RIMBA dan budaya adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dalam perikehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Relasi keduanya membentuk keseimbangan alam yang bertumpu pada nilai-nilai adat. Sayangnya, nilai-nilai yang dulu mewujud menjadi kearifan lokal tersebut seiring waktu kian terkikis. Kini saatnya membangkitkan kembali modal otentik Kalteng tersebut, guna menjaga masa depan rimba dan kesejahteraan masyarakatnya.
Malam telah beranjak pekat saat rombongan basir, pemangku adat, dan sejumlah warga Desa Parahangan, tiba di tepian Sungai Kahayan. Dalam keremangan malam yang hanya diterangi obor-obor minyak, rombongan tersebut hendak melarung sesaji dan menggelar ritus di tepian sungai yang berlokasi di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau itu.
Rombongan duduk bersila di tepi sebuah dermaga kecil. Lima orang basir atau pemimpin ritual membuka ritus doa dengan menabuh katambung, sebuah alat musik sejenis gendang yang dibuat dari kulit biawak dan kayu. Doa-doa yang dilantunkan dan disebut sebagai mantram ini dilantunkan dalam bahasa Sangiang, bahasa Dayak kuno yang halus dan dipercaya sebagai bahasa yang digunakan oleh para leluhur serta roh.
Mantram yang mereka lantunkan berisikan harapan agar roh-roh leluhur membantu mereka untuk menjauhkan segala marabahaya dan memberi kententeraman untuk desa. Tak luput, mereka menyelipkan doa untuk keberlanjutan hutan-hutan dan alam di sekitar desa mereka tempat roh-roh nenek moyang sekaligus sumber kesejahteraan warga berada. “Nantan pukung pahewan, nantan bukit panjang, nantan sungai saka, danau baru, nantan tana kaya, bahu lanyau”. Yang artinya: mensucikan pulau hewan, mensucikan perbukitan, mensucikan sungai kecil, danau, hutan, mensucikan ladang, bekas ladang.
Sebagai konsekuensi agar doa-doa diterima, masyarakat adat di Parahangan pun memegang teguh pantangan-pantangan, di antaranya tidak memakan dan membunuh satwa liar dalam kurun waktu tiga bulan setelah ritual (rusa, kelinci, buaya, primata, ular, kahiyu (orangutan), babi hutan, dan lain sebagainya). Ada pula pantangan untuk menebang pohon-pohon tertentu di dalam hutan desa mereka. Alasannya, agar ada jeda bagi alam untuk menyeimbangkan dan pulih dari apa yang telah diambil oleh masyarakat, sehingga hutan serta sumber daya yang mereka miliki tidak habis.
Itulah sepenggal ritual mampakanan sahur lewu dan mamapas lewu yang diselenggarakan masyarakat Desa Parahangan, Oktober 2021 lalu. Mampakanan sahur lewu memiliki arti “memberi makan leluhur atau penjaga desa”, sedangkan mamapas lewu berarti “membersihkan desa dan hutan” di sekitarnya.
Dahulu kala, hampir setiap desa adat di Kalteng, khususnya di tepian Kahayan, secara rutin menyelenggarakan ritual mampakanan sahur lewu dan mamapas lewu tersebut. Inilah ritual komunal utama masyarakat Dayak terkait relasi kosmik antara diri mereka dengan alam sekitar, khususnya hutan. Di samping dua ritual tersebut, mereka juga mengenal menyanggar, yaitu ritual membuka atau menebang pohon di hutan untuk berladang.
Ada pula ritual-ritual lain yang lebih spesifik terkait relasi mereka dengan alam. Setiap ritual tersebut memiliki konsekuensi terhadap nilai-nilai suci atau kearifan lokal yang harus mereka pegang atas hubungan mereka dengan alam. Kedekatan antara masyarakat Dayak dengan hutan ini terbangun karena begitu besarnya manfaat hutan bagi kelangsungan hidup mereka, terutama untuk berladang, mencari makanan, obat-obatan, dan lain sebagainya.
Namun, seiring modernitas yang menyapa hingga ke ujung desa-desa, ritual-ritual suci ini beserta nilai-nilai kearifan lokalnya ini lambat laun memudar. Disrupsi ekonomi warga dari berladang di hutan ke penebangan kayu yang disponsori perusahaan-perusahaan besar (awal 1990-an hingga awal 2000-an) menjadi titik balik terempasnya kultur-kultur adat ini. Ditambah lagi dengan alih fungsi besar-besaran hutan menjadi perkebunan sawit. Belakangan, kian besarnya ketergantungan ekonomi warga di sekitar kawasan sungai kepada penambangan emas atau lanting makin menjauhkan kearifan lokal warisan leluhur.
Akibatnya, regenerasi kearifan lokal kurang terjadi. Nilai-nilai adat warisan leluhur kini tinggal tersisa di tangan-tangan generasi yang telah lanjut usia. Kini, nyaris sulit menemukan generasi muda di desa-desa yang mau dan memiliki keterampilan bercocok tanam, serta memahami nilai-nilai budaya warisan leluhur, khususnya terkait pentingnya menjaga hutan dan alam di sekitar mereka.
Sebagian besar dari mereka lebih memilih bekerja di lanting atau tambang-tambang emas di sungai, yang barangkali 5-10 tahun mendatang akan habis. Sementara hutan-hutan yang di sekitar mereka telah terfragmentasi, terdegradasi, dan sebagian telah terkonversi sebagai perkebunan milik swasta. Situasi ini tak hanya berpotensi menghadirkan kerentanan ekonomi kini dan ke depan buat mereka, tetapi juga ancaman ekologis, seperti bencana banjir dan longsor yang kian meningkat intensitasnya di provinsi ini.
Program perhutanan sosial yang diimplementasikan oleh pemerintah sejak tahun 2016, yang salah satunya memberi peluang bagi masyarakat adat untuk mengelola hutannya sendiri secara berkelanjutan sesungguhnya menjadi langkah maju untuk melindungi masa depan masyarakat adat. Kendati demikian, dalam mengupayakan hutan adat, penetapan masyarakat hukum adat (MHA) melalui surat keputusan bupati atau walikota menjadi tahapan utama yang harus terpenuhi. Oleh karena itu, peraturan daerah untuk mendukung masyarakat adat dalam memperoleh pengakuan hak-hak atas wilayah dan sumber daya alam, termasuk dalam pemenuhan persyaratannya mendesak untuk segera dihadirkan di Kalteng.
Namun, hal itu saja tidak cukup. Pemerintah dan semua pihak terkait perlu mengupayakan apresiasi dan insentif kepada masyarakat adat yang mengelola hutannya secara lestari dan berkesejahteraan. Tak perlu dinilai dengan uang, penghargaan berupa pengakuan dari pemerintah terhadap kerja keras mereka sudah menjadi suatu kegembiraan bersama yang akan dirasakan secara kolektif oleh seluruh anggota masyarakat. Dengan upaya tersebut, masyarakat adat akan kian bersemangat menjaga dan mengeloa hutan adatnya, serta memberi inspirasi bagi masyarakat adat yang lain untuk menempuh jalan serupa. Langkah apresiasi juga membawa konsekuensi dijalankannya hukum secara tegas dan berkeadilan untuk siapa saja yang melanggar prinsip-prinsip tata ruang kehutanan.
Selain itu, masyarakat adat harus diberi ruang untuk berkontribusi dalam pembangunan. Mereka harus ditempatkan sebagai subjek, bukan objek. Forum-forum perencanaan pembangunan strategis semacam musrenbang hendaknya melibatkan mereka secara aktif. Ke depan, dengan diakui dan dilindunginya hak mereka dalam pengelolaan hutannya secara mandiri, masyarakat adat di Kalteng diharapkan dapat meraih kesejahteraannya, mempunyai waktu untuk menyemai kembali pewarisan nilai-nilai kearifan lokalnya untuk generasi muda, serta terhindarkan dari konflik lahan dengan perusahaan ataupun negara. Dan, tentu saja, mereka turut berperan nyata dalam menjaga hutan dengan baik seperti yang telah dicontohkan oleh para leluhur masyarakat Dayak. (*)
*) Oleh: Shaniya Utamidata,
Penulis adalah Digital Communication and Campaigning BNF Indonesia