Site icon KaltengPos

Kata Praktisi Sawit, SK Menhut 36 Melanggar UU Cipta Kerja & PP No 24 Thn 2021

Kacuk Sumarto

TIM Satgas Garuda Penertiban Kawasan Hutan (PKH) mulai bergerak melakukan penertiban perusahaan yang diduga menggarap kawasan hutan di Kalimantan Tengah.

PT Agro Bukit yang merupakan Goodhope Group menjadi perusahaan pertama yang jadi sasaran satgas yang dipimpin langsung Mayjen TNI Yusman Madayun.

Langkah itu merupakan implementasi Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 36 Tahun 2025.

Berkaca dari komentar Praktisi industri sawit, Kacuk Sumarto beberapa waktu lalu, ia keberatan dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan.

Keputusan tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan apakah perkebunan sawit ada dalam kawasan hutan.

Terlebih, banyak perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pada SK 36 tersebut sudah memiliki alas legalitas lahan yang sah berupa HGU (Hak Guna Usaha) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

“Ada kebun yang HGU-nya sudah perpanjangan, tapi masuk dalam daftar SK 36. Mestinya, SK yang bersifat penunjukan tidak bisa dijadikan dasar penetapan kawasan hutan. Harus ada proses verifikasi lapangan, pengukuran dan lain-lain,” kata Kacuk Sumarto, baru-baru ini di Medan.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, SK Penunjukan Kawasan Hutan tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk menetapkan suatu lahan berada di dalam kawasan hutan.

Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 15, Penunjukan Kawasan Hutan adalah awal dari proses penetapan Kawasan Hutan, yang melalui 4 (empat) tahapan.

“Terbitnya SK Menhut No. 36 tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan, harus dicek terlebih dahulu, dasar pengenaannya oleh SK yang mana, SK Penunjukan atau SK Penetapan. Kalau hanya SK Penunjukan, ya tentunya tidak sah untuk mengatakan suatu lahan masuk di dalam kawasan hutan,” jelas Kacuk.

Masyarakat yang mempunyai alas hak yang kuat (SHM, HGB atau HGU), harus berani menggugat. “Jangan sampai terjadi kriminalisasi kepada masyarakat yang mempunyai alas hak yang legal. Boleh saja pemerintah menarik kembali lahan yang dikuasai oleh masyarakat untuk kepentingan umum, misalnya: pembangunan jalan, waduk atau fasilitas umum lainnya, akan tetapi harus dihargai hak-hak perdata masyarakat yang berada di dalam lahan tersebut,” lanjut Kacuk.

 

Inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penetapan kawasan hutan akan membawa dampak secara global. Saat pelaku usaha dan petani kelapa sawit telah berkomitmen untuk patuh pada seluruh peraturan dan menerapkan tata kelola secara berkelanjutan, pemerintah justru menuding perkebunan sawit ada di kawasan hutan.

 

“Ini akan semakin menyulitkan komoditas minyak sawit untuk menembus pasar Eropa. Orang Eropa akan bilang, pemerintah Indonesia yang mengatakan bahwa ada kebun sawit di kawasan hutan,” kata Kacuk.

 

Bagi pelaku usaha dan petani sawit, SK 36 Menhut tidak masuk akal. Bahkan ada beberapa perusahaan yang HGU-nya sudah perpanjangan, masuk juga dalam daftar kebun yang masuk kawasan hutan.

 

Ada perusahaan perkebunan yang pernah menggugat SK Menhut terkait penunjukan kawasan hutan dan gugatannya dikabulkan. Mengapa dikabulkan? Karena SK penunjukan tidak sah dijadikan dasar menetapkan lahan tersebut masuk kawasan hutan, apalagi dituding melakukan deforestasi.

 

Selanjutnya, Kacuk mendukung sepenuhnya langkah pemerintah untuk memberantas pelaku pembalakan hutan. “Namun untuk perusahaan perkebunan yang bersih dan patuh terhadap semua peraturan, seharusnya tidak disangkutpautkan,” tandasnya.

 

Perlu diketahui, sebelumnya Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengeluarkan surat keputusan atas kebun sawit yang dianggap dalam kawasan hutan tanpa izin.

