PERNYATAAN Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengutip dengan data Indonesia Corruption Watch bahwa kejaksaan Agung telah menyelamatkan kerugian keuangan negara selama tahun 2020 sebesar Rp 56,7 triliun, sementara KPK hanya sebesar Rp 115,8 miliar dalam Rapat Dengar Pendapat antara Jaksa Agung dan Komisi III pada 14 Juni 2021 seolah-olah membuka mata publik atas kinerja kejaksaan yang selama ini sering dipandang sebelah mata dibanding dukungan kepada KPK.
Bila ditelusuri di berbagai sumber media online maka data yang disampaikan oleh Arsul Sani tersebut tidak tidak sinkron seperti pernyataan ICW yang selama sangat mendukung kinerja KPK di media Indonesia online tanggal 19 April 2020 yang menyatakan Kejaksaan Agung juara selamatkan kerugian keuangan negara 2020 mencapai Rp 17,5 triliun dengan 259 kasus korupsi, KPK Rp 805 miliar dengan 15 kasus korupsi dan Korps Bhayangkara hanya Rp 219 miliar dengan 170 kasus korupsi.
Perhitungan ICW maupun yang disampaikan Arsul Sani bahkan jauh di bawah jumlah yang disampaikan resmi oleh Pusat Penerangan Hukum kejaksaan Agung yang dikutip oleh beberapa media online tanggal 26 Oktober 2020 di antaranya CNN Indonesia, Law-Justice.co, Medcom.id dan lainnya yang mengklaim kejaksaan berhasil menyelamatkan kerugian keuangan negara Rp 338,8 triliun dan USD 11,83 Juta selama setahun melalui bidang Perdata dan Tata Usaha Negara periode Oktober 2019 sampai Oktober 2020 dengan rincian Rp 223 triliun oleh Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara kejaksaan Agung dan Rp 16,5 triliun Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara kejaksaan Tinggi dan kejaksaan Negeri seluruh indonesia ditambah dengan penyelamatan oleh Bidang Tindak Pidana Khusus sebesar Rp 19,62 triliun dan 1,412 Ringgit Malaysia serta pengembalian keuangan negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 7,02 triliun.
Terlepas dari perbedaan jumlah penyelamatan keuangan negara oleh kejaksaan, pernyataan Arsul Sani kemarin seakan menjadi penyemangat bagi insan adhyaksa khususnya para Jaksa yang tergabung dalam organisasi profesi Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) di seluruh indonesia untuk terus giat dalam melaksanakan tugas khususnya dalam penyelamatan kerugian keuangan negara baik melalui instrumen Jaksa Pengacara Negara di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara melalui mekanisme gugatan baik secara litigasi atau non litigasi, Jaksa Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum di Bidang Pidana Khusus dalam kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Semua keberhasilan di atas tentunya tidak bisa terlepas dari profesionalitas insan adhyaksa tersebut tidak terlepas dari ketegasan kebijakan pimpinan, kecepatan kinerja seluruh tim Jaksa yang ditunjuk dan kerja sama yang baik di antara masing masing bidang di kejaksaan. Profesionalitas Jaksa sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah Een en Ondelbaar yang berhimpun dalam sebuah organisasi profesi Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) yang kebetulan memperingati hari dengan hari ulang tahun yang ke 29 pada tanggal 15 Juni 2021 ini dengan tema besar menjaga marwah institusi untuk terus berprestasi.
Tauladan Profesionalitas Jaksa R Soeprapto dan Baharuddin Lopa
Terkait Profesionalitas Jaksa maka kejaksaan memiliki banyak figur yang teruji dan dicatat dalam sejarah di antaranya R Soeprapto dan Baharuddin Lopa. Sejarawan asli betawi JJ Rizal misalnya menceritakan adalah R. Soeprapto selaku Jaksa Agung ke-4 menjabat 1951-1959 sebagai seorang sosok humanis, gigih dan berani dalam melawan korupsi di antaranya keberanian menjatuhkan hukuman kepada menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani karena dianggap telah menerima uang dari China senilai Rp 1,5 Juta untuk mencetak kertas pemilu.
Meski sudah didatangi presiden Soekarno namun tidak mengubah putusan R Soeprapto untuk tetap menjatuhkan hukuman. Ketegasan Soeprapto juga tercatat dalam sejarah menyuruh anggota keluarganya mengembalikan cincin bermata Giok dari china serta memberitahukan anaknya tindakan menerima cincin itu salah secara hukum.
Jaksa Agung sekarang ST Burhanuddin pernah berucap dalam sebuah sambutan seminar pengusulan R Soeprapto sebagai pahlawan terkait akan ketegasan R Soeprapto sebagai inspirasi untuk siapapun yang menekuni profesi Jaksa dengan mengutip ucapan R Soperapto “Demi keadilan, perkara apa pun wajib diputus secara bijak. Pihak yang bersalah harus dihukum setimpal”. Keprofesionalan R Soeprapto merujuk wikipedia.org ternyata tidak berjalan mulus dan harus menghadapi risiko yang akhirnya diberhentikan dengan hormat oleh Soekarno pada tanggal 1 April 1959 sebagai buntut atas penanganan perkara perwira angkatan laut belanda Leon Nocholaas Hubert Jungschlager dan Schmidt yang ditangkap tahun 1954. Penuntutan terhadap Leon Nocholaas Hubert Jungschlager gugur karena sudah meninggal dunia sehingga tinggal yang disidangkan Schmidt yang diputus bersalah dengan hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Tahun 1958 namun di tingkat banding diturunkan menjadi 5 Tahun dan R Soeprapto tidak mengajukan kasasi dan langsung memerintahkan untuk mengeksekusi putusan dengan memulangkan Schmidt ke Belanda karena sudah menjalani hukuman 5 tahun sekaligus menghindari kecamuk masyarakat karena Schmidt dianggap sebagai pemberontak.
Keputusan R Soperapto dikecam para politisi yang tidak suka dan menjadikan alasan tidak berkonsultasi dengan menteri kehakiman G.A Maengkom untuk menjatuhkan sebagai Jaksa Agung padahal sesuai keterangan istri R Soperapto eksekusi sudah dengan persetujuan G.A Maengkom. R Soperapto tetap teguh dengan pendiriannya bahkan tidak mau minta maaf dan sekembalinya dari belanda memulangkan Schmidt menolak hadir dalam acara serah terima jabatan di istana setelah diberhentikan karena sudah meyakini tindakannya benar baik secara hukum maupun hierarki tanpa mempedulikan ajakan dari para politisi.
Sementara Baharuddin Lopa selaku Jaksa Agung di era Presiden Abdurrahman Wahid juga terkenal sebagai Jaksa profesional dengan keberanian dalam menangani kasus korupsi tanpa rasa takut dengan siapa pun kecuali kepada Sang Pencipta. Sepanjang karier Baharuddin lopa terkenal dalam menentang ketidakadilan di antaranya saat menjabat Bupati Majene menantang Andi Selle seorang komandan batalyon yang terkenal kaya dengan melakukan kejahatan penyelundupan, menyeret pengusaha besar yang kebal hukum Tony Gosal ke pengadilan karena menipu dana reboisasi senilai Rp 2 miliar saat menjadi Kepala kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, menangani kasus Presiden ke 2 RI, memburu Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu ke Singapura, mencekal Marimutu Sinivasan, menyidik pendiri Meta Epsi Driling Company (Medco) Arifin Panogoro, Menyeret Pembina Golkar Akbar Tanjung dan Nurdin Halid. Bahkan ketika menjemput Soeharto ke Bandara Hasanuddin Baharuddin Lopa menolak untuk diajak hanya sekadar makan malam dan mengantarkan ke hotel.
Bahruddin Lopa juga terkenal dengan kesederhanaannya yang meski dari keturunan terpandang dan bangsawan di daerah Mandar Sulawesi Barat. Seperti cerita Jusuf Kalla selaku pemilik show room mobil di Makassar menawarkan mobil toyota crown seharga Rp 100 juta kepada Baharuddin Lopa karena pejabat terpandang namun meski Jusuf Kalla ikhlas memberi gratis justru Baharuddin Lopa menolak dan meminta diberi harga sama dengan orang lain dan akhirnya hanya membeli mobil seharga Rp 25 Juta dengan cicilan 3 tahun empat bulan.
Baharuddin Lopa juga terkenal dengan pejabat Anti sogok dan tegas menyatakan haram dan melarang anak buahnya saat menjabat Kepala kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menerima parsel lebaran bahkan ketika mengetahui di rumahnya ada parsel Baharuddin Lopa marah dan menyuruh anaknya mengganti sebuah cokelat dalam parsel yang sudah terlanjur dimakan. Untuk menutupi kebutuhan maka Baharuddin Lopa membiasakan menabung di celengan untuk merenovasi rumah sederhananya begitu juga membiasakan menulis artikel di media massa sebagai tambahan penghasilan. (*bersambung)
Penulis Koordinator Pada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah dan Dosen Universitas Pancasila Jakarta