Lina benar-benar seorang pejuang keluarga. Bertubi-tubi cobaan datang. Dengan keteguhan hati, dan kekuatan cinta kepada buah hatinya, lika-liku kehidupan itu bisa dilewati.
ANISA B WAHDAH, Palangka Raya
CERITA ini dimulai dari 14 tahun yang lalu. Mengisahkan seorang perempuan bernama Herlina Iswahyudi yang antimendengar kata-kata menyerah. Arek Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Bekerja menjadi sales promotion girl (SPG) di salah satu merek kosmetik luar negeri. Hidup di kota metropolitan dengan berpenghasilan yang lumayan. Tidur di ruang ber-AC dengan kasur empuk. Membangun keluarga kecil bahagia bersama suami dan kedua anak perempuannya.
Suatu pagi. 11 November 2009. Bak petir menyambar. Suami tercinta mendadak meninggal. Pagi itu, tak dirasa lagi hembusan napasnya berusaha membangunkan. Suaminya tak bangun lagi dari tidur. Padahal, tak ada riwayat penyakit atau keluhan kesehatan. Kematian suami yang secara tiba-tiba membuat Lina, sapaan akrab Herlina Iswahyudi, alami depresi berkepanjangan. Berhenti dari tempatnya kerja. Usaha suami bangkrut karena tak dikelola. Kehidupan yang serba cukup berbalik menjadi serba kurang.
Sampai pada tahun 2012, tiga tahun pascakematian suaminya, Lina memutuskan meninggalkan Kota Pahlawan atas saran dokter psikologi yang menangani depresinya. Memilih Kota Palangka Raya sebagai tempat tujuan. Harta benda sebagian dijual. Terkumpul Rp2 juta. Beli tiga lembar tiket pesawat. Dua anaknya, Nabilla Ayu Cahyanti masih duduk di kelas II SMP dan Marsheila Aulia Putri Cahyanti kelas III SD turut dibawa. Tersisa Rp200 ribu saat menginjakkan kaki di Palangka Raya.
“Saat itu saya hanya membawa baju, perlengkapan sekolah anak-anak,”ungkapnya saat berbincang dengan Kalteng Pos, beberapa hari lalu.
Juli 2012. Ia meninggalkan Surabaya tanpa sepengetahuan satu orang pun.Memulai kehidupan dari nol dan berjuang bersama kedua anaknya yang hidup terbalik dengan sebelumnya di Surabaya. Tidur di barak, tanpa AC, tanpa kasur, tanpa kendaraan, makan pas-pasan. Anaknya harus menerima kenyataan, mencari ilmu di sekolah yang kualitasnya jauh berbeda seperti saat sekolah di Surabaya.
Empat tahun merangkak. Petir yang pernah menyambar empat tahun lalu itu menyambar lagi. Lebih menggelegar. Tahun 2016, Lina dinyatakan menderita kanker payudara. Di tengah perekonomian keluarga belum membaik, dipaksa harus berjuang untuk tetap hidup.
“Pada November di tahun 2015, hasil USG menunjukkan saya memiliki tumor dan harus diangkat. Namun, saat itu belum ada BPJS dan belum ada dokter onkologi di Palangka Raya, operasi harus dilakukan di Surabaya. Terkendala biaya, saya menunda operasi,” katanya saat dibincangi di rumahnya Jalan Samudin Aman IV B Nomor 12, Palangka Raya.
Ia akhirnya memiliih terapi pengobatan secara herbal, dengan harapan tumor di payudaranya dapat segera sembuh. Namun, akibat konsumsi herbal yang tidak tertakar, tumornya dengan cepat menjadi kanker. Awal 2016, ia sudah merasakan tidak nyaman pada payudaranya. Benjolan di payudaranya sudah tidak lagi bergerak, berbeda dengan saat masih tumor yang terkadang benjolan itu masih bergerak saat dipegang.
