Oktober merupakan hari yang istimewa bagi seluruh santri di Indonesia. Bagaimana tidak? Tiap 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Pada momentum peringatan Hari Santri tahun ini, Kalteng Pos mengulas kegiatan para santri yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Dimulai dari Pondok Pesantren Salafiyah Iqro.
IRPAN JURAYZ, Palangka Raya
PONDOK Pesantren Salafiyah Iqro merupakan pesantren yang sudah berdiri selama 18 tahun, tepatnya sejak 11 Januari 2004. Pesantren ini terletak di Jalan Karanggan, Kelurahan Tanjung Pinang, Kecamatan Pahandut, Palangka Raya. Bangunan pesantren didirikan di atas tanah wakaf seluas 58 hektare (ha). Pusat Pendidikan agama Islam ini dibangun oleh (alm) Umar Hasan.
Pertengahan Oktober lalu, tepatnya pada Minggu (16/10), saya (penulis, red) berkunjung ke Pondok Pesantren Salafiyah Iqro. Saya bertemu dengan Umar Mukhtar, anak kandung dari pendiri pondok pesantren. Umar Mukhtar telah diamanahi tugas melanjutkan kepemimpinan di ponpes tersebut sejak 2019 lalu. Bersama dengan 12 saudaranya bertanggung jawab mengelola pesantren tersebut.
“Itulah sebuah bukti bagaimana cita-cita beliau (almarhum Umar Hasan, red) ingin memiliki lingkungan yang lekat dengan nilai-nilai agama,” ucap Umar Mukhtar.
Umar Hasan meninggal dunia 14 Maret 2022 pada usia 58 tahun dan dimakamkan di alkah Amuntai, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Dikatakan Umar Mukhtar, sesuai hadis riwayat bukhari; Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang sholeh (HR Muslim). Menurutnya, pesantren yang dipimpinnya itu telah banyak mencetak lulusan terbaik. Program unggulan pesantren yakni tahfiz, membuat seseorang bisa menjadi penghafal Al-Qur’an.
Umar Mukhtar menyebut bahwa pesantren yang dipimpinnya itu merupakan pesantren klasik. Dalam penerapan keseharian masih menggunakan sarung. Al-Qur’an menjadi pembelajaran unggulan di ponpes ini. Selain belajar menghafal Al-Qur’an, penghuni ponpes juga mempelajari kitab-kitab.
“Di pesantren ini juga ada pendidikan kesetaraan atau pelajaran umum yang diajarkan, jadi para santri yang lulus dari sini memiliki ijazah,” ucap Mukhtar.
Setiap harinya para santri dituntut untuk bangun tidur pukul 03.15 WIB. Selanjutnya para santri akan melakukan salat tahajud hingga salat subuh. Karena tahfiz merupakan program unggulan, jadi selepas salat subuh para santri wajib menyetor hafalannya. Berlangsung hingga pukul 07.00 WIB. Pada proses itu para santri melakukan murajaah dan sabki. Murajaah adalah upaya mengingat hafalan sebelumnya. Sementara sabki artinya mengulang hafalan yang sedang ditempuh atau juz-juz yang sedang dihafal.
Setelah pukul 07.00 WIB, para santri istirahat sejenak, lalu dilanjutkan mandi dan makan pagi. Pada pukul 08.00 WIB para santri masuk kelas untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab. Hal itu dilakukan tiap hari.
Di pesantren ini ada tiga tingkatan. Ada yang disebut Ula, setingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI). Ada juga Usto, setingkat Madrasah Tsanawiyah (MTS). Ketiga namanya Uliya, setingkat Madrasah Aliyah (MA).
Pelajaran kitab-kitab berlangsung hingga pukul 11.00 WIB. Kitab yang diajarkan seperti kitab Mabadi yang berkaitan dengan fiqih, akidah, bahasa Arab, tajwid, dan beberapa mata pelajaran Islam lainnya. Setelah itu barulah dilaksanakan sekolah umum seperti murid pada umumnya hingga pukul 14.00 WIB.
