Site icon KaltengPos

Preeklamsia, Bisa Dicegah dengan Aspirin Dosis Rendah

JAGA: Meski begitu membahayakan, sejatinya preeklamsia bisa dicegah dengan mengenali faktor risiko. (Foto Ilustrasi: Dite Surendra/Jawa Pos)

KaltengOnline.com-Istilah preeklamsia mungkin masih terdengar asing di telinga beberapa orang. Padahal, preeklamsia merupakan kondisi yang sering membahayakan ibu hamil. Masih dalam suasana Hari Preeklamsia Sedunia yang diperingati pada 22 Mei lalu, mari kita mengenal lebih dekat tentang kondisi tersebut.

Preeklamsia juga dikenal dengan nama toxemia gravidarum atau keracunan kehamilan. Adalah kondisi hipertensi yang terjadi saat kehamilan. Preeklamsia sendiri merupakan kondisi sebelum terjadinya eklamsia. Jika eklamsia terjadi, umumnya akan timbul kejang dan berujung koma.

Dari International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy dan Preeclampsia Foundation mencatat bahwa preeklamsia mengakibatkan kematian ibu hingga sekitar 76 ribu disertai kematian 500 ribu bayi setiap tahunnya. Artinya, sekitar 10 persen atau 1 dari 10 ibu hamil ini mengalami preeklamsia dan 20 persen dari yang terdampak terkait dengan persalinan prematur.

Penyebab pasti kondisi ini belum dapat dijelaskan. Namun, preeklamsia erat kaitannya dengan permasalahan plasenta. Pembuluh darah pada pasien preeklamsia cenderung kecil, berbeda dengan ibu hamil dalam kondisi normal. “Kalau kecil, bisa kekurangan darah dan oksigen sehingga muncul racun yang melukai organ ibu hamil,” kata dr Manggala Pasca W. SpOG(K) (spesialis kebidanan dan kandungan, konsultan fetomaternal) dalam konferensi pers memperingati World Pre-Eclampsia Day pada 21 Mei.

Gejala preeklamsia, antara lain, tensi darah tinggi di atas 140/90 dan bengkak pada kaki. Jika dilakukan pemeriksaan lab terhadap urine dan terdapat kandungan protein, artinya racun sudah sampai di ginjal dan mengakibatkan protein bocor dari saluran kencing. “Itu termasuk kondisi simpel. Jangan sampai ada gejala berat karena itu berarti sudah berat banget. Misalnya sulit nyeri perut dan mual muntah berlebihan, itu bisa jadi adanya gangguan liver,” jelas Manggala.

Pasien preeklamsia tanpa gejala berat harus menjalani observasi ketat. Pemeriksaan bisa dilakukan 1–2 kali dalam sepekan hingga usia kandungan mencapai 37 minggu untuk kemudian dilakukan persalinan. “Tapi, kalau sebelum 37 week atau 34 week ada gangguan, maka langsung ke persalinan,” kata dr Nareswari Imanadha Cininta Marcianora SpOG, staf divisi kedokteran fetomaternal RSUD dr Soetomo Surabaya.

Namun, jika terdapat gejala berat, pasien harus melakukan bed rest di rumah sakit karena harus dimonitor dengan sangat ketat. Setelah kehamilan pun, pasien preeklamsia juga bisa menerima komplikasi. Salah satunya hipertensi jangka panjang dengan angka risiko sebesar 3,5 persen. “Tapi, kalau preeklamsia berulang, apalagi berakhir prematur, maka kurang lebih 10 tahun ke depan akan mengalami gangguan jantung yang lain,” imbuh Cininta.

Meski membahayakan, sejatinya preeklamsia bisa dicegah. Langkah pertama pencegahan adalah mengenali faktor risiko (selengkapnya ada di grafis). “Saat pemeriksaan dokter, ibu hamil akan dinilai semua sesuai faktor risikonya,” kata Cininta. Pemeriksaan itu meliputi USG untuk menilai aliran darah yang masuk ke rahim dan plasenta janin.

“Kalau sudah dinilai ada faktor risiko dari riwayat dan USG, kita (dokter, Red) bisa memberikan aspirin dosis rendah,” terang Cininta. Dia mengungkapkan, banyak studi membuktikan bahwa pemberian aspirin dosis rendah menurunkan risiko hingga 17 persen.

Jangan Konsumsi Sembarangan

Saat mengandung, lampu merah menyala sebagai tanda ibu hamil tidak boleh melakukan sesuatu sembarangan. Tak terkecuali mengonsumsi obat. Dr dr Ernawati D. SpOG(K) mengatakan, yang sifatnya obat itu, lanjut Ernawati, wajib dikonsultasikan dengan dokter. Jangan asal diminum.

Ernawati menuturkan, pengobatan preventif diberikan setelah pasien menjalani serangkaian pemeriksaan. “Oh, ada faktor risiko, tensinya bagaimana. Lebih mengerucut lagi pemeriksaan aliran darah ke bayi dan ibu,” jelasnya.

Dokter yang tergabung di Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) itu menuturkan, aspirin bak pedang dengan dua mata pisau. Dokter melihat detail kondisi ibu dan bayi sebelum memberikan resep. “Tidak semua pasien disamaratakan,” tegasnya.

FAKTOR RISIKO SEDANG

– Ibu hamil berusia 40 tahun ke atas. Risikonya 2x lebih tinggi daripada ibu hamil yang usia kehamilan pertamanya di bawah 40 tahun.

– Kehamilan pertama. Risikonya 3x lipat daripada ibu yang sudah hamil kedua dan seterusnya.

– Jarak antar kehamilan terlalu dekat, yakni di bawah 5 tahun. Salah satu penelitian di Norwegia menyebutkan bahwa risiko preeklamsia di kehamilan berikutnya sebesar 1,5x dan berlipat ganda setiap lima tahun.

– Indeks massa tubuh tinggi atau obesitas, risikonya 2,5x lipat.

FAKTOR RISIKO TINGGI

– Memiliki riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya. Risikonya 2x lipat.

– Kehamilan kembar. Risikonya 3x lipat.

– Diabetes melitus, terlebih yang bergantung pada insulin. Risikonya 4x lipat.

– Sindrom antifosfolipid, biasanya dialami ibu yang memiliki riwayat keguguran. Juga terjadi pada pasien lupus atau penyakit autoimun. Risikonya 10x lipat. (jawapos.com)

Exit mobile version