JAKARTA–Usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan perubahan mendasar terkait dengan surat suara pemilihan umum mendapat respons dari dewan. Komisi II DPR belum sepenuhnya sepakat dengan usul yang digulirkan penyelenggara pemilu.
Ide yang disampaikan KPU adalah menyederhanakan surat suara pemilu menjadi lebih ringkas. Bukan lagi dengan lima model surat suara pemilu. Cara mencoblos juga diganti dengan menuliskan angka. Misalnya, mencantumkan pilihan parpol dan calon anggota legislatif dengan nomor parpol dan caleg pada kolom surat suara.
Wakil Komisi II DPR Luqman Hakim menyatakan, dalam berbagai event elektoral, publik terbiasa dengan mencoblos. Bukan hanya di level pemilu ataupun pilkada, praktik itu juga ada di level pilkades. Jika diubah secara total, hal tersebut tidak mudah bagi masyarakat. ”Rakyat sudah terbiasa dengan cara ini (coblos),” ujarnya saat dimintai konfirmasi kemarin (13/6).
Sebaiknya perubahan dilakukan nanti jika sistem e-voting digunakan. Namun, karena tidak diakomodasi dalam UU Pemilu, perubahan bisa dilakukan pada waktu yang lain.
Politikus PKB itu menilai, selama UU Pemilu tidak berubah dan model pemilihan masih menggunakan kertas, sebaiknya pemberian suara tetap dilakukan dengan coblosan. ”Menurut saya, tidak ada urgensinya memodifikasi cara pemberian suara ini,” tegasnya.
Terkait dengan penyederhanaan surat suara, pihaknya setuju sepanjang itu memudahkan. Namun, untuk desain dan metode yang dipilih, KPU perlu melakukan simulasi sebelum mengambil keputusan. Tujuannya, menilai penyederhanaan surat suara maupun perubahan metode pemberian suara yang baru terbukti efektif atau tidak. Dia khawatir usulan tersebut hanya berangkat dari asumsi. ”Harus simulasi terlebih dahulu agar rencana perubahan tidak sekadar berangkat dari asumsi yang akhirnya malah bikin kian sulit,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengakui, penyederhanaan surat suara dan perubahan metode pemberian surat memang tidak mudah. Namun, dia menilai hal tersebut sebagai kebutuhan mengingat rumitnya pelaksanaan Pemilu 2019. ”Salah satu asumsinya, terlalu banyak surat suara,” katanya.
Namun, pihaknya juga sependapat jika rencana itu harus dikaji secara matang. Sebab, jika salah desain, upaya untuk memudahkan pemilih malah gagal tercapai. Perludem tidak mempersoalkan ditinggalkannya tradisi mencoblos. Yang terpenting, penyederhanaan surat suara tidak dilakukan secara drastis menjadi satu. Pihaknya khawatir, jika terlalu banyak, akan membingungkan. ”Ya, setidaknya jadi tiga (surat suara, Red),” tuturnya. Misalnya, surat suara pilpres digabung dengan DPR RI, DPRD provinsi digabung DPRD kabupaten/kota, dan terakhir untuk DPD.
Meski perlu ada kajian, Ninis –sapaan akrab Khoirunnisa– mengingatkan agar keputusannya tidak terlalu lama. Sebab, hal tersebut akan berkaitan dengan waktu sosialisasi. Idealnya, sudah ada keputusan tahun ini. ”Tantangan mengubah mencoblos menjadi nulis akan besar sekali. Sebab, sosialisasi harus masif,” tandasnya. (far/c14/bay/jpg)