Site icon KaltengPos

Ini Pemicu Program Wajib Belajar 12 Tahun di Kalteng Belum Maksimal

PALANGKA RAYA-Program wajib belajar 12 tahun di Kalteng dinilai belum maksimal. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng tahun ini, angka rata-rata lama sekolah masih rendah. Penduduk usia sekolah yang menjalani proses belajar hanya sampai 8,65 tahun atau sampai pada kelas dua SMP/sederajat (data lengkap pada tabel).

Menyikapi angka tersebut, Dinas Pendidikan (Disdik) Kalteng mengakui angka lama sekolah memang masih rendah, yakni 8,65 tahun, khususnya pada sekolah-sekolah yang berada di bawah kewenangan Pemprov Kalteng, seperti SMA, SMK, SLB dan MAN. Hal itu disampaikan Kadisdik Kalteng H Ahmad Syaifudi melalui Sub Koordinator Bidang Program Tutang.

Tutang mengungkapkan, ada beragam penyebab angka lama sekolah rendah. Terutama karena kewajiban di luar sekolah seperti faktor ekonomi, menikah, ingin bekerja, dan lainnya.

“Dari update data itu, jumlah usia sekolah yang menempuh sekolah di Kalteng berjumlah 113.000-115.000 jiwa dari total penduduk usia sekolah sebesar 142.000 jiwa, masih banyak siswa yang belum sekolah, karena adanya faktor ekonomi, menikah dini, ingin kerja, dan faktor lainnya,” kata Tutang kepada Kalteng Pos, Selasa (13/12).

Tutang menyebut keadaan ini juga disebabkan karena akses layanan pendidikan yang belum merata. Hal itu terjadi karena kondisi geografis Kalteng dan persebaran penduduk yang terpencar. Karena itu, pemerataan akses masyarakat Kalteng untuk mendapatkan layanan pendidikan masih terbilang sulit.

“Secara pemerataan, penduduk Kalteng ini kan tersebar di mana-mana, domisilinya pun jauh-jauh karena kondisi geografis, makanya ada daerah-daerah yang tidak bisa terlayani akses pendidikan, masih perlu dibangun lebih banyak fasilitas pendidikan,” tuturnya.

Namun pemerataan akses tersebut juga sulit diwujudkan, lantaran ketika sekolah sudah dibangun, justru tidak ada guru yang berkenan mengajar di sekolah tersebut. Kalaupun ada, jumlahnya tak banyak. Selain itu, dana untuk menggaji guru juga minim.

Kondisi geografis yang berdampak pada sulitnya pemerataan akses pendidikan serta kurangnya anggaran pemerintah untuk membangun fasilitas pendidikan, menjadi penyebab utama angka rata-rata lama sekolah di Kalteng masih rendah.

Karena penduduk terpencar, maka ketika dibangun sekolah di suatu wilayah, tapi kekurangan warga usia sekolah, tentu umur sekolah pun tidak akan bisa bertahan lama.

Sebagai upaya menaikkan angka lama sekolah, ujar Tutang, terlebih dahulu pihaknya melakukan pemenuhan sarana dan prasarana (sarpras), dilanjutkan pemenuhan kebutuhan tenaga pendidik, dan terakhir pemenuhan kebutuhan operasional sekolah.

“Untuk pemenuhan sarpras, kami sudah berusaha, baik dari sumber dana DAK dan PAD, kami sudah memunculkan, tahun 2022 sudah ada penambahan ruang kelas untuk meningkatkan daya tampun sekolah, kalau ada peningkatan daya tampung berarti ada penambahan kuota,” tuturnya.

Pihaknya juga akan membangun asrama khusus bagi siswa kurang mampu (yang tidak ada fasilitas pendidikan di tempat asal), tapi punya potensi akademik. Hal itu dilakukan untuk menyiasati daerah pelosok yang tidak dapat dibangun fasilitas pendidikan (karena kurangnya masyarakat usia sekolah) agar anak-anak usia sekolah tetap dapat menempuh pendidikan.

Sementara itu, menanggapi angka rata-rata lama sekolah di Kalteng, Slamet Winaryo selaku pengamat pendidikan mengatakan jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, angka lama sekolah di Kalteng tidak begitu rendah dan juga tidak tinggi. Dengan angka 8,54, seorang dengan usia sekolah hanya sampai pada tingkat SMP saja.

Angka lama sekolah tersebut berhubungan erat dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Untuk mencapai IPM Kalteng yang lebih baik, lanjut Slamet, salah satu yang diukur adalah masyarakat penduduk usia sekolah harus bisa menempuh pendidikan hingga tingkat SMA alias wajib belajar 12 tahun.

“Dengan 8,7 sekian itu memang usia itu agak di tengah-tengah, enggak terlalu rendah dan enggak terlalu tinggi,” ucapnya kepada Kalteng Pos, Selasa (13/12).

Slamet juga membenarkan bahwa angka lama sekolah di Kalteng yang belum tinggi dikarenakan letak geografis Kalteng yang cukup sulit untuk meralisasikan pemerataan akses pendidikan.

“Padahal dari sisi SDM, Kalteng ini potensial. Penduduk kita sekarang ini kan 2,6 juta jiwa. Sekitar sepertiga hingga separuhnya, anggap saja 1,2 jutaan yang usia sekolah, jumlah itu cukup banyak,” tuturnya.

Yang menjadi persoalan adalah wilayah Kalteng yang sangat luas dan domisili masyarakat yang terpencar-pencar. Karena itulah perlu adanya pemerataan fasilitas pendidikan. Jangan sampai anak-anak di Kalteng hanya menempuh pendidikan hingga level SMP. Minimal harus menyelesaikan pendidikan jenjang SMA.

“Indeks pembangunan manusia di Kalteng akan makin naik jika angka lama sekolah meningkat, karena itulah perlu ada pemerataan akses pendidikan,” kata pria yang menjabat Wakil Ketua I Pengurus Provinsi PGRI Kalteng.

Untuk saat ini, tutur Slamet, pemerintah perlu melakukan pemetaan (mapping) untuk merencanakan pembangunan fasilitas pendidikan untuk meratakan akses pendidikan di tiap kabupaten/kota, khususnya pada daerah-daerah dengan angka lama sekolah yang masih rendah.

“Dengan begitu bisa dilakukan pemetaan. Di wilayah yang punya banyak penduduk usia sekolah, sebisa mungkin dibangun fasilitas pendidikan, diberikan pelayanan terhadap akses pendidikan agar mereka tidak sampai putus sekolah,” tuturnya.

Slamet menambahkan, upaya yang dilakukan pemerintah sejauh ini sudah cukup bagus. Namun perlu dilakukan pemetaan kembali masyarakat yang saat ini belum terlayani dengan baik untuk mencapai pendidikan 12 tahun.

“Jadi yang sudah lulus SMP terus didorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi,” ucapnya.

Menurutnya Kalteng punya potensi yang besar untuk membentuk sumber daya manusia yang unggul. Untuk itu, lanjut Slamet, perlu kesadaran semua pihak terkait. Perlu untuk terus membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Pada sisi lain, pemerintah harus terus mendorong upaya memberikan fasilitas pendidikan yang memadai, agar masyarakat yang tinggal di wilayah pelosok bisa mengenyam pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi.

“Kalau masyarakat sudah sadar pentingnya sekolah dan pemerintah benar-benar melaksanakan pemeratakan akses pendidikan, maka upaya untuk mencapai target rata-rata usia sekolah 12 tahun bukanlah hal yang sulit,” tandasnya. (dan/ce/ala)

Exit mobile version