Site icon KaltengPos

Antara Isu SARA, Perdebatan Publik, dan Polarisasi Massa

Akhmad Dhani

Oleh: Akhmad Dhani

 

PESTA demokrasi dekat lagi. Kurang lebih satu tahun. Saat ini kita sudah memasuki tahun politik. Situasi di mana perbincangan mengenai perpolitikan negeri menjadi perhatian publik, dari obrolan di warung-warung kopi hingga di forum-forum akademik. Dari peta perpolitikan, partai dominan, hingga sosok-sosok pemimpin kharismatik yang santer tampang di pemberitaan media, kerap kali menjadi buah bibir masyarakat.

Obrolan soal perpolitikan memang selalu menarik menjadi bahasan. Mulai dari keunikan dan latar belakang masing-masing sosok yang digadang-gadang bakal maju, partai yang mengusung, sampai pandangan atau paradigma berpikir yang dimiliki oleh masing-masing calon.

Dari sosok yang berbeda dan partai yang berbeda, kemudian akan membentuk paradigma yang pada akhirnya berbeda pula. Dari perbedaan itulah kemudian akan diikuti oleh sejumlah kelompok yang cenderung mendukung atau menolak eksistensi salah satu pihak.

Memihaknya sejumlah kelompok itu, jika diikuti dengan narasi-narasi politis yang jernih, mengutamakan perbedaan pandangan sambil diwarnai dengan berbagai diskusi yang bermuara pada penjernihan pikiran dan dialog positif, tentu akan punya hasil baik bagi masyarakat Indonesia.

Sebab, jika narasi-narasi politis itu tidak jernih, dengan diskusi dan silang pendapat di masyarakat yang diwarnai dengan berkembangnya isu-isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA), maka akan membentuk goncangan sosial di tengah masyarakat.

Skema paling mungkin dari goncangan sosial itu adalah perang pendapat di berbagai platform media sosial, tapi tidak tertutup kemungkinan untuk lebih buruk lagi, yakni terjadi konflik horizontal sebagai buah dari silang pendapat yang diwarnai dengan pemikiran radikal, bahkan cenderung ekstrem.

Guru terbaik adalah pengalaman. Untuk belajar dari pengalaman, seseorang harus membaca masa lalu. Ketika membahas tentang polarisasi politik, ingatan kita akan ditarik pada situasi pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 silam. Kala itu muncul dua calon, yakni Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Pemilihan kala itu menjadi sengit sekali sebab presiden sebelumnya, yakni SBY, sudah habis menjabat dua periode. Otomatis, masyarakat menjadi penasaran akan sosok pemimpin Indonesia selanjutnya.

Situasi masyarakat saat itu sangat tidak kondusif karena terciptanya dua kutub berbeda dari kondiai politik yang tejadi. Satu kelompok masyarakat mendukung Jokowi, sementara kelompok lainnya mendukung Prabowo. Satu kelompok mendukung pandangan yang melekat dengan si calon dan menegasi pandangan calon lainnya. Hal ini dilakukan oleh masing-masing pendukung salah satu dari kedua kubu. Fenomena ini diperparah dengan pemberitaan di media televisi yang saat itu tidak berimbang.

Sengitnya pesta demokrasi Indonesia di masa itu tidak lepas dari perbincangan-perbincangan publik yang terjadi akibat pemberitaan yang disajikan oleh media televisi kala itu, yang cenderung memihak salah satu calon. Belum lagi obrolan-obrolan yang berkembang pada media sosial seperti Facebook. Masyarakat kala itu masih gandrung dengan televisi.

Media sosial macam Facebook—saat itu—tengah dalam masa jayanya. Obrolan-obrolan tertulis yang terdapat pada status-status dan kolom komentar, kental dengan isu-isu SARA yang diarahkan pada salah satu calon. Kubu terbentuk, kedua kudu saling lempar isu SARA yang dibalut dengan fitnah dan ujaran kebencian, sambil menonjolkan eksistensi dari kubu masing-masing.

