PALANGKA RAYA-Konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit merupakan fenomena yang lazim terjadi di Kalteng. Kebanyakan konflik terjadi berlarut-larut. Meski carut marut bagai benang kusut, permasalahan ini memerlukan solusi konkret dari pengambil kebijakan.
Melalui buku Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia, Prof Ward Barenschot dan kawan-kawan (dkk) mencoba mengurai konflik-konflik tersebut dan mengajukan berbagai solusi yang perlu dilakukan. Sektor penting yang ada di Kalteng ini dinilai mampu menyejahterakan masyarakat. Tetapi tidak lepas dari berbagai konflik yang melatarbelakanginya.
Dari berbagai narasi dan wacana publik yang berkembang, sudah banyak pihak menawarkan solusi atas permasalahan yang sudah berlarut-larut ini. Solusi dari hulu hingga hilir. Tetapi, lagi-lagi, kadang hanya sebatas wacana. Jika realisasi pun, tidak berjalan maksimal. Untuk mengurai persoalan ini dinilai tidak hanya membutuhkan pertimbangan praktis, tetapi juga akademis.
Dalam diskusi buku Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia karya Ward Barenschot dkk, dibahas terkait latar belakang konflik masyarakat dengan perusahaan sawit secara rinci dengan sudut pandang akademik, melihat persoalannya hingga kini, lalu solusi ke depan yang dinilai lebih efektif. Diskusi dilaksanakan di Gedung PPIG Lantai VI Balairung, Kampus Universitas Palangka Raya (UPR), Jumat (1/9).
Diskusi tersebut menghadirkan langsung dua orang penulis buku, yakni Ward Barenschot dan Afrizal. Masing-masing merupakan profesor dari Universitas Amsterdam dan Universitas Andalas.
Dua orang itu merupakan peneliti yang konsen membahas isu konflik masyarakat dengan perkebunan sawit di Indonesia. Kalteng merupakan salah satu provinsi yang menjadi sampel pengamatan mereka sehingga lahirlah buku berjudul Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia tersebut.
Dalam proses pembuatan isi buku ini, penelitian demi penelitian sudah dilakukan. Hal ini dijelaskan oleh salah satu penulis, Prof Afrizal. Dikatakan Afrizal, penelitian pertama dilakukan dengan melibatkan usaha kolaborasi besar untuk meneliti 150 konflik kelapa sawit di empat provinsi, yakni Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
“Kami mempelajari semua kasus untuk mengkaji pola-pola umum konflik, seperti menelaah cara komunitas memprotes perusahaan kelapa sawit, mengapa mereka melakukannya, dan dalam sejauh mana mereka berhasil memperoleh solusi atas tuntutan mereka,” bebernya.
Mereka memilih untuk menulis buku ini karena merasa bahwa konflik kelapa sawit di Indonesia merupakan sebuah masalah besar dan mendesak untuk diselesaikan. Tidak hanya untuk komunitas pedesaan, tetapi juga untuk pemerintah dan perusahaan kelapa sawit.
“Kami menulis buku ini karena konflik kelapa sawit menyediakan jendela untuk mengeksplorasi karakter kewarganegaraan dan hak warga negara di Indonesia, terkhusus masyarakat marginal yang berada di sekitaran kawasan perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.
Dalam penelusuran untuk meneliti konflik-konflik antara masyarakat dengan perusahaan sawit di Indonesia sehingga menghasilkan isi buku tersebut, Afrizal menyebut pihaknya menyiapkan sebuah tim beranggotakan 19 orang peneliti yang bertugas menelusuri kemunculan, kronologi, dan hasil dari 150 konflik kelapa sawit dengan mengoleksi sumber-sumber tertulis.
Adapun sumber-sumber tertulis yang dikumpulkan itu seperti laporan surat kabar, sumber berita online, dokumen pemerintah dan NGO, dan juga hasil kajian akademik. Mereka juga melakukan 283 wawancara dengan pimpinan komunitas.
Pria berkacamata bingkai hitam ini menguraikan, terdapat tiga argumen pokok yang ada di dalam buku tersebut, yakni pertama, konflik antara komunitas perdesaan Indonesia dengan perusahaan kelapa sawit disebabkan oleh kehampaan hak.
Kedua, untuk merespon hal itu, orang-orang pedesaan yang terusik oleh adanya perusahaan sawit menggunakan strategi protes yang berfokus pada mendapatkan kompensasi finansial ketimbang hukum dan hak mereka, yakni perlawanan atas kehampaan hak.
“Ketika, mekanisme resolusi konflik tidak efektif, karena umumnya konflik tidak terselesaikan,” ujarnya.