Namun sejumlah masalah masih meliputi keputusan ini, mulai dari pelanggaran UU Cipta Kerja (UUCK), transparansi, hingga tumpang tindih penegakan hukum.

 

Surat Keputusan (SK) No 36 Tahun 2025 Tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan yang Berproses Atau Permohonannya di Kementerian Kehutanan. SK ini memberikan status kepada sebanyak 436 perusahaan perkebunan sawit tanpa izin dalam kawasan hutan.

 

Setidaknya seluas 317.253 hektare kebun sawit ditolak permohonan penyelesaiannya karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UUCK. Sedangkan 790.474 ha kebun sawit dalam kawasan hutan tengah berproses dalam penyelesaian untuk memenuhi kriteria Pasal 110 A UUCK.

 

Status ‘tengah berproses’ ditetapkan memenuhi kriteria Pasal 110 A UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

 

Status ‘tengah berproses’ pada SK tersebut meliputi penelitian tim terpadu, persetujuan prinsip (oleh pemda), dan penetapan areal pelepasan. Sebanyak 86 perusahaan telah mendapatkan penetapan areal pelepasan, 30 perusahaan berproses dalam persetujuan prinsip, dan sisanya proses penelitian tim terpadu.

 

Penetapan ini menjadi bahan masukan Kementerian Kehutanan kepada Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Perpres No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan.

 

Namun SK Menhut No 36 Tahun 2025 ini menyisakan masalah yang cukup fundamental karena SK Menhut ini telah melanggar UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2021 yang menjadi salah satu dasar hukum SK itu sendiri.

 

Pasal 110 A UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja menyebutkan:

 

‘Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023’

 

Sedangkan Pasal 19 Ayat 2 Huruf d PP No 24 Tahun 2021 menyebutkan batas waktu pengajuan permohonan perizinan di bidang kehutanan paling lama adalah 3 tahun sejak UU Cipta Kerja berlaku.

Pemberlakuan UU Cipta Kerja yang dimaksud dalam PP ini adalah sejak UU itu disetujui oleh DPR meski diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya, tenggat tetap mengacu pada 2 November 2023, sesuai Pasal 110 A UU Cipta Kerja.

 

Artinya SK ini sudah menyalahi UU Cipta Kerja sekaligus PP No 24 Tahun 2021, berarti dia melanggar dasar hukum penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.

 

Tenggat pada UU Cipta Kerja maupun PP 24 Tahun 2021 ini berlaku untuk semua proses, termasuk verifikasi. Badan usaha yang belum mendapatkan penetapan areal pelepasan kawasan hutan, penyelesaiannya harus memakai Pasal 110 B UU Cipta Kerja.

Pelanggaran tenggat waktu ini bukan satu-satunya masalah. Kementerian Kehutanan (dulu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/ KLHK), selaku pemilik kewenangan atas kawasan hutan, juga menunjukkan ketidaksiapan melakukan pendataan perkebunan sawit dalam kawasan hutan sesuai UU Cipta Kerja.

Masalahnya lagi, SK data dan informasi yang dikeluarkan oleh KLHK juga melampaui tenggat waktu yang diamanatkan oleh UU Cipta Kerja dan PP No 24 Tahun 2021.

SK Menteri LHK No 1156 yang memuat seri ke 18 data dan informasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan baru dikeluarkan pada 2 November 2023, tepat saat tenggat waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.

Ini seperti efek domino, satu pelanggaran dilanjutkan oleh pelanggaran yang lain. Jadinya tidak ada kepastian hukum.

Tak hanya itu, penetapan badan usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan pada SK No 36 Tahun 2025 sebagai rekomendasi kepada Satgas Penertiban Kawasan Hutan pun juga menyalahi PP No 24 Tahun 2021.

PP tersebut memberikan kewenangan Menteri Kehutanan untuk membentuk tim guna melakukan berbagai tindakan hukum, seperti penyitaan, lelang, paksa badan, hingga pemberian sanksi administratif.(hms/ram)

Sumber; news.majalahhortus.com

Exit mobile version