Pada usianya yang masih belia, Syarifah Aghni Mufida telah menorehkan pencapaian luar biasa. Santri kelas 6 di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Hidayatul Insan ini telah menghafal lima juz Al-Qur’an. Bukan karena paksaan, bukan juga karena kewajiban dari orang tua, tetapi murni karena dorongan hatinya.
DHEA UMILATI, Palangka Raya
MOTIVASI utama Aghni adalah sang kakak yang terlebih dahulu menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Melihat bagaimana kakaknya mampu menghafal Al-Qur’an dengan tekun, Aghni pun terinspirasi.
“Aku pengen seperti kakak, hafal Al-Qur’an dan bikin bangga orang tua,” ucapnya penuh semangat saat berbincang dengan Kalteng Pos, Rabu (5/3/2025).
Sebagai anak yang masih berusia 12 tahun, godaan bermain tentu menjadi tantangan. Aghni mengakui, menghafal Al-Qur’an tidak selalu mudah. Ada saat-saat di mana ia ingin bermain lebih lama bersama teman-teman asrama.
“Kalau lagi fokus, enak menghafal, tetapi kalau sudah kepikiran main, jadi susah,” ungkapnya sembari tertawa kecil.
Meski demikian, ia tetap berusaha menjaga keseimbangan antara belajar dan bermain. Baginya, yang terpenting adalah disiplin dalam mengatur waktu. Tiap hari ia menyisihkan waktu khusus untuk murajaah (mengulang hafalan).
“Dalam sehari minimal mengulang dua setengah lembar,” tuturnya.
Menurut Aghni, menjaga hafalan justru lebih sulit daripada menghafal ayat baru. “Kalau sering main, kadang jadi malas murajaah,” ucapnya jujur.
Namun, ia sadar bahwa tanpa pengulangan, hafalan bisa hilang dari ingatan.
“Aku takut kalau hafalanku hilang, jadi sebisa mungkin tetap murajaah tiap hari,” akuinya.
Selain godaan bermain, tantangan lain yang dihadapi adalah rasa kantuk. Kadang kala saat menghafal, matanya terasa berat, membuatnya kehilangan fokus. Untuk mengatasi itu, ia harus mencuci muka berkali-kali agar tetap segar.
“Bisa beberapa kali izin ke belakang buat cuci muka, takut ketiduran pas sementara menghafal,” jujurnya.
Kebosanan pun pernah menghampirinya. Namun, ia punya cara untuk mengatasinya. Salah satunya dengan membaca buku. Aghni gemar membaca komik tentang kisah para nabi.
“Membaca itu bikin rileks, jadi kalau sudah puas baca, aku lanjut murajaah lagi,” ungkapnya.
Tidak seperti kebanyakan anak seusianya yang masih tinggal bersama orang tua, gadis kecil kelahiran Samba, Katingan ini harus tinggal di asrama. Ini adalah pilihannya sendiri untuk mondok di pesantren. Namun, bukan berarti ia tidak merasakan rindu pada keluarga.
“Berat sih awalnya, tetapi ini yang aku mau sendiri, jadi aku harus terbiasa,” terangnya.
Meski jauh dari keluarga, ia tetap bersemangat menjalani hari-harinya. Baginya, ini adalah pengorbanan yang harus dilakukan demi impiannya menjadi seorang hafizah.
Meski memiliki cita-cita menjadi dokter, gadis kelahiran 2012 ini tidak ingin meninggalkan impiannya sebagai seorang hafizah. Ia ingin menyeimbangkan keduanya.
“Aku pengen jadi dokter biar bisa menolong orang yang sakit,” ucapnya penuh harap.
Baginya, menjadi hafizah bukan sekadar cita-cita, melainkan sebuah keinginan yang tumbuh dari hati.
“Kalau jadi dokter itu cita-cita aku, tetapi menjadi penghafal Al-Qur’an itu keinginan aku, karena aku pengen membanggakan orang tua,” pungkasnya. (bersambung/ce/ala)