Site icon KaltengPos

Kultur Ikut Menghambat Regenerasi Tunggal Putri

GAGAL: Tunggal putri Indonesia Gregoria Mariska Tunjung saat beraksi pada Olimpiade Tokyo 2020. Namun ia gagal meraih medali.

CABANG olahraga bulu tangkis terus mempertahankan raihan medali emas pada event Olimpiade. Sayangnya, untuk nomor tunggal putri terus menjadi sorotan, karena belum juga mengulangi sukses para pendahulunya, seperti halnya Susi Susanti atau pun Ivana Lie.

Berikut ulasan Ivana Lie, legenda bulu tangkis putri Indonesia yang merupakan finalis Kejuaraan Dunia 1980 (tunggal putri), dan Juara Asian Games 1982 (ganda campuran).

Bicara soal minat terhadap bulu tangkis, perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Perbandingannya jauh. Bisa mencapai setengahnya, dengan jumlah yang lebih sedikit. Itu dari segi pembibitan.

Kesulitan lain juga ada dari faktor kultur. Masih ada pandangan kalau menjadi atlet nanti badannya menjadi jelek. Nanti seperti laki-laki yang angkat-angkat beban berat.

Kemudian, ada yang badannya bagus, cantik, daripada capek-capek jadi atlet mending jadi artis sinetron atau penyanyi yang jadinya lebih cepat. Kalau atlet kan perlu proses yang lama. Hambatan-hambatan seperti itu memang ada.

Dalam tunggal putri, hambatan tersebut sudah terlalu lama. Jika seperti itu terus, akan lebih lama lagi kita melihat penampilan tunggal putri. Paling tidak bisa masuk empat besar.

Untuk yang sekarang sudah oke. Tapi, paling tidak bisa mengolah lagi untuk potensi usia yang lebih bawah. Secara konsep, yang berusia 15–16 tahun itu harus ada gebrakan. Entah dikumpulkan, dipilih, lalu dikasih pelatih yang bagus.

Paling tidak, ada beberapa yang potensial dan pernah jadi juara junior. Diperlukan adanya pelatihan yang tepat agar terpenuhi capaian tersebut.

Teknik dan fisik juga perlu digenjot agar bisa mengangkat pamor tunggal putri lagi. Itu sesuai dengan kriteria yang dimiliki para pemain tunggal putri dunia sekarang.

Persaingan saat ini lumayan berat. Secara kualitas, kemampuan para pemain tunggal putri papan atas dunia merata. Mulai Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, hingga India. Tipe permainan mereka mirip.

Pada final Olimpiade Tokyo 2020, Tai Tzu Ying dan Chen Yufei secara fisik tidak terlalu tinggi. Jadi, untuk tunggal putri lebih banyak bermain reli. Mau nggak mau kita harus bisa membuat gebrakan tersebut.

Untuk main tunggal itu memang lebih capek. Hingga sekarang, kita belum menemukan talenta yang pas. Tidak hanya butuh mental kuat dan gigih, tetapi juga berani menerima tantangan. Butuh secara fisik punya otot yang bagus.

Itu termasuk bakat ya. Kemudian, punya endurance dengan kapasitas paru-paru memadai. Itu supaya tahan bermain reli. Intinya, perlu secara bakat, kemudian baru dipoles dengan teknik.

Olimpiade Paris 2024 tinggal tiga tahun lagi. Tentu kita tetap berharap ada sosok tunggal putri yang bisa bersaing dengan para pemain papan atas dunia. Untuk bisa ke sana, kira-kira dua tahun ke depan ada tidak yang bisa masuk jajaran 10 besar? Itu gambaran awalnya.

Dari peta persaingan, saya kira masih pemain itu-itu saja yang mendominasi. Karena mereka masih muda. Pusarla V. Sindhu itu masih 26 tahun. An Se-young masih 19 tahun. Chen Yufei masih 23 tahun. Hingga Akane Yamaguchi yang masih 24 tahun.

Jawabannya bergantung siapa tunggal putri yang dua tahun ini bisa berkembang dan menyejajarkan diri dengan nama-nama di atas. Selain itu, pasti muncul nama-nama pemain muda dari negara lain.

Dari yang saya amati selama Olimpiade Tokyo 2020, gaya permainan tunggal putri sekarang rata-rata mengandalkan reli panjang. Perlu talenta yang ulet.

Karena itu, perlu sekali punya endurance dan kesabaran yang tinggi. Itu saja dulu diperbaiki. Sebab, jika dilihat dari segi teknik, saya kira tidak kalah. (jpc)

Exit mobile version