Saat itu, ia sering merasa kesakitan dari payudara hingga ke ketiak dan lengan sebelah kirinya. Ia yakin, tumor di payudaranya sudah menjadi kanker dan harus segera di tangani. Ia segera mengurus BPJS kesehatan dan melakukan pemeriksaan laboratorium. September, ia dinyatakan positif kanker payudara karsinoma sinistra kiri dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening stadium 3B.
“Kanker itu kan sampai stadium 4, saat itu saya sudah stadium 3B dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening,” kisah perempuan yang lahir pada 3 April 1977 ini.
Wajah kedua anaknya menjadi energi untuk menjalani cobaan hidup bertubi. Lina tak mau depresi lagi. Lina terus menerima energi dari kedua anaknya yang membuatnya tak pernah kehilangan kekuatan. Tak ada kata menyerah terucap.
Oktober 2016, ia menjalani kemoterapi perdana dan Feburari 2017 jalani operasi. Terpaksa, payudara sebelah kiri harus diangkat. Juni 2017 kemoterapi terakhir dan lanjut radiasi di Surabaya selama tiga bulan sebanyak 26 kali. Sejak 2017 ini kankernya tidur dan dinyatakan aman saat pemeriksaan tahunan pada 2018.
“Tidak ada kanker dinyatakan sembuh dan akan ada seumur hidup, kanker itu hanya pingsan dan bisa kambuh lagi kemungkinan sepuluh tahun kemudian, kita yang harus menjaga agar kanker itu tidak bangun,” katanya.
Lina menjelaskan, ada dua macam kanker. Pertama kanker akibat hormon dan kedua kanker yang tidak diketahui penyebabnya, misal saja dari gaya hidup, keturunan atau yang lainnya. Ia menderita kanker tipe kedua yang tidak diketahui penyebabnya. Ia berpendapat, kanker yang dideritanya akibat penyakit hati yakni depresi yang dialaminya cukup lama.
“Untuk kasus seperti saya ini ada satu obat yang harus dikonsumsi dan tidak ditanggung BPJS, saya tidak mengkonsumsi itu, saya hanya menjalani kemoterapi. Dokter mengatakan, tubuh saya bisa menerima itu suatu keberuntungan,” jelas perempuan 46 tahun ini.
Bersyukur sejak dinyatakan aman pada 2018 itu hingga saat ini kanker payudaranya masih tidur. Kanker dengan tipe yang tidak diketahui penyebabnya memang rentan kambuh. Lantaran, untuk kasus ini ketika dinyatakan aman memerlukan kontrol hanya satu tahun sekali atau ketika ada keluhan. Berbeda yang disebabkan hormon harus kontrol setiap satu bulan sekali.
“Bersyukur hingga saat ini saya masih dinyatakan aman. Untuk menjaganya agar tidak kambuh, hanya perlu menjaga hati,” tegas Lina.
Ia menceritakan, perjalanan melawan kanker yang dideritanya sungguh luar biasa. Dilatarbelakangi hidup hanya bertiga dengan anak tanpa suami dan saudara,dan menjadi tulang punggung untuk dua anaknya, menjadikan energi melawan kanker. Tak ada kata putus asa. Bahkan, di tengah ia mengalami kesakitan dan menjalani perawatan, ia tetap harus bekerja sekuat tenaga untuk anak-anaknya.
“Saya berangkat operasi sendiri, kemoteraspi juga sendiri, tidak ada yang menemani. Di sisi lain saya masih harus bekerja untuk menghidupi anak-anak saya. Saya harus bisa melawan kanker ini demi anak-anak saya. Mereka sudah tidak memiliki ayah, apakah mereka juga harus hidup tanpa ibu? Sedangkan mereka masih harus sekolah dan membutuhkan biaya,” bebernya.
Dengan mengusap air mata, Lina menceritakan perjuangan bersama anak-anaknya dan juga melawan kankernya. Pertama kali datang ke Kota Palangka Raya, dua minggu kemudian ia bekerja di salah satu salon kecantikan. Selain itu, ia juga bekerja menjual pakaian dan makanan.
