
Tahun 2011, anak pertamanya lahir. Diberi nama Nuril. Kemudian keluarga kecil itu memutuskan hijrah ke Kapuas, Kalteng. Mereka numpang di rumah orang tuanya.
Menurut cerita Rohaimi yang notabene warga asli di sana, masyarakat setempat sedikit tidak percaya terhadap para penyandang disabilitas. “Karena di Kapuas, kalau bulan puasa, banyak orang yang minta-minta, padahal sebenarnya mereka itu normal,” jelasnya.
Itulah yang membuat masyarakat tidak percaya pada penyandang disabilitas. “Padahal kami mau kerja, tetapi tetap dianggap pengemis,” ucapnya.
Widiah juga mengaku tidak sekali dirinya mengalami diskriminasi. Saat tinggal di Kapuas, pasutri ini memulai usaha dengan berjualan aksesori. “Bikin gantungan kunci dari bantuan pendidikan di Solo, seperti manik-manik, tang, dan peralatan kerajinan tangan lainnya,” tuturnya.
Mereka memanfaatkan bahan dan kemampuan yang ada untuk menghasilkan produk yang bisa dijual. Tetap semangat untuk menghasilkan berbagai produk kerajinan tangan. “Kadang dibuat jadi bantal sandaran mobil, gantungan kunci, dan yang lain-lain, hasil jualan yang terkumpul digunakan untuk beli aksesori untuk menambah barang jualan berkeliling,” ungkap wanita berusia 40 tahun itu.
Yang namanya berusaha, tidak semua sesuai ekspektasi. Menurut pengakuan Rohaimi, beberapa kali mereka gagal. “Sempat jualan tempat tisu, tapi enggak bertahan lama, karena kurang laku,” tuturnya.
Tahun 2012, pasutri ini pindah ke Basarang, tepatnya di Desa Meluin, membawa serta anak semata wayang mereka. “Kami latihan menjahit,” ungkap Widiah. Sejak itu, mereka sering diundang ke Palangka Raya untuk mengikuti event, baik pameran ataupun kegiatan lain. “Saat itu kami belum tertarik untuk pindah ke Palangka Raya,” ujar Rohaimi.
Keluarga kecil ini pindah ke Palangka Raya tahun 2014. Tinggal di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW). Dua tahun kemudian, pindah ke kontrakan di Jalan Poncowati. Memulai usaha berjualan kerupuk dan beberapa dagangan lain. Untuk memudahkannya saat berjualan, Rohaimi sengaja mendesain motornya. “Dibikin ada boksnya di samping, biar bisa naruh barang jualan dan nyaman duduknya,” kata Rohaimi.
Selanjutnya tahun 2017 mereka pindah ke Jalan Karakatau, setelah meminta izin ketua RT setempat untuk menempati salah satu gudang yang tidak terpakai. Setelah mendapat persetujuan, barulah mereka memindahkan barang-barang rumah tangga. Pada tahun yang sama pula, Widiah melahirkan anak kedua, Raskia, secara caesar di RSUD dr Doris Sylvanus.
Pemilik nama lengkap Widiah Kando ini mengatakan, ada banyak kisah kehidupan yang mereka lalui selama beberapa tahun ini. Banyak usaha yang mereka tekuni untuk bisa menyambung hidup keluarga. “Kami enggak mau ngerepotin orang, selagi kami mampu, apa pun itu kami lakukan,” ujarnya.
“Kamu keluar atau enggak keluar rumah akan tetap begitu, enggak akan bisa berubah, memang kalau kamu di rumah bisa jalan, enggak keluar enggak bisa jalan,” timpal Rohaimi sembari mengingat kembali pesan ayahnya.
Berbanding terbalik dengan Widiah, yang justru tidak mendapat dukungan dari keluarga.
Menurut Miskanah, salah satu rekannya, Widiah tidak banyak mendapat support dari keluarga maupun lingkungan tempat asalnya. “Tapi Widiah punya tekad yang besar untuk berkembang di tengah masyarakat,” ucapnya.
Saat ini usaha yang digeluti pasutri ini dibantu pemerintah daerah, Ditlantas Polda Kalteng, dan Yayasan Kemala Bhayangkari. “Dapat oven sama cooper dari ibu Ima Handoyo,” katanya. “Ibunya juga mau bantu biayai sekolah si ade (anak bungsunya, red),” lanjutnya.
Menurut Widiah, sejauh ini anaknya tidak pernah mengalami diskriminasi dari teman sebaya.
Ditanya mengenai keinginan yang hingga saat ini belum tercapai, Widiah menyebut rumah pribadi.
Pasutri ini benar-benar sadar bahwa cita-cita itu tidak mudah digapai.
“Kondisi seperti ini saja sudah bersyukur, dapat tempat tinggal gratis, tidak berani untuk mengajukan kredit rumah, takutnya enggak mampu bayar bulanan, soalnya ekonomi kami kurang stabil,” ucapnya. (ce/ram)