Pondok Pesantren Salafiyah Iqro memiliki 14 guru atau pengajar. Tiga di antaranya pernah menempuh pendidikan di Turki. Sementara untuk mata pelajaran umum, ada tujuh guru dari luar pesantren yang membantu.
Usai kegiatan kelas, para santri makan siang, lalu salat Asar. Selepasnya itu dilanjutkan dengan kelas tahfiz hingga pukul 16.30 WIB. Usai kegiatan kelas, para santri bisa memanfaatkan waktu untuk berolahraga, mengangkat jemuran, dan kegiatan bermanfaat lainnya.
Menjelang salat Magrib, para santri mempersiapkan diri untuk berangkat ke masjid. Setelah salat dilanjutkan amalan dari pimpinan terdahulu. “Kemudian setelah salat Isya, kalau santri putra terkadang membaca wirdul latif, kadang baca burdah, kadang juga baca habsyi. Kalau yang perempuan, tiap malamnya belajar menulis khot,” terangnya.
Aktivitas tersebut berlangsung hingga pukul 20.15 WIB. Kemudian pada pukul 21.00 WIB para santri diharuskan tidur.
Umar Mukhtar menuturkan, apabila benar-benar menekuni semua rutinitas di ponpes, tentu akan merasakan keasyikan yang luar biasa. Para santri bias belajar hidup mandiri. Segala sesuatu dikerjakan sendiri.
“Walaupun terkadang dengan sedikit paksaan dan ancaman, tapi para santri di sini akan terbiasa dengan hal-hal yang dilakukan di ponpes, mulai dari salat ngaji dan yang lainnya,” ucapnya.
Dikatakan Umar, dipaksa, terpaksa, bisa, terbiasa memang adanya di pesantren. Untuk membiasakan hal bermanfaat, perlu adanya sedikit paksaan dari luar sehingga menjadi kebiasaan pada diri sendiri. “Inilah yang selalu didapatkan para santri yang memutuskan untuk masuk ponpes, mulai dari mengikuti kemauan orang tua hingga akhirnya menjadi kemauan sendiri,” katanya.
Pondok Pesantren Salafiyah Iqro sendiri menampung 150 santri. Para santri tak hanya dari Palangka Raya, tapi juga dari luar kota, bahkan dari daerah-daerah di luar Kalteng. Santrinya berasal dari Murung Raya, Kotawaringin Barat, Barito Utara, Seruyan. Ada pula yang dating dari Provinsi Kalsel, tepatnya Marabahan.
Ayah dua orang anak ini menjelaskan, pesantren mengajarkan bagaimana para santri terjun ke tengah masyarakat, seperti menjadi imam salat.
“Kami juga melihat dari penilaian seperti tajwidnya, apabila mencapai nilai bagus, kami bisa calonkan menjadi imam salat,” kata Mukhtar.
Para santri juga sering mengikuti lomba, khususnya perlombaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Bahkan ada diutus hingga ke kancah nasional. Ini menjadi kebanggan bagi Mukhtar dan para pengasuh ponpes.
Mukhtar memaknai Hari Santri sebagai bentuk perhatian dari pemerintah. Pria kelahiran Banjarmasin itu menganggap peringatan Hari Santri menjadi momen paling berharga. Tiap 22 Oktober biasanya Pondok Pesantren Salafiyah Iqro melaksanakan hataman dan doa bersama untuk mengenang para pendahulu serta pejuang.
“Adanya Hari Santri menjadi wujud perhatian pemerintah kepada para satri, saya berharap setelah lulus mondok nanti, para santri tidak berlagak seperti ahlinya agama, lalu memusuhi atau memerangi pemerintah, jangan sampai terjadi seperti itu,” pungkasnya. (*/ce/ala)