Site icon KaltengPos

Pameran Seni Instalasi di Rumah Tjilik Riwut, Jeritan Keresahan Disuarakan

Huda menampilkan pertunjukan monolog saat pameran Unjuk Rasa Menjadi Hantu oleh Borneo Art Play di Rumah Tjilik Riwut, Senin (17/2/2025). ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

Di dalam ruangan cagar Rumah Tjilik Riwut, cahaya temaram menyinari instalasi seni yang berjejer. Seakan menjadi saksi dari keresahan yang ingin disuarakan. Pameran seni instalasi ini bukan sekadar unjuk kreativitas, melainkan panggung ekspresi bagi para seniman teater yang ingin menyampaikan pesan mendalam tentang kesehatan mental.

 

DHEA UMILATI, Palangka Raya

 

DIBUKA dengan lantunan musik oleh para seniman, suasana menjadi syahdu dan menggugah. Penampilan teater dimulai dengan penampakan karya-karya di sebelahnya, yang dipamerkan tampak seperti bayangan yang selalu mengikuti, sesuai dengan tajuk yang diangkat Unjuk Rasa Menjadi Hantu. Tajuk ini diangkat bukan tanpa alasan, melainkan refleksi dari pikiran-pikiran yang tak terdefinisi, yang menghantui manusia dalam diam.

Abdul Khafidz Amrullah, seorang seniman teater yang menjadi inisiator acara menjelaskan, pameran ini lahir dari keresahan akan pentingnya kesehatan mental.

“Kadang kita tidak bisa mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, tetapi kita bisa menuangkannya dalam karya. Sebagai seniman, kami memiliki privilese untuk itu,” ucapnya saat berbincang dengan para penonton, Senin (17/2).

Pameran ini juga menjadi ruang eksplorasi bagi lintas disiplin seni. Para seniman teater mencoba mendobrak batasan dengan menciptakan instalasi seni yang biasanya identik dengan seni rupa. Menurut Khafidz, unsur artistik dalam teater, seperti setting panggung dan tata cahaya, memiliki kedekatan dengan seni instalasi.

“Kami ingin melihat bagaimana teater bisa bertransformasi ke dalam bentuk seni lain,” tambahnya.

Salah satu karya yang menarik perhatian adalah sebuah instalasi berbentuk rumah. Cahaya yang diproyeksikan dari belakang menciptakan efek bayangan yang rumit. Bukan dari kayu atau bata, melainkan dari kawat bendrat, bahan yang sederhana tetapi penuh makna bagi sang seniman.

Pemilihan kawat bendrat dalam karya ini bukan tanpa alasan. Bahan tersebut memiliki kedekatan emosional baginya, sekaligus merepresentasikan sesuatu yang keras, lentur, tetapi juga bisa membentuk struktur yang bermakna. Melalui permainan cahaya, bayangan yang terbentuk di tembok justru menciptakan rumah lain yang tak kasat mata, seperti pikiran-pikiran yang terus membayangi kehidupan seseorang.

Dalam pameran ini, rumah menjadi simbol perasaan yang kompleks, tentang kekhawatiran dan ketidakpastian masa depan yang selalu membayangi.

“Rumah ini terlihat sederhana, tetapi jika kita membayangkannya lebih dalam, justru menjadi sesuatu yang rumit. Sama seperti kekhawatiran akan masa depan yang terus menghantui,” tuturnya.

Instalasi ini juga menjadi bagian dari eksplorasi lintas disiplin seni. Sebagai seniman teater, lelaki kelahiran Sampit itu ingin mengaburkan batas antara seni pertunjukan dan seni rupa. Ia membuktikan bahwa teater tidak hanya berkutat pada panggung dan aktor, tetapi juga bisa diwujudkan dalam bentuk instalasi yang menghadirkan cerita tanpa dialog.

Musik yang mengiringi pameran ini pun memiliki kisah tersendiri. Salah satu lagu yang akan dirilis berjudul Menjadi Hantu, terinspirasi dari pengalaman pribadi sang empu lagu yang pernah mengalami bullying pada masa kecilnya. Trauma yang membekas itu dituangkan dalam bentuk lagu, menjadi cara untuk berdamai dengan masa lalu.

Lebih dari sekadar pameran, acara ini juga dilengkapi dengan pertunjukan seni, talk show, dan diskusi. Aktivasi ruang cagar budaya ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi lebih banyak orang untuk mengekspresikan diri dan berbagi cerita.

“Harapan kami, ruang-ruang seni seperti ini lebih banyak di Palangka Raya dan bisa menjadi tempat bagi siapa saja untuk menuangkan perasaan. Bukan hanya seniman, tetapi juga siapa pun yang merasa perlu didengar,” ungkapnya.

Sementara itu, salah satu karya lain yang menarik perhatian adalah aquarium, karya instalasi yang diciptakan oleh seniman bernama Vera.

Karya ini berangkat dari pengalaman pribadinya yang tertuang dalam naskah Sebuah Kelahiran, skripsi yang ia tulis saat kuliah.

Naskah tersebut menggambarkan perjalanan hidup seorang anak perempuan yang lahir dari keluarga disfungsional, yang tercerai-berai, dan bagaimana pengalaman itu membentuk dirinya.

Gadis berpakaian serbahitam itu mengungkapkan, aquarium adalah simbol dari pikirannya sendiri, tentang bagaimana pikiran bisa menjadi sesuatu yang terus menghantui seseorang. Ia menggunakan beling, kaca, dan air sebagai elemen utama dalam instalasinya.

“Kadang kita seperti ikan dalam aquarium. Kita tidak bisa berbicara, hanya bisa menyaksikan segala sesuatu terjadi di sekitar kita,” ungkapnya.

Sebagai anak bungsu, Vera tumbuh dengan menyaksikan banyak hal dalam keluarganya, tanpa bisa berbuat banyak. Ia membandingkan dirinya dengan ikan dalam aquarium yang hanya bisa mengamati, tanpa dapat menyampaikan apa yang dirasakannya.

“Sayangnya, aku tidak mendapat perhatian seperti ikan dalam aquarium yang dirawat penuh kasih sayang. Aku hanya bisa melihat, mengamati, dan menyimpan semuanya dalam hati,” tambahnya.

Beling menjadi elemen yang sangat personal dalam karya ini. Saat menulis naskah, gadis kelahiran Banjarmasin ini sering kali merasa perlu mundur ke belakang, menghadapi ketakutannya, dan mendamaikan dirinya dengan masa lalu.

“Dahulu aku selalu ingin menjauhi ketakutan itu, tetapi akhirnya aku memilih untuk mendekatinya, mencoba berteman dengan semua yang menghantuiku. Beling menjadi simbol dari perjalanan itu,” jelasnya. (*/ce/ala)

 

Exit mobile version