Dari tiga argumen pokok itu, kalimat kehampaan hak menjadi pokok untuk mengurai berbagai latar belakang terjadinya konflik. Berdasarkan penelitian yang pihaknya lakukan terhadap perkembangan konflik masyarakat dengan perkebunan kelapa sawit di Kalteng secara khusus dan Indonesia secara luas, Ward Barenschot dalam paparannya menjelaskan, terdapat sejumlah hak yang dimiliki oleh warga negara Indonesia, khususnya masyarakat yang berada di sekitar kebun. Sayangnya, hak-hak masyarakat itulah yang tidak terpenuhi akibat pihak perusahaan. Sehingga, hak-hak yang secara formal (de jure) tertulis di dalam aturan, ketika dijumpai di lapangan (de facto), tidak demikian.
Menurut akademisi yang akrab disapa Ward ini, di atas kertas, warga negara Indonesia memiliki beragam hak untuk melindungi kepentingannya. Dalam konteks konflik antara masyarakat dengan perusahaan, lanjut Ward, perusahaan harus memperoleh persetujuan dari masyarakat sebelum memasukkan tanah milik masyarakat itu ke dalam sebuah kawasan perkebunan perusahaan.
“Perusahaan harus memperoleh berbagai perizinan dan mematuhi peraturan negara. Dalam banyak kasus, para komunitas berhak atas skema bagi hasil seperti plasma atau kemitraan,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut pria asli Belanda ini, masyarakat berhak mengorganisasi diri dan memprotes jika saja hak-hak itu tidak atau belum terpenuhi. Berarti, ujarnya, ada hak de jure di sisi masyarakat. Namun, sayangnya, di lapangan (de facto), situasi berbeda.
“Peraturan negara mengatur prosedur perizinan secara ketat, persetujuan berdasarkan informasi, kompensasi uang, juga bagi hasil. Tetapi dalam praktiknya, perlindungan terhadap kepentingan warga pedesaan Indonesia menjadi relatif tidak efektif,” ujarnya.
Dasar penilaian hingga dirinya mengatakan tidak efektif itu adalah 19 persen perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibangun tidak sah di dalam kawasan hutan. Sementara ada perusahaan-perusahaan beroperasi tanpa izin yang diperlukan.
“Pada 99 kasus yang dipelajari berbagai komunitas merasa bahwa perusahaan tidak memperoleh persetujuan, dalam 67 kasus perusahaan tidak membayar kompensasi sama sekali,” tuturnya dengan bahasa Indonesia beraksen belanda yang kental.
Ia menambahkan, 86 perusahaan tidak memberikan kebun plasma yang diperintahkan oleh undang-undang. Tak jarang juga, ujarnya , terjadi kekerasan dan intimidasi terhadap orang-orang desa yang berani melakukan protes.
Menurutnya, masyarakat perlu melakukan perlawanan atas kehampaan hak. Agar hak-hak mereka dapat terpenuhi. Dikatakannya, perlawanan kehampaan hak melibatkan strategi-strategi protes akomodatif yang diarahkan untuk membangun hubungan informal dengan pemegang kekuasaan untuk memperkuat posisi tawar komunitas dalam negosiasi-negosiasi ad-hoc.
“Dari upaya ini lazimnya masyarakat menggunakan sebuah wacana yang membingkai keluhan-keluhan umum mereka dengan tradisi adat dan norma-norma sosial, ketimbang hukum negara dan hak mereka sebagai masyarakat,” ujarnya.
Mendekati akhir diskusi sebelum memasuki sesi pertanyaan, Prof Afrizal menambahkan, dalam buku tersebut pihaknya menarik pembelajaran dari kasus-kasus yang berhasil diselesaikan untuk mengusulkan jalan keluarkan praktis bagi pemerintah. Menurutnya, solusi pertama, pemerintah bisa mendirikan badan mediasi pada tingkat provinsi dan kabupaten.
“Kedua, pemerintah harus transparan tentang izin HGU yang diberikan terhadap perusahaan perkebunan. Ketiga, memonitor apakah perusahaan memenuhi kewajibannya memperoleh free, prior, dan informed consent (FPIC) dari komunitas terdampak,” sebutnya.
Ia menambahkan, pemerintah Indonesia juga harus menginvestigasi masalah kebun plasma dan mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang menolak melaksanakan kewajiban.
“Baik pemerintah pusat dan daerah harus menjatuhkan sanksi pada perusahaan yang melanggar kebijakan pemerintah dan yang menolak terlibat dalam upaya penyelesaian konflik,” tandasnya.(dan/ram)