Melihat Geliat UMKM di Palangka Raya Pascapandemi (4)
Diserang hama dan gagal panen pernah dialami Budi Yanto pada awal-awal menggeluti budi daya jamur tiram. Namun ia tak mau menyerah. Justru pengalaman pahit itu menjadi pelecut semangatnya untuk terus mencoba dan mencoba lagi, hingga akhirnya kesuksesan menghampirinya.
ISABELA, Palangka Raya
TUMPUKAN baglog tersusun rapi di satu unit bangunan kayu atau kubung. Ukuran kubung sekitar 35 meter persegi. Tempatnya bersih. Juga tidak panas, meski di luarnya cuaca begitu terik. Baglog-baglog itu merupakan media tumbuh jamur tiram. Jumlahnya 3.800 baglog.
Usaha budi daya jamur tiram itu milik Budi Yanto. Lokasinya di Gang Suka Damai, Jalan Murjadi, Palangka Raya. Budi Yanto mulai membudidayakan jamur tiram sejak 2007 lalu.
Dengan banyaknya baglog yang dimiliki, tiap hari selalu ada jamur tiram yang dipanen. Jika dikumpulkan, maka dalam seminggu bisa menghasilkan 10 kilogram jamur tiram. Jamur-jamur itu dijual ke pasar oleh istrinya, Pipit. Ada juga yang diambil langsung oleh pelanggan untuk olahan keripik berbahan dasar jamur.
“Saya jual Rp45-50 ribu per kilogram,” ujar Budi Yanto kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.
Dari usaha budi daya jamur itu, kini Budi Yanto bisa mendapatkan omzet hingga 6 juta rupiah per bulan. Bukan hanya jamur yang bisa menghasilkan uang, tapi juga penjualan baglog atau yang sering disebut bibit jamur. Karena tidak semua petani jamur bisa membuat baglog yang bisa menghasilkan jamur. Ada takaran dan rumus tersendiri. Tidak semua petani jamur mengetahui itu.
“Satu baglog dijual Rp5 ribu,” sebutnya.
Budi daya jamur yang ditekuni Budi Yanto terbilang sukses. Bisa menjadi kiblat bagi petani jamur di Palangka Raya dan Kalteng pada umumnya. Ia sudah mendapat sertifikat Kelompok Tani Hutan (KTH) kelas utama dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng. Sertifikat itu bukan didapat cuma-cuma. Tim penilai tentunya sudah melihat sepak terjang Budi Yanto selama menjadi petani jamur.
Sebelum bergelut dengan budi daya tiram ini, pada 2001 Budi Yanto menjadi pekerja mebel alumunium di Ubud, Provinsi Bali. Kemudian pindah ke Palangka Raya pada 2004. Membuka usaha mebel alumunium. Berjalan dua tahun, kejadian nahas menimpa. Tempat usahanya di Pasar Kahayan ludes dilalap si jago merah.
Tak ingin berlarut-larut dalam keterpurukan situasi, bapak dua anak itu lalu memutuskan menjadi petani jamur, setelah melihat kesuksesan temannya, Ir Suharyoso, yang sekaligus merupakan penggagas budi daya jamur di Kota Cantik.
Jumlah baglog pun masih tak lebih dari 500. Pada tahun itu, hanya Ir Suharyoso yang bisa membuat baglog. Seiring berganti hari, baglog itu tak tumbuh jamur tiram. Diserang hama. Berulang kali.
Namun Budi Yanto tak ingin menyerah. Tiap kali ada sosialisasi maupun pelatihan, ia selalu ikut. Kemudian para petani jamur sepakat membentuk Kelompok Usaha Tani Rumah Cendawan (KUTRC). Pelatihan sering diikuti. Makin banyak ilmu yang didapatkan.
Dengan inisiatif sendiri, pada 2010 Budi Yanto mengikuti pelatihan membuat baglog yang diadakan oleh Asosiasi Pembudidaya Jamur Indonesia (APJI) di Cinere.
“Saat saya ikut pelatihan di APJI, masa itu harga jamur segar di tingkat petani di wilayah Bogor dan sekitarnya hanya Rp4 ribu per kilogram, sementara di Palangka Raya sudah mencapai Rp20 ribu per kilogram. Perbedaan harga yang cukup jauh itu memotivasi saya untuk membudidayakan jamur tiram di Palangka Raya,” ungkap bapak kelahiran tahun 1977 ini.
Meski demikian, Budi Yanto menyadari bahwa suhu dan kelembapan udara akan sangat menentukan keberhasilan budi daya jamur. Hal itu menjadi tantangan baginya dalam mengembangkan budi daya tiram di Palangka Raya. Namun dengan menggunakan teknik-teknik tertentu, akhirnya bisa teratasi. Studi banding ke beberapa daerah di Pulau Jawa sering dilakukannya untuk melihat, belajar, sekaligus berbagi pengalaman dengan sesama petani yang menekuni budi daya jamur tiram.
Tahun 2012 ia bergabung dengan KTH yang langsung dibina oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng. Ilmu baru didapat untuk menyempurnakan kualitas jamur tiram yang dibudidayakannya. Kelompok usaha tani yang dibentuk oleh Budi Yanto pun diubah nama menjadi Kelompok Usaha Produktif Rumah Cendawan (KUPRC). Tiga tahun kemudian diubah lagi menjadi Kelompok Tani Hutan (KTH) Rumah Cendawan.
“Saya langsung dipercaya menjadi ketua Wanawiyata Widyakarya bidang budi daya jamur yang dibentuk oleh Pusat Penyuluhan Kehutanan, sebagai tempat pelatihan dan pemagangan untuk para mahasiswa, pelajar, maupun masyarakat umum,” ungkapnya seraya menyebut bahwa usaha budi daya jamur miliknya pernah ditulis oleh wartawan majalah kesehatan dari Belanda.
Menurut Budi Yanto, menjadi petani jamur tiram tidaklah semudah dan senyaman yang dilihat orang. Ada banyak proses yang harus dilewati. Mulai dari awal pembibitan, masa perawatan, hingga panen. Dituntut kesabaran dan ketekunan.
“Dahulu petani jamur tiram ada ratusan orang, tapi sekarang mungkin hanya puluhan. Hal itu karena kurang tekun dan konsisten. Banyak para petani jamur tiram yang juga punya usaha lain, sehingga tidak sepenuhnya fokus untuk budi daya ini, lalu pelan-pelan mulai vakum,” beber Budi Yanto yang berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Pekerja Sosial (SMPS). (ce/ram/ko)