“Hasil saya bekerja di salon hanya cukup untuk biaya les anak saya. Sejak pindah dari Surabaya anak saya harus sekolah di lembaga yang tidak sebaik di Surabaya, untuk itu saya memilih les untuk anak saya. Pendidikan menjadi nomor satu untuk saya, untuk itu saya harus berjuang melawan kanker ini demi anak-anak saya. Kini anak saya yang pertama sudah lulus kuliah dari ITS dan anak kedua tengah kuliah di UPR,” tegas perempuan yang juga sebagai salah satu pendiri Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC) Kalteng ini.
Saat car free day (CFD) pun, Lina harus berjualan demi menambah penghasilan, meski saat itu masih pemulihan pascamenjalani kemoterapi. Seharusnya, penderita kanker harus istirahat pascakemoteraapi. Tapi tidak dengan Lina, ia harus tetap mengais rezeki demi anak-anaknya. Demo pendidikan anak-anaknya.
“Hingga menderita kanker saya masih tetap bekerja di salon dengan kondisi tanpa rambut di kepala. Saya bekerja dan berkehidupan sehari-hari dengan kondisi kepala gundul. Setelah dokter menyatakan saya harus kemoterapi dan konsekuensinya rambut akan rontok dan gundul, keesokan harinya saya gundul. Bukan tanpa alasan, saya tidak ingin melihat rambut saya perlahan rontok dan terlihat sakit. Saya harus kuat dan jangan merasa sakit,” beber Lina.
Lina berhenti bekerja di salon di tengah menjalani radiasi di Surabaya. Sepulangnya dari Surabaya, mencoba menekuni berjualan baju. Berjalan beberapa waktu, ujian untuknya kembali datang. Pengiriman barangnya dari Bali mengalami kebakaran dan barangnya dengan modal belasan juta hangus terbakar.
Lina masih tak menyerah. Tak mau anaknya sampai putus mengejar cita-cita. Kemudian, dengan modal secukupnya, Lina berjualan di salah satu sekolah. Tidak lama kemudian, pandemi Covid-19 melanda. “Saya harus berhenti berjualan karena sekolah diliburkan dengan waktu yang cukup lama,”ungkapnya.
Lina tetap kuat. Mensyukuri hidup dan mengambil hikmah dari bertubi-tubi cobaan. Lina kembali bangkit dengan membuka usaha menjahit hingga saat ini. Bermodal mesin jahit dari temannya dan belajar ilmu menjahit dari youtube. Lina belajar mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan menjadikan menjahit sebagai ladang rejekinya.
Lina bangga karena sudah bisa bangkit menjalani lika-liku kehidupan hingga perjuangan melawan kanker ini. Lina pun tidak ingin saat akan meninggal menyusahkan orang. Apabila memang harus meninggal karena kanker payudara ini, setidaknya ia sudah berjuang untuk hidupnya dan untuk hidup anak-anaknya.
“Jangan sampai ketika saya akan meninggal menyusahkan orang. Jika memang saya harus meninggal setidaknya ada yang dibanggakan anak-anak saya, bahwa ibunya seorang pejuang,” ujar perempuan yang juga sebagai pengurus di CISC Kalteng ini.
Untuk itu, Lina juga memberikan motivasi kepada pejuang lovepink atau rang-orang di luar sana agar semangat melawan kanker payudara. Membandingkan dengan dirinya, di tengah kondisi kesakitan dan hidup tanpa saudara, ia bisa bangkit dan melawan sakit itu. ketika penderita kanker yang lainnya mungkin mengadapi penyakit ini didampingi suami atau saudara, tetapi tidak dengan dia.
“Kalian yang saat ini mengidap kanker, ayo semangat melawan dan berjuang, saya yang tanpa suami dan saudara semangat untuk berjuang. Kalian pasti bisa,” serunya. (ram)