Site icon KaltengPos

Di Balik Saranghaeyo

Ilustrasi

Oleh Saras Dewi

Demam budaya Korea melanda ke segala penjuru. Kita diperkenalkan dengan berbagai produk kebudayaan Korea: film, musik, makanan, fashion, produk kecantikan, dan sebagainya.

EKSPRESI berbahasa masyarakat Indonesia pun turut terpengaruh sambil membentuk gestur tangan yang meniru bentuk jantung mungil, kemudian tersenyum dan berkata, ”Saranghaeyo!” Kultur pop Korea tengah digandrungi tidak saja oleh anak-anak muda, tapi dari berbagai usia dan latar belakang sosial. Masih ingat Gangnam Style, lagu hit yang dibawakan artis Korea Selatan Psy? Lagu ini diluncurkan pada tahun 2012 yang kemudian melesat mendominasi tangga lagu maupun platform digital. Dunia digemparkan dengan koreografi ala menunggangi kuda yang kemudian menjadi viral. Gerakan ini diikuti dengan lirik yang menyebutkan secara renyah, ”Oppa, Gangnam style!”. Saat ini musik populer Korea atau K-Pop masih berlanjut dengan ketenaran beberapa grup generasi baru seperti BTS (Bangtan Sonyeondan) dan Blackpink.

Euforia budaya pop Korea tidak terjadi begitu saja. Secara kritis kita dapat menelusuri bagaimana mesin industri budaya di Korea Selatan bergerak. Ada rancangan yang bekerja di balik ingar-bingar fanatisme terhadap budaya Korea. Proses ini telah berlangsung selama lebih dari dua dekade dan dorongan industri budaya ini sangat erat dengan pengaruh globalisasi juga kepesatan teknologi digital. Dal Yong Jin, seorang profesor ilmu komunikasi, dalam karyanya yang berjudul The Korean Wave menjelaskan secara mendetail sejarah gelombang budaya Korea yang kini mendunia. Gelombang Korea sering juga disebut sebagai hallyu. Kata ini kali pertama digunakan oleh Kementerian Budaya dan Turisme Korea Selatan pada tahun 1999 ketika mereka berupaya memopulerkan karya-karya musik pop Korea ke berbagai negara. Tiongkok salah satunya. Hallyu atau lagu-lagu dari Korea melekat menandai suatu kiat penyebaran budaya Korea bahkan hingga saat ini.

Dal Yong Jin menguraikan secara lebih lanjut bahwa ia membedakan antara Hallyu 1.0 (tahun 1997–2007) dengan Hallyu 2.0 (semenjak tahun 2008). Walaupun ada kesamaan karakteristik pada karya-karya yang diproduksi, pada Hallyu 2.0 tidak dapat dimungkiri dahsyatnya medium digital dalam mengantarkan gelombang Korea ke seluruh dunia. Pemerintah Korea Selatan menyadari pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh popularitas drama Korea seperti Autumn Fairy Tale (2000) dan Winter Sonata (2002) sebagai produk ekspor mereka. Pada gelombang kedua muncul grup band K-Pop seperti Big Bang dan Girl’s Generation yang juga berhasil merebut industri musik di Asia. Globalisasi berperan besar dalam menciptakan iklim kompetisi untuk Korea Selatan, namun secara paradoksal juga membentuk gagasan tentang identitas nasional.

Rangkaian strategi diterapkan oleh pemerintah Korea Selatan demi mendorong industri budaya, dari menerbitkan kebijakan-kebijakan yang menstimulasi ekosistem industri budaya hingga mengucurkan dana subsidi untuk membangun infrastruktur industri film dan musik. Pada tahun 2008 dibentuklah konvergensi dari dua kementerian, yakni Kementerian Budaya dan Turisme dengan Kementerian Informasi dan Komunikasi, untuk mengoptimalkan konten-konten digital sebagai bagian dari produk yang dipasarkan secara global. Dal Yong Jin menggarisbawahi kekuatan konglomerasi di Korea Selatan, dari perusahaan besar seperti Samsung, LG, Hyundai, hingga ke industri budaya melalui tiga perusahaan K-Pop terbesar di Korea Selatan, yakni SM Entertainment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment. Ia mengkritik, industri budaya ini lambat laun menghilangkan keberagaman kultural dan justru menyeragamkan produk kultural semata-mata sebagai komoditas yang laris dipasarkan.

Media sosial adalah gelanggang baru. Dan dalam konteks K-Pop, media sosial memungkinkan munculnya kelompok megabintang seperti grup BTS dari label musik Bighit Entertainment. BTS yang juga dikenal sebagai Bangtan Boys merupakan grup vokal laki-laki yang terdiri atas tujuh anggota. Suk-Young Kim, profesor di Sekolah Teater, Film, dan Multimedia di UCLA, menjelaskan bahwa kesuksesan BTS mencapai rekognisi global disebabkan kehadiran di media sosial. BTS adalah salah satu simbol kultural yang penting bagi Korea Selatan. Bagaimana tidak, BTS mengontribusikan $ 3,6 miliar per tahun untuk ekonomi Korea Selatan. Sebagai contoh saja, single BTS yang berjudul Dynamite menguntungkan ekonomi Korea Selatan sebesar $ 1,4 miliar dan membuka 8.000 lapangan pekerjaan. Simon Critchley, seorang filsuf, pernah berkomentar bahwa K-Pop tersebut tidak menampilkan otentisitas. Tidak ada yang esensial di dalam K-Pop, demikian sindirnya. Memang belakangan K-Pop tengah dikerubungi oleh skandal, dari tudingan kekerasan seksual hingga bunuh diri yang terjadi pada idolanya karena tekanan sosial yang berlebih. Namun, tidakkah K-Pop juga seni yang membawa kebahagiaan bagi para penikmatnya? BTS dengan lagu-lagu yang berkisah tentang mencintai diri sendiri, bersikap positif. BTS pun mengadvokasikan kesetaraan dan penolakan pada rasialisme. Mereka menjadi duta Unicef yang gigih mengampanyekan kesehatan mental dan menolak kekerasan serta perundungan. Tentu kegemaran terhadap idola atau apresiasi terhadap ragam ekspresi budaya semestinya tetap dipahami melalui pola pikir kritis. (*)

SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia

Exit mobile version