Parahnya lagi, isu-isu SARA yang berkembang di Facebook, menjadi bahan bagi masing-masing kubu untuk menyerang setiap calon. Hal ini menciptakan semacam rambu bagi berkembangnya gagasan-gagasan politis jernih di publik. Isu-isu SARA yang berkembang tersebut belakangan menjadi topik menarik bagi sejumlah media untuk dijadikan bahan pemberitaan.

Situasi ini bejalan sirkular, isu berkembang, lantas kubu masyarakat saling serang di Facebook. Dari saling serang di Facebook itu kemudian isu berkembang menjadi besar, sejumlah media lantas tunggang-langgang memberitakan. Sayangnya, berita yang dibuat oleh beberapa media besar cenderung tak berimbang karena terselip kepentingan untuk mendukung salah satu kubu.

Tak ayal, karena pemberitaan yang cenderung tak berimbang serta latar belakang chaosnya situasi sosial tadi, menjadikan tahun politik 2014 silam tak kondusif dan menyisakan dampak negatif bagi situasi politik sesudahnya. Sebab, saat berlangsungnya pilpres 2019, kedua belah pendukung masing-masing kubu terlihat masih saling “bertarung” meski tidak separah di pilpres sebelumnya.

Dalam realitas sosial yang terjadi saat ini, masih ada saja pendukung dari masing-masing kubu yang tetap keukeuh dan militan membela sosok yang didukungnya pada pilpres 2014 dan 2019 lalu. Beberapa di antaranya masih sangat vokal dan kerap wara-wiri di sejumlah forum diskusi publik. Masyarakat yang dulu latah, hanya ikut-ikutan dalam perdebatan publik tanpa mampu memahami secara jernih situasi yang terjadi, masih menjadi massa mengambang. Karena tidak ada perkembangan dalam merekonstruksi situasi politis, jenis masyarakat seperti ini kerap menjadi sasaran empuk bagi buzzer untuk menggaet dukungan massa.

2024 Dalam Bayang-bayang Polarisasi Politik

Pihak manapun—yang berakal sehat—tentu tak ingin kejadian demikian terulang kembali. Sejumlah pakar menyebut, potensi polarisasi dapat diredam jika calon presiden yang diusung nanti lebih dari dua. Pendapat ini salah salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago.

Menurutnya, polarisasi isu yang kemudian mewujud menjadi polarisasi politik menyebabkan terguncangnya persatuan berkebangsaan pada pilpres 2019. Oleh karena itu, katanya, tidak boleh lagi ada tempat atau ruang bagi berkembangnya politik identitas dengan polarisasi isu yang pada gilirannya dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Berdasarkan data Survei Voxpol Center Research and Consulting, pada Juli 2022, 40,6 persen preferensi masyarakat menginginkan pilpres 2024 sebaiknya diikuti lebih dari dua pasang capres-cawapres. 41,9 persen dari angka tersebut beralasan calon lebih dari dua akan memungkinkan rakyat mendapatkan pilihan pemimpin alternatif, sebesar 41,1 persen menginginkan demikian agar tidak terjadi konflik sosial dan perpecahan, sebesar 9,2 persen menginginkan demikian agar memberi kesempatan kepada para pemimpin muda, sebesar 7,2 persen agar tidak terjadi eksploitasi politik identitas, 0,6 persen mengaku tidak tahu dan tidak jawab.

Jika dirunut dari pendapat tersebut, adanya calon yang lebih dari dua dapat meminimalkan politik SARA dan “kutubisasi” publik yang pada gilirannya berpotensi merusak persatuan dan kerukunan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya lebih dari dua calon dapat memecah kekuatan dua kubu politik yang terpusat pada dua kutub pasangan calon presiden.

Tak hanya itu, diperlukan adanya penegakan hukum terhadap para buzzer politik dan tim kampanye apabila kedapatan memakai narasi politis yang menggoreng isu-isu SARA sebagai komoditas politik.(*)

*)Penulis adalah Wartawan Kalteng Pos. Hobi membaca buku bertemakan sejarah, kebudayaan, lingkungan, politik teoritis, ekonomi, dan pendidikan.

 

 

Exit mobile version