FORUM komunitas guru kembali digemparkan dengan pembahasan kompetensi guru dan kesejahteraan yang selalu menjadi pekerjaan rumah (PR). Pemantiknya karena kritik yang dilancarkan seorang YouTuber sekaligus guru bernama Guru Gembul. Belum terpublikasi luas siapa nama aslinya. Namun keberaniannya mengkritik institusi besar sekelas Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) langsung di forum diskusi kampus UPI, menjadi daya tarik untuk membahas wacana yang mengemuka. Apalagi di situ ada bekas menteri perdagangan era Jokowi, Enggartiasto Lukita yang juga turut menyaksikan.
Dalam diskusi tersebut, Guru Gembul mengkritik realita guru-guru di Indonesia yang masih digaji dengan sangat rendah. Menurut dia, rendahnya kompetensi guru menjadi penyebab utama. Akar permasalahan itu juga disebabkan, tidak adanya gerakan aktif dari pemerintah untuk melatih kompetensi para guru secara baik dan efektif, terutama melalui institusi pendidikan. Dia mengibaratkan analogi bahwa “seorang pilot bisa menjadi guru, namun guru tidak bisa menjadi pilot”. Pilot dibayar dengan gaji yang tinggi karena kompetensi yang dimiliki, sementara guru bisa menjadi profesi semua orang. Oleh karenanya, dia mengkritik, institusi pencetak para guru tidak pernah menekankan kompetensi apa yang harus dimiliki oleh guru.
Bukan hanya soal kompetensi, Guru Gembul juga mengkritik rendahnya pemahaman materi psikologi pendidikan yang harusnya dikuasai dengan baik oleh para guru. Betapa banyak siswa-siswi dengan kebutuhan khusus, namun guru tak bisa mengambil tindakan tepat. Misalnya masalah belajar siswa seperti disleksia. Rupanya tidak semua guru mengerti apa yang harus dia lakukan menghadapi siswa tersebut. Guru Gembul menyayangkan bila pada akhirnya, siswa tersebut kehilangan kesempatan belajar dan Indonesia kehilangan bibit-bibit potensi penerus yang berkualitas. Semua itu berangkat dari kurangnya pemahaman materi mengenai psikologi pendidikan.
Memang, ruang kelas bukan objek kosong nan statis. Kelas adalah kehidupan dengan berbagai latar belakang dan konteks yang terjadi. Tugas guru begitu berat. Untuk memahami itu semua, dan memberikan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Tak cukup berhenti di situ. Selain memikirkan metode pengajaran, para guru juga masih memikirkan bagaimana cara bertahan hidup. Sebab masih ada para guru yang tak bisa sekadar mengandalkan gaji di sekolah. Tentunya dengan mencari pendapatan tambahan untuk kebutuhan sehari-hari.
Kritik itu tentu menjadi diskursus yang membuat kita seharusnya merenung. Karena bagaimana pun, pendidikan adalah kunci bagi kemajuan bangsa. Sudah banyak catatan sejarah yang membuktikan hal itu. Mulai dari peradaban Yunani kuno, peradaban islam pada zaman kegelapan Eropa, periode renaissance, hingga kebangkitan awal kemerdekaan bangsa Indonesia yang dipantik oleh pendidikan era politik balas budi Belanda (Politik Etis). Pendidikan membawa perubahan signifikan terhadap nasib bangsa. Sehingga diskursus itu menjadi perbincangan yang perlu kita hadirkan untuk menyodorkan sebuah tanda tanya besar, tentang bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia.
Ada tiga hal yang perlu mendapat sorotan. Pertama, perlunya political will pemerintah untuk menghadirkan kualitas pendidikan yang baik. Hal ini bisa dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan para guru. Sehingga guru bisa fokus mengajar dan meningkatkan kompetensi yang mereka miliki. Sebab, selama ini boleh dikatakan kesejahteran guru masih cukup rendah, terutama guru honorer. Sehingga mereka pontang-panting mencari pendapatan tambahan di luar sekolah. Diantara mereka ada yang menjadi guru les, beternak, menjahit, berdagang, dan profesi lainnya. Tak heran, hal tersebut membuat guru kekurangan waktu untuk meningkatkan kompetensi dirinya sebagai pendidik.
Memang bila berkaca dari anggaran pendidikan, telah ada peningkatan setiap tahunnya. Pada 2023, anggaran pendidikan mencapai Rp 612,2 triliun. Anggaran ini hampir 2 kali lipat, dari anggaran pada 1 dekade silam sebesar Rp 332,2 triliun. Mayoritas anggaran ini pun telah digunakan untuk elemen gaji guru baik PNS maupun honorer. Meskipun, hal tersebut mendapat kritik oleh Bank Dunia. Dalam catatan How Indonesia’s Subnational Government Spend Their Money on Education, 86 persen anggaran pendidikan telah digunakan untuk gaji dan tunjangan guru, bukan pengembangan kualitas pendidikan. Sebanyak 14 persen belanja non-gaji, dialokasikan untuk program beasiswa, teacher training, infrastruktur, hingga biaya operasional. Alokasi anggaran gaji tinggi, rupanya menurut World Bank, belum mencerminkan kualitas pendidikan.
Padahal bila berkaca dari praktik proporsi anggaran pendidikan di negara maju seperti Finlandia, Norwegia, Belanda dan Amerika Serikat, ada alokasi anggaran yang cukup besar pada biaya non-gaji. Sehingga mereka bisa meningkatkan performa kualitas pendidikan. Meskipun pada dasarnya, tidak ada patokan resmi seberapa besar alokasi gaji dan non-gaji yang ideal. Komposisi ini kembali pada kemampuan dan kebutuhan tiap negara. Pemerintah mestinya bisa memperbesar alokasi non-gaji, untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Boleh dikatakan, langkah ini menjadi elemen investasi masa depan, untuk peningkatan pendidikan.
Selain soal kesejahteraan dan kualitas pendidikan, hal kedua adalah isu inflasi dalam dunia pendidikan juga mesti mendapat perhatian. Bukan saja mengendalikan harga pangan, namun mengendalikan biaya pendidikan rupanya juga perlu. Setiap tahunnya, inflasi pendidikan terjadi sebesar 10 persen-15 persen. Ini jelas di atas rata-rata inflasi nasional yang angkanya di bawah 5 persen. Bukan hanya soal angka, masalah yang timbul dari pembiayaan pendidikan di Indonesia adalah adanya gap antar sekolah. Sekolah dengan fasilitas lengkap, komposisi guru baik, dan jumlah siswa yang tidak terlalu banyak, biasanya mematok biaya lebih tinggi. Ini bisa nampak dari praktik sekolah-sekolah swasta. Sementara pada sekolah negeri, masih ditemui masalah seperti kekurangan guru, persebaran murid yang tidak merata hingga over kapasitas. Adanya gap itu juga semakin mempertajam ketidakadilan yang ada di masyarakat dalam mendapatkan hak pendidikan. Belum lagi kalau kita berbicara fasilitas infrastruktur yang ada di pedesaan dan perkotaan.
Kenaikan inflasi pendidikan itu jelas menjadi beban yang kian berat ditanggung oleh rumah tangga. Maka tidak heran, banyak yang mengeluhkan biaya pendidikan makin mahal, terutama pada sekolah swasta. Bagaimana dengan sekolah negeri? Dalam praktiknya, pemerintah telah memberikan dukungan pendanaan sehingga sebagian sekolah sejak SD hingga SMA sudah tidak membebankan biaya kepada siswa alias gratis. Meski demikian, ada fenomena yang menunjukkan penurunan minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri. Hal ini terukur dari data tingkat merger sekolah dasar negeri yang cukup tinggi, dibandingkan dengan pertumbuhan sekolah dasar swasta yang terjadi setiap tahun.
Badan Pusat Statistik dalam Statistik Pendidikan (2022) menyebut dalam satu tahun terakhir lebih dari 1.000 sekolah swasta (SD dan SMP) baru terdaftar di Kemendikbudristek. Peraturan zonasi sekolah, ternyata juga mengakibatkan sekolah negeri terbatas menerima peserta didik dari luar zona sekolah. Alhasil, orang tua banyak memasukkan anaknya ke sekolah swasta yang tidak terikat aturan tersebut. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi sekolah swasta, untuk bisa menjaring peserta didik.
Masalah bukan hanya muncul dari fasilitas sekolah, keadaan jumlah guru pada tahun ajaran 2021/2022 juga cukup memprihatinkan. Dalam satu tahun terakhir, telah terjadi penurunan bahkan pada setiap jenjang pendidikan (BPS, 2022). Kemendikbudristek mencatat, penurunan paling banyak terjadi pada guru sekolah dasar negeri yakni sekitar 78 ribu guru sudah tidak lagi terdaftar. Padahal secara umum, bila dibandingkan dengan tahun ajaran sebelumnya, profesi guru masih cukup diminati. Hal tersebut dibuktikan dari jumlah guru yang meningkat pada tahun ajaran 2020/2021 pada setiap jenjang pendidikan.
Selain masalah infrastruktur sekolah dan guru, faktor ketiga adalah kita perlu menyadari efek pandemi yang cukup serius mendisrupsi dunia pendidikan. Tentu masih hangat dalam ingatan, saat pandemi melanda sempat terdengar isu lost generation karena hilangnya pembelajaran tatap muka kepada para siswa saat pandemi (learning loss). Untungnya saat ini, aktivitas di sekolah-sekolah sudah mulai pulih dan kegiatan belajar mengajar berlangsung normal. Namun yang perlu dicatat adalah, pandemi mengajarkan pentingnya perangkat teknologi dalam pendidikan. Termasuk dengan orang yang mengoperasikanya. Bila kejadian pandemi kembali berulang, akankah kita mampu menghadapi disrupsi dalam dunia pendidikan lagi?
Pertanyaan ini perlu kita jawab dengan sebaik-baiknya. Infrastruktur teknologi pendidikan perlu direformasi. Investasi dalam dunia pendidikan, perlu ditambah. Para guru dan segenap sumber daya pendukung di sekolah juga harus dipersiapkan untuk mahir menggunakan teknologi pembelajaran. Termasuk yang paling sulit adalah menyiapkan para orang tua atau wali siswa untuk mendampingi anak didik dalam mendapatkan pengajaran.
Maka, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi boleh jadi menteri yang tak bisa tidur nyenyak tiap malamnya, sebab masih banyaknya persoalan di dunia pendidikan. Bukan hanya melibatkan siswa dan walinya, namun juga kehidupan para pendidiknya. Mereka adalah garda terdepan dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Kita tentu ingin melihat, 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2045 nanti dirayakan dengan kondisi bangsa dan negara yang jauh lebih baik, lebih sejahtera dan damai. Tentu kita juga ingin melihat, bagaimana peran Indonesia dalam percaturan global secara strategis. Semua itu tak terlepas dari kualitas pendidikan, yang dibangun segenap elemen bangsa. Mampukah